Wednesday, June 3, 2015

cerpen judul "Penjagaku"

Penjagaku
Kupejamkan  mataku sejenak. Kurentangkan tanganku. Kurasakan suasana sekitarku. Sejuk,heing, sepi dan… bahagia yang kurasakan.
Kupandangi seluruh keindahan di sekitarku. Tak terbayangkan lagi. Semuanya sangat menyenangkan bagiku.
Aku seperti melayang tinggi tanpa beban sedikitpun, bersama tumbuhan-tumbuhan yang rindang di sampingku. Ia menjulang tinggi sehingga membuat gunung ini sangatlah mempesona.
Pendakianku tidak sia-sia. Karena di sini aku bisa merasakan kebahagian yang sesungguhnya. Apa lagi bareng-bareng anak pendaki kayak gini, uuh serruuuu banget !
Aku enggak tahu siapa yang norak. Aku atau…, tapi sok pasti kalian bakal jawab aku yang norak. Sedih. Ya, emang bener sih kalau kalian jawab itu, soalnya aku baru kali ini ngerasain bahagianya mendaki ke gunung bareng anak pendaki. Hehehe, biasalah orang sibuk. Jadinya baru kali ini ngerasain mendaki.
Awal atau pertama kalinya aku naik gunung itu rasanya biasa ajah, tapi semenjak aku ngerasain suasana pegunungan puncaknya, rasanya tuh hidupku seperti tanpa masalah. Aku sungguh sanagt bahagia. Bahkan sampai jingkrak-jingkrakan tanpa memikirkan orang lain.
“Safira, awas kamu  jangan sembarangan di isini!”  
“Iya, Mas. Di sini enak banget,” jawabku yang masih jingkrak-jingkrakkan di puncak gunung.
“Jangan Cuma iya aja! Di sini banyak penghuninya.”
Aku tak mendengarkan apa yang dikatakan Mas Dimas. Mungkin karena aku lagi seneng banget kali. Oh ya, aku lupa yang kunaiki itu gunung apa, yang penting gunung daerah Bogor.
Lama-kelamaan rasa lelah pun menghampiriku. Dan cukup melelahkan juga untuk pertama kalinya datang ke sini. Tapi ini cukup menantang dan seru banget.
“Ayo bikin tendanya sekarang! Yang cewek di sebelah kanan saya, dan cowok di sebelah kiri saya. Semuanya berhadap-hadapan antara cewek dan cowok.”
“Wadduh…, gimana caranya pasang tenda? Bikin tenda aja belum pernah,” pikirku dalam hati.
Aku pun langsung mengahmpiri Mas Dimas yang tengah membuat tenda untuknya dan kelompok tendanya.
“Mas, aku enggak bisa bikin tenda.”
“Minta bantuin aja sama yang cewknya. Mereka baik kok,” jawab Mas Dimas.
“Aku enggak kenal teman-teman Mas Dimas.”
“San…! Tolong bantuin ajak dia bikin tenda,” ujar Mas Dimas, kepada teman wanitanya sambil mengarahkan tangannya kepadaku.
“Oke. Siapa namanya?”
“Safira, San.”
“Safira, cepat sini! Mau aku bantuin enggak?” ujar Mbak Sani, sambil tersenyum ramah.
“Baiklah, Mbak.”
Aku pun langsung menghampirinya dan lansung memasang tenda.
“Mbak, emagnya enggak bikin tenda? Kok mau sih bantuin aku?”
“Aduh, Safira. Kita itu sebagai anak pendaki harus saling tolong menolong meskipun itu harus dengan nyawa sekalipun. Lagian aku enggak bawa tenda kok.”
“Enggak bawa? Terus nanti tidur sama siapa?”
“Numpang. Udah biasa kok, Fir.”
“Mbak…”
“Apa? Ada yang kurang?”
“Enggak. Mbak mau enggak tidur di tenda ini bareng aku?”
“Emangnya kenapa?”
“Aku di sini tidur sendiri. Dan aku sebenarya sedikit takut tidur sndiri di tengah hutan kayak gini.”
“Oke, sip. Entar malam aku tidur bareng kamu.”
“Terimakasih, ya Embak.”
Mbak Sani, hany tersenyum saja.
“Manis. Cantik. Keren deh. Udah baik juga lagi. Pasti banayk cowok yang suka sama Mbak Sani, deh,” gerutuku dalam hati.
✲✲✲

Malam yang sangat sejuk. Meskipun api unggun di hadapaniku, tetap saja badanku sepertinya menggigil bagaikan orang yang sedang sakit.
Apa aku memang sedang sakit? Tapi, jika sakit, mengapa suhu badanku normal? Ah, sudahlah! Biarkanlah tubuh ini menggigil di puncak gunung ini.
Di keramaian anak pendaki yang sedang menikmati, hanya aku lah yang termenung sendiri. Aku tak tahu ada apa dengan diriku. Aku tak seperti hari-hari biasanya yang selalu jadi anak lebay. Dan bahkan, semua orang yang mengenalku pasti akan selalu memberiku gelar ‘anak alay’.
“Safira, kamu kenapa? Tumben diem aja?” Tanya Mas Dimas, sambil menyenggol badanku yang sedang duduk di atas kayuk rapuh.
“Enggak, Mas,” jawabku  lemas.
“Kok kamu aneh? Kamu sakit?”
“Enggak tahu. Aku sehat kok.”
“Terus kenapa, honey? Ceria dong, kayak biasanya!”
“….”
Honey…”
“Aku mau masuk tenda. Aku mau tidur. Nanti tolong bilang Mbak Sani, kalo mau tidur masuk aja gitu, ya.”
“Kamu kenapa sih?”
Aku tak menjawabnya. Aku malah langsung masuk ke tenda. Sebenarnya aku tak ingin tidur, karena aku ingin menikmati indahnya pesona api unggun di malam yang jarang sekali aku temui.
“Yang, good night…”
Good nigt too, honey.”
Honey, waiting me!”
Aku pun terhenti dari langkahku. Dan langsung membalikkan badanku menuju arah Mas Dimas.
“Fir…” ucap Mas Dimas, sambil mengecup pipiku.
Aku terpaku. Aku merasa luluh pada Mas Dimas, setelah bibirnya mengecup pipiku.
“Mas….”
“Apa? Kamu kenapa sih?”
“Aa… aku merasa demam. Tapi, suhu badanku tetap pada posisi normal,” jelasku.
Mas Dimas, pun langsung menyenruh dahiku. Mungkin hanya untuk menentukan suhu panasku saja.
“Iya, suhu badanmu biasa aja kok. Kamu …”
“Mas…,” jawabku sedikit manja.
“Kamu istirahat aja dulu! Aku tungguin kamu nyampe tidur lelap.”
“Enggak usah. Mas nikmati ajah keindahan api unggun bersama teman-temanmu.”
“Enggak. Aku temenin kamu dulu nyampe kamu tidur.”
✲✲✲
Pagi yang sangat indah, mempesona, nan cerah. Kabut di pagi hari itu sangatlah membuat suasana sekitarku sejuk. Ya, sejuk. Aku bangun paling awal dari yang lainnya. Ya, gimana aku bisa banguntelat, orang semalaman itu sebenarnya aku tak bisa tidur dan berpura-pura tidur saja di samping Mbak Sani yang sudah terlelap dalam tidunya.
“Fir, udah bangun? Tumben,” ledek Mas Dimas.
“Iya, aku ngidupin alarm di hapeku,” jawabku tanpa kejujuran.
“Oh, bagus deh.”
“Kamu nanti siap-siap kemasin barang-barangnya ya!”
“Bukankah kamu bilang kita di sini dua hari? Sekarang kan masih ada waktu for one day again, honey?”
“Aku khawatir padamu, honey. Nanti kita pulang setalah embun menghilang.”
“Baiklah. Maaf ya, Mas.”
“Iya, enggak apa-apa,” jawabnya manis.
Setelah semua mulai bangun dari tidurnya, seluruh anak pendaki kawasanku langsung berlari-lari kecil di kawasan tenda yang kami tempati. Ya, walaupun berlari kecil, tapi bagi mereka intinya mereka bisa olahraga.
Sekitar dua jam lah waktu yang mereka butuhkan untuk mengeluarkan zar asam dari dalam tubuh mereka. Namun, aku hanya terdiam sendiri. Entah mengapa dengan diriku. Diruku seperti di temani oleh seseorang yang tak kukenali. Ia terus bertanya-tanya padaku tanpa henti mengenai pegunungan ini. Oh iya, aku baru ingat kalau gunug itu namanya ‘Gunung Munara’.
“Fir, kamu ngomong sama siapa?”
“Te…”
Sebelum jawabanku terlontar dari mulutku, makhluk yang asing itu langsung melarangku untuk memberi tahunya. Aku tak tahu apa alasannya melarangku memberi tahu kalau aku berbicara dengan seseorang yang tak aku kenali itu.
“Siapa?”
“Hah, enggak. Aku… aku mau cepat pulang.”
“Barangmu sudah di kemaskan?”
“Aku tidak mengeluarkan barang apapundari tasku kecuali tenda.”
“Oh, ya sudah. Kalau tenda biar temanku aja dulu yang make, ya!”
“Baiklah. Mas, ayo pulang…”
“Ya, sudah kamu ambil barangmu dan aku tunggu di sini!”
Aku pun langsung bergegas mengambil ranselku.
Tanpa hitungan menit, aku pun langsung stand by lagi di tempat semula aku dan Mas Dimas.
Dengan tersenyum, Mas Dimas langsung menggandeng tanganku dan berkata, “Yuk berangkat…”
“Yuk…”
Kami pun berjalan bergandengan. Aku sempat sekilas melihat wajah Mas Dimas yang tengah cemas padaku. Tapi, aku berpura-pura tak mengetahui hal itu.
Mungkin hampir satu jam lah untuk aku bisa sampai di kaki gunung Munara ini. Cukup melelahkan tapi semua ini rasanya hilang karena aku saat ini sedang tak enak badan. Tapi, jika di bilang enggak enak badan, kayaknya enggak mungkin deh.  Demam? Massa? Au ah, aku pusing mikirin hal itu.
Dan sesampai di tepi jalan raya, aku dan Mas Dimas langsung memberhentikan bis yang berlaju menuju arah bandung.
“Ayo say, kamu naik duluan!” pinta Mas Dimas.
“Baiklah.”
Aku pun langsung naik dan mencari tempat duduk yang kosong dan bisa digunakan untukku dan Mas Dimas.
Aku duduk di bangku ke empat dari belakang. Karena hanya itulah bangku yang kosong untuk kami.
“Mas, aku duduk di pojok ya?”
“Terserah kamu aja.”
Aku pun langsung duduk dan Mas Dimas pun ikut duduk di sampingku.
“Mas…”
“Kenapa? Pusing? Atau suhu badanmu mulai terasa naik?”
“Enggak. Aku hanya ingin bertanya saja.”
“Bertanya apa? Jangan aneh-aneh ya!”
“Mas, sebenarnya kamu tahu enggak sih waktu aku lagi ngobrol sendiri itu?”
“Maksudmu?”
“Kamu tahu enggak au lagi ngobrol sama siapa?”
“Oh itu, emangnya kenapa?”
“Tahu enggak?”
“yap,” jawabnya simpel sambil melepaskan senyum manisnya.
“Oh..”
“Dan aku juga tahu kalau teman barumu itu sedang bersamamu juga.”
“Maksudmu?”
“Aku akan ceritakan semuanya, tapi kamu jangan kaget atau takut, ya!”
“Iya, janji.”
“Suhu badanmu normal, tapi perasaanmu tidak nyaman kan. Kmau merasa seperti sedang demam padahal tidak. Dan sebenarnya itu efek dari teman barumu.”
“Maksudnya? Aku bingung, Mas…”
“Lagian, tadi kamu malah girang dan jingkrak-jingkrakkan di puncak sana. Itu bisa jadi kamu menggnggu penghuninya.”
“Mas….” Ujarku yang sok ketakutan.
“Kenapa? Takut?”
“Enggak, Cuma… Cuma mau Tanya aja, dia bisa di jauhin enggak dariku?”
“Ya bisalah sayang…”
Aku langsung reflex tersenyum padanya. “Mas, nanti tolong jauhin dia dari aku ya..”
“Tenang aja..”
“Oh iya Mas, kok kamu selalu baik padaku?”
“Kamu mau tau jawabannya apa?”
“Ya iya lah, Mas,” jawabku kesal.
“Karena aku sayang kamu dan aku ingin menjadi penjagamu selama aku bisa da nada di sekitarmu.”
Aku terdiam sejenak, dan kembali bertanya, “Mas, emangnya kamu benar sayang sama aku?”
“Ya ampun, Safira. Kamu masih nganggep aku bercanda selama aku masih terus manggil kamu sayang?”
“Ya enggak, Mas. Aku kira kamu hanya menganggapku adik saja.”
“Terserah kamu aja, mau kamu pikir seperti itu silahkan. Atau sependapatku juga silahkan.”
“Mas, makasih ya!” ucapku sambil mencium pipi kirinya.
Dan Mas Dimas pun langsung melinggkarkan tangan kirinya pada  pinggangku.
“Ya sudah, kamu tidur aja. Nanti kamu kalau sudah bangun, pasti temanmu sudah tidak akan bersamamu lagi.”
“Terima kasih, Mas. Engkau telah menjadi penjagaku dan menjadi yang terbaik untukku.”
“Aku akan lebih terima kasih dan menerima penghargaanmu itu jika hubungan ini bisa terus berlanjut hingga akhir hayat nanti.”
“Are you sure?”
Yess. Do you want marry with me, honey?”
Yess, I do. Kuharap kamu akan selalu setia menjadi penjagaku.”
“Oke. No problem for me.” Ledeknya menantang.
Aku pun langsung merebahkan tubuhku dan menenangkan tubuh yang lelah ini. Tanpa rasa beban sedikitpun setelah aku mendengar pernyataan dari seseorang yang sangat berarti bagiku selama ini. Mas Dimas.
The End








0 comments:

Post a Comment

 
;