Penjagaku
Kupejamkan
mataku sejenak. Kurentangkan tanganku.
Kurasakan suasana sekitarku. Sejuk,heing, sepi dan… bahagia yang kurasakan.
Kupandangi
seluruh keindahan di sekitarku. Tak terbayangkan lagi. Semuanya sangat
menyenangkan bagiku.
Aku
seperti melayang tinggi tanpa beban sedikitpun, bersama tumbuhan-tumbuhan yang
rindang di sampingku. Ia menjulang tinggi sehingga membuat gunung ini sangatlah
mempesona.
Pendakianku
tidak sia-sia. Karena di sini aku bisa merasakan kebahagian yang sesungguhnya.
Apa lagi bareng-bareng anak pendaki kayak gini, uuh serruuuu banget !
Aku
enggak tahu siapa yang norak. Aku atau…, tapi sok pasti kalian bakal jawab aku
yang norak. Sedih. Ya, emang bener sih kalau kalian jawab itu, soalnya aku baru
kali ini ngerasain bahagianya mendaki ke gunung bareng anak pendaki. Hehehe,
biasalah orang sibuk. Jadinya baru kali ini ngerasain mendaki.
Awal
atau pertama kalinya aku naik gunung itu rasanya biasa ajah, tapi semenjak aku
ngerasain suasana pegunungan puncaknya, rasanya tuh hidupku seperti tanpa
masalah. Aku sungguh sanagt bahagia. Bahkan sampai jingkrak-jingkrakan tanpa
memikirkan orang lain.
“Safira,
awas kamu jangan sembarangan di isini!”
“Iya,
Mas. Di sini enak banget,” jawabku yang masih jingkrak-jingkrakkan di puncak
gunung.
“Jangan
Cuma iya aja! Di sini banyak penghuninya.”
Aku
tak mendengarkan apa yang dikatakan Mas Dimas. Mungkin karena aku lagi seneng
banget kali. Oh ya, aku lupa yang kunaiki itu gunung apa, yang penting gunung
daerah Bogor.
Lama-kelamaan
rasa lelah pun menghampiriku. Dan cukup melelahkan juga untuk pertama kalinya
datang ke sini. Tapi ini cukup menantang dan seru banget.
“Ayo
bikin tendanya sekarang! Yang cewek di sebelah kanan saya, dan cowok di sebelah
kiri saya. Semuanya berhadap-hadapan antara cewek dan cowok.”
“Wadduh…,
gimana caranya pasang tenda? Bikin tenda aja belum pernah,” pikirku dalam hati.
Aku
pun langsung mengahmpiri Mas Dimas yang tengah membuat tenda untuknya dan
kelompok tendanya.
“Mas,
aku enggak bisa bikin tenda.”
“Minta
bantuin aja sama yang cewknya. Mereka baik kok,” jawab Mas Dimas.
“Aku
enggak kenal teman-teman Mas Dimas.”
“San…!
Tolong bantuin ajak dia bikin tenda,” ujar Mas Dimas, kepada teman wanitanya
sambil mengarahkan tangannya kepadaku.
“Oke.
Siapa namanya?”
“Safira,
San.”
“Safira,
cepat sini! Mau aku bantuin enggak?” ujar Mbak Sani, sambil tersenyum ramah.
“Baiklah,
Mbak.”
Aku
pun langsung menghampirinya dan lansung memasang tenda.
“Mbak,
emagnya enggak bikin tenda? Kok mau sih bantuin aku?”
“Aduh,
Safira. Kita itu sebagai anak pendaki harus saling tolong menolong meskipun itu
harus dengan nyawa sekalipun. Lagian aku enggak bawa tenda kok.”
“Enggak
bawa? Terus nanti tidur sama siapa?”
“Numpang.
Udah biasa kok, Fir.”
“Mbak…”
“Apa?
Ada yang kurang?”
“Enggak.
Mbak mau enggak tidur di tenda ini bareng aku?”
“Emangnya
kenapa?”
“Aku
di sini tidur sendiri. Dan aku sebenarya sedikit takut tidur sndiri di tengah
hutan kayak gini.”
“Oke,
sip. Entar malam aku tidur bareng kamu.”
“Terimakasih,
ya Embak.”
Mbak
Sani, hany tersenyum saja.
“Manis.
Cantik. Keren deh. Udah baik juga lagi. Pasti banayk cowok yang suka sama Mbak
Sani, deh,” gerutuku dalam hati.
✲✲✲
Malam
yang sangat sejuk. Meskipun api unggun di hadapaniku, tetap saja badanku
sepertinya menggigil bagaikan orang yang sedang sakit.
Apa
aku memang sedang sakit? Tapi, jika sakit, mengapa suhu badanku normal? Ah,
sudahlah! Biarkanlah tubuh ini menggigil di puncak gunung ini.
Di
keramaian anak pendaki yang sedang menikmati, hanya aku lah yang termenung
sendiri. Aku tak tahu ada apa dengan diriku. Aku tak seperti hari-hari biasanya
yang selalu jadi anak lebay. Dan bahkan, semua orang yang mengenalku pasti akan
selalu memberiku gelar ‘anak alay’.
“Safira,
kamu kenapa? Tumben diem aja?” Tanya Mas Dimas, sambil menyenggol badanku yang
sedang duduk di atas kayuk rapuh.
“Enggak,
Mas,” jawabku lemas.
“Kok
kamu aneh? Kamu sakit?”
“Enggak
tahu. Aku sehat kok.”
“Terus
kenapa, honey? Ceria dong, kayak
biasanya!”
“….”
“Honey…”
“Aku
mau masuk tenda. Aku mau tidur. Nanti tolong bilang Mbak Sani, kalo mau tidur
masuk aja gitu, ya.”
“Kamu
kenapa sih?”
Aku
tak menjawabnya. Aku malah langsung masuk ke tenda. Sebenarnya aku tak ingin
tidur, karena aku ingin menikmati indahnya pesona api unggun di malam yang
jarang sekali aku temui.
“Yang,
good night…”
“Good nigt too, honey.”
“Honey, waiting me!”
Aku
pun terhenti dari langkahku. Dan langsung membalikkan badanku menuju arah Mas
Dimas.
“Fir…”
ucap Mas Dimas, sambil mengecup pipiku.
Aku
terpaku. Aku merasa luluh pada Mas Dimas, setelah bibirnya mengecup pipiku.
“Mas….”
“Apa?
Kamu kenapa sih?”
“Aa…
aku merasa demam. Tapi, suhu badanku tetap pada posisi normal,” jelasku.
Mas
Dimas, pun langsung menyenruh dahiku. Mungkin hanya untuk menentukan suhu
panasku saja.
“Iya,
suhu badanmu biasa aja kok. Kamu …”
“Mas…,”
jawabku sedikit manja.
“Kamu
istirahat aja dulu! Aku tungguin kamu nyampe tidur lelap.”
“Enggak
usah. Mas nikmati ajah keindahan api unggun bersama teman-temanmu.”
“Enggak.
Aku temenin kamu dulu nyampe kamu tidur.”
✲✲✲
Pagi
yang sangat indah, mempesona, nan cerah. Kabut di pagi hari itu sangatlah
membuat suasana sekitarku sejuk. Ya, sejuk. Aku bangun paling awal dari yang
lainnya. Ya, gimana aku bisa banguntelat, orang semalaman itu sebenarnya aku
tak bisa tidur dan berpura-pura tidur saja di samping Mbak Sani yang sudah
terlelap dalam tidunya.
“Fir,
udah bangun? Tumben,” ledek Mas Dimas.
“Iya,
aku ngidupin alarm di hapeku,” jawabku tanpa kejujuran.
“Oh,
bagus deh.”
“Kamu
nanti siap-siap kemasin barang-barangnya ya!”
“Bukankah
kamu bilang kita di sini dua hari? Sekarang kan masih ada waktu for one day again, honey?”
“Aku
khawatir padamu, honey. Nanti kita
pulang setalah embun menghilang.”
“Baiklah.
Maaf ya, Mas.”
“Iya,
enggak apa-apa,” jawabnya manis.
Setelah
semua mulai bangun dari tidurnya, seluruh anak pendaki kawasanku langsung
berlari-lari kecil di kawasan tenda yang kami tempati. Ya, walaupun berlari
kecil, tapi bagi mereka intinya mereka bisa olahraga.
Sekitar
dua jam lah waktu yang mereka butuhkan untuk mengeluarkan zar asam dari dalam
tubuh mereka. Namun, aku hanya terdiam sendiri. Entah mengapa dengan diriku.
Diruku seperti di temani oleh seseorang yang tak kukenali. Ia terus
bertanya-tanya padaku tanpa henti mengenai pegunungan ini. Oh iya, aku baru
ingat kalau gunug itu namanya ‘Gunung Munara’.
“Fir,
kamu ngomong sama siapa?”
“Te…”
Sebelum
jawabanku terlontar dari mulutku, makhluk yang asing itu langsung melarangku
untuk memberi tahunya. Aku tak tahu apa alasannya melarangku memberi tahu kalau
aku berbicara dengan seseorang yang tak aku kenali itu.
“Siapa?”
“Hah,
enggak. Aku… aku mau cepat pulang.”
“Barangmu
sudah di kemaskan?”
“Aku
tidak mengeluarkan barang apapundari tasku kecuali tenda.”
“Oh,
ya sudah. Kalau tenda biar temanku aja dulu yang make, ya!”
“Baiklah.
Mas, ayo pulang…”
“Ya,
sudah kamu ambil barangmu dan aku tunggu di sini!”
Aku
pun langsung bergegas mengambil ranselku.
Tanpa
hitungan menit, aku pun langsung stand by
lagi di tempat semula aku dan Mas Dimas.
Dengan
tersenyum, Mas Dimas langsung menggandeng tanganku dan berkata, “Yuk berangkat…”
“Yuk…”
Kami
pun berjalan bergandengan. Aku sempat sekilas melihat wajah Mas Dimas yang
tengah cemas padaku. Tapi, aku berpura-pura tak mengetahui hal itu.
Mungkin
hampir satu jam lah untuk aku bisa sampai di kaki gunung Munara ini. Cukup
melelahkan tapi semua ini rasanya hilang karena aku saat ini sedang tak enak
badan. Tapi, jika di bilang enggak enak badan, kayaknya enggak mungkin
deh. Demam? Massa? Au ah, aku pusing
mikirin hal itu.
Dan
sesampai di tepi jalan raya, aku dan Mas Dimas langsung memberhentikan bis yang
berlaju menuju arah bandung.
“Ayo
say, kamu naik duluan!” pinta Mas Dimas.
“Baiklah.”
Aku
pun langsung naik dan mencari tempat duduk yang kosong dan bisa digunakan
untukku dan Mas Dimas.
Aku
duduk di bangku ke empat dari belakang. Karena hanya itulah bangku yang kosong
untuk kami.
“Mas,
aku duduk di pojok ya?”
“Terserah
kamu aja.”
Aku
pun langsung duduk dan Mas Dimas pun ikut duduk di sampingku.
“Mas…”
“Kenapa?
Pusing? Atau suhu badanmu mulai terasa naik?”
“Enggak.
Aku hanya ingin bertanya saja.”
“Bertanya
apa? Jangan aneh-aneh ya!”
“Mas,
sebenarnya kamu tahu enggak sih waktu aku lagi ngobrol sendiri itu?”
“Maksudmu?”
“Kamu
tahu enggak au lagi ngobrol sama siapa?”
“Oh
itu, emangnya kenapa?”
“Tahu
enggak?”
“yap,”
jawabnya simpel sambil melepaskan senyum manisnya.
“Oh..”
“Dan
aku juga tahu kalau teman barumu itu sedang bersamamu juga.”
“Maksudmu?”
“Aku
akan ceritakan semuanya, tapi kamu jangan kaget atau takut, ya!”
“Iya,
janji.”
“Suhu
badanmu normal, tapi perasaanmu tidak nyaman kan. Kmau merasa seperti sedang
demam padahal tidak. Dan sebenarnya itu efek dari teman barumu.”
“Maksudnya?
Aku bingung, Mas…”
“Lagian,
tadi kamu malah girang dan jingkrak-jingkrakkan di puncak sana. Itu bisa jadi
kamu menggnggu penghuninya.”
“Mas….”
Ujarku yang sok ketakutan.
“Kenapa?
Takut?”
“Enggak,
Cuma… Cuma mau Tanya aja, dia bisa di jauhin enggak dariku?”
“Ya
bisalah sayang…”
Aku
langsung reflex tersenyum padanya.
“Mas, nanti tolong jauhin dia dari aku ya..”
“Tenang
aja..”
“Oh
iya Mas, kok kamu selalu baik padaku?”
“Kamu
mau tau jawabannya apa?”
“Ya
iya lah, Mas,” jawabku kesal.
“Karena
aku sayang kamu dan aku ingin menjadi penjagamu selama aku bisa da nada di
sekitarmu.”
Aku
terdiam sejenak, dan kembali bertanya, “Mas, emangnya kamu benar sayang sama aku?”
“Ya
ampun, Safira. Kamu masih nganggep aku bercanda selama aku masih terus manggil
kamu sayang?”
“Ya
enggak, Mas. Aku kira kamu hanya menganggapku adik saja.”
“Terserah
kamu aja, mau kamu pikir seperti itu silahkan. Atau sependapatku juga
silahkan.”
“Mas,
makasih ya!” ucapku sambil mencium pipi kirinya.
Dan
Mas Dimas pun langsung melinggkarkan tangan kirinya pada pinggangku.
“Ya
sudah, kamu tidur aja. Nanti kamu kalau sudah bangun, pasti temanmu sudah tidak
akan bersamamu lagi.”
“Terima
kasih, Mas. Engkau telah menjadi penjagaku dan menjadi yang terbaik untukku.”
“Aku
akan lebih terima kasih dan menerima penghargaanmu itu jika hubungan ini bisa
terus berlanjut hingga akhir hayat nanti.”
“Are
you sure?”
“Yess. Do you want marry with me, honey?”
“Yess, I do. Kuharap kamu akan selalu
setia menjadi penjagaku.”
“Oke. No problem for me.” Ledeknya menantang.
Aku
pun langsung merebahkan tubuhku dan menenangkan tubuh yang lelah ini. Tanpa
rasa beban sedikitpun setelah aku mendengar pernyataan dari seseorang yang
sangat berarti bagiku selama ini. Mas Dimas.
The
End
0 comments:
Post a Comment