Tuesday, November 25, 2014

cerpen _ Kasih seorang kakak…


Seorang kakak yang sangat baik itu tak mungkin membiarkan adik-adiknya terluka, tersakiti dan sedih. Seorang kakak yang setia itu akan selalu membuat adiknya tersenyum bahagia. Meski, rasa sakit harus di derita olehnya.
Sore itu, orangtua gue sempat memberikan amanah pada kakak pertama gue. Orang tua gue nyuruh kakak pertama gue buat ngawasin adik-adikny selama orang tua gue pergi ke kampung halamannya. Dan dia juga pernah bilang, kalau ada yang enggak nurut sama peraturan di rumah ini, berarti kalian semua enggak akan dapet uang sepeser pun selama sebulan.
Orang tua gue berangkat ketika jarum jam menunjukan pukul lima sore. Orang tua gue berangkat diantarkan kakak pertama dan ke dua gue. Mereka nganterin sampai Pasar jumat, karena dari jalan Tol-nya orang tua gue milih naik taksi.
Oh ya, sebenarnya dia bukan orang tua kandung gue dan beberapa saudara gue. Dia sebenarnya orang tua agkat gue, kakak-kakak gue dan beberapa adik-adik gue.
Kalau di ceritain pasti enggak bakal kelar, asal usul gue dan beberapa saudara-saudara gue. Yang intinya dia bukan orang tua kandung kita semua. Tapi, walaupun bukan kandung, kita selalu menyayanginya dan menghormatinya. Kita juga telah menganggap dia sebagai orang tua akndung.
Kasih sayang orang tua itu taka da bandingannya, dan itu memang benar. Tapi, kasih sayang seorang kakak juga tak bisa jauh darinya. Tapi tetap saja bagiku kasih sayang mereka sangatlah berarti.
Gue masih inget waktu gue kecil dulu, kakak pertama gue sempet bialang, “Kasih sayang haruslah mampu membuat orang yang disayangi merasa bahagia sekaligus mendewasakannya. Kasih sayang yang natural juga perlu ditumbuhkan pada hubungan kakak beradik. Ingat, persaudaraan di antara kakak dan adik berlangsung selamanya.”
Walaupun gue masih inget kata-kata itu, tapi gue kadang suka menghiraukannya. Dulu setiap bertengkar, Kakak pertama gue atau Kak Adah,  selalu menangis, bodohnya gue tidak melihat kesedihan yang Ia rasakan. Dulu itu gue masih kecil dan belum bisa membedakan yang jahat dan baik. Gue melakukan itu karena perasaan gue yang memaksa dan tidak bisa di tahan. Rasa emosi dan kesel selalu melekat dihati gue saat itu. Gue masih seperti batu yang tidak bisa lembut kepada orang yang lebih tua terutama Kakak gue. Oh ya, kakak pertama gue itu sangatlah berharga bagi gue dari pada yang lainnya. Terkadang kesedihan Ia dapat terlihat ketika dia sedang melamun dan pikirannya kosong. Ia tidak pernah bercerita apabila sedang sedih dan kesal kepada gue.
Kak Adah selalu berusaha menyimpan kesedihannya sendiri. Apabila ia sedang sedih karena masalah lain, dia pun tidak pernah cerita dan selalu menyembunyikan itu dari gue. Disaat itu, ingin sekali gue bisa membagi kesedihan Ia dengan gue. Gue ingin merasakan kesedihan yang ia rasakan itu, tapi dia tidak pernah mengijinkan gue. Bagi dia gue masih kecil dan belum saatnya merasakan kesedihan karena akan menggangu perkembangan dan pertumbuhan gue.
Padahal, sebenarnya gue itu bukan anak kecil, sekarang itu gue udah SMA, mas ague masih di anggap anak kecil.
✲✲✲
Hari-hari gue selalu di isi dengan mendengarkan lagu atau belajar. Gue selalu belajar bareng sama Kak Adah, karena dia itu kakak yang gue sayangi. Dia selain cantik, pinter, baik lagi. Bahkan teman-temannya juga banyak sekali yang tertarik padanya. Tapi sayang, ia selalu menolaknya karena ia tak pernah berminat untuk hal itu.
Minggu pagi itu, kakak gue masih jerit-jeritan hanya demi mengingatkan dan memberikan yang terbaik untuk adik-adiknya. Tapi sayang sekali, gue malah masa bodo dan enggak mikir panjang lagi.
Gue tahu kakak gue ngingetin semuanya buat cepetan mandi karena jam enam lebih 15 itu sudah tidak ada yang boleh mandi lagi. Gue tahu itu peraturan, tapi gue hanya pengen iseng aja, gue mandi jam enam lewat sepuluh. Dan gue mandi sengaja selama 20 menit.
Pas gue keluar dari kamar mandi, tampang wajah gue, sengaja gue melasin dan sok enggak punya salah ketika gue ngelihat dia berdiri di hadapan pintu kamar mandi.
“De, enggak lihat jam berapa?”
“Apaan sih? Udah ah, gue mau siap-siap sekolah!”
“De…,” jawabnya pasrah, tapi gue tetap menghiraukannya.
Gue malah kabur ke kamar gue buat siap-siap sekolah. Gue juga masih egois sih. Gue selalu mikirin diri gue sendiri. Gue enggak bisa kayak kakak gue itu.
Setelah gue selesai siap-siap sekolah, gue langsung berangkat sekolah dengan mobil pribadi gue. Angkot. Ya, angkot akan jadi mobil pribadi gue, tapi kalau sekolah aja sih.
Gue kalau di sekolah selalu berbuat baik kepada siapun terutama para guru. Gue hanya bisa ngikutin kepribadian kakak pertama gue di sekolah saja. Gue enggak tahu kenapa gue hanya bisa ngikutinnya di sekolah aja, dan kenapa enggak di setiap lingkungan yang gue temuin?
Setiap gue pulang sekolah juga, gue selalu memberikan rizki yang gue punya untuk oarng yang lebih dari gue. Dan itu juga gue termotivasi karena kakak pertama gue lagi.
Di rumah, saat gue dan saudara-saudara gue menonton Tv di ruang keluarga, telepon berbunyi dan Kak Adah yang mengangkatnya.
“Hallo, ini siapa?” Tanya Kak Adah.
Gue enggak tahu mereka ngobrol apa lagi, yang penting gue baru tahu kalau itu telepon dari bunda gue yang masih di kampungnya.
Selesai kakak gue ngangkat telepon itu, dia langsung bilang kalau Ayah dan Bunda akan pulang hari ini. Tanpa lelah dia terus ngasih tahu adik-adiknya yang masih menghiraukannya.
“De, Ayah dan Bunda hari ini mau pulang. Jadi kamu jangan bikin kesalahan lagi, ya!”
Gue Cuma bisa tersenyum saja. Gue enggak terlalu mentingin omongannya itu. Gue malah pergi ke kamar dan mengunci pintu kamar gue. Sebelum gue menutup pintu kamar gue, gue ngelihat kakak gue itu sedang bermimik wajah kesal. Dia cemberut dengan bibirnya yang mulai manyun ke depan.
“Dede…,” teriaknya.
“Apa kakak?” jawabku sambil menutup pintu kamar gue rapat-rapat.
Di dalam kamar, gue terus dengerin lagu sambil tiduran. Gue enggak pernah mikirin perasaan kakak gue. Lagian di juga kalau punya masalah enggak pernah ngomong apa-apa.
✲✲✲
Malam pun tiba, gue ngedenger suara bel rumah berbunyi. Gue sengaja enggak ngelihat keluar jendela, karena gue yakin itu pasti orang tua gue. Dan pastinya kakak gue yang bakalan buka gerbangnya.
“Assalamualaikum…”
“Walaikumsalam,” jawab kakak gue yang terdengar sangat pelan dari kamar gue yang dekat ruang tamu.
Selebihnya gue enggak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Gue juga enggak tahu, apa mereka ngobrol dulu di ruang keluarga atau pada langsung tidur. Intinya malam itu gue langsug membuka kunci pintu kamar gue supaya enggak ke kunci. Dan orang tua gue bisa masuk sesuka hatinya.
Gue yakin sekali kalau Bunda akan masuk kamar gue. Karena setiap apa-apa pasti orang tua gue selalu masuk ke kamar gue dulu, baru nanti kamar yang lain.
“Nay,” panggila Bund ague sambil mengelus rambut gue.
Waktu itu gue baru tidur, jadinya gue masih bisa menyempatkan waktu gue buat bund ague.
“Kenapa, Bun?”
“Belum tidur?”
“Aku baru saja tidur. Bunda baru sampai yah?” Tanya gue yang sok pura-pura enggak tahu.
“Iya. Nay, tadi kamu bikin masalah enggak?”
“Mmm…. Bun, tadi aku mandi telat. Aku enggak ngikutin jadwa yang bunda berikan.” Jelasku.
“Oh, ya sudah kalau begitu. Sekarang sudah malam, lebih baik kamu lanjutin aja tidurnya! Bunda juga sudah lelah dan ingin istirahat.”
“Baiklah, Bun. Selamat tidur.”
“Selamat tidur juga sayang.”
Bunda gue pun langsung pergi keluar dari kamar gue dan langsung menutupnya. Dan akhirnya gue pun melanjutkan tidur gue lagi.
Oh, ya. Hampir saja lupa. Gue enggk tahu kenapa sebelum lanjutin tidur itu langsung inget Kak Adah. Apa karena ia masih kesal sama gue makanya gue angsung kepikiran dia? Tapi sudahlah, gue enggak terlalu mentingin hal itu.
Kreek…kreek..
Gue denger suara pintu kamar gue terbuka. Dan gue juga kaget pas lampu kaar gue yag lagi mati itu di hidupin. Dalam bayangan gue yang masih memejamkan mata itu terlintas sosok penjahat. Pembunuh, atau pencuri.
Gue enggak bisa buka mat ague. Sumpah gue langsug ketakutan. Gue ters memejamkan mata gue sekenceng-kencengnya.
Tapi yang gue heranin, sosok itu tak juga mendekati gue. Dan suasana di kamar gue juga masih hening. Seperti taka da kehidupan.
Sepuluh menitan mungkin yah, gue baru ngerasa rabaan tangan yang halus di kepala gue. Gue mulai merasa takut. Tapi mau enggak mau gue tetap memejamkan mata dan seolah-olah membuat seluruh badan gue terlelap dalam tidur gue.
“De, kamu harus tahu kalau tadi kakak sedikit berbohong pada Bunda, hanya demi kamu dan yag lain. Kakak enggak mau kalian enggak dapet uang sepeser pun selama sebulan itu, oleh karena itu kakak ikhlas kok menanggung dosa atas kebohongan kakak. Asalkan kalian bahagia.”
Gue terus diem dengerin penjelasannya sama gue. Tadinya gue pengen bangun dan pengen nenangin dia yang sudah mulai tersedu-sedu.
“Tadi juga kakak bohong tentang kamu. Tapi sebenarnya itu tak bohong bagi kakak. Karena kakak awalnya sudah jujur kok. De, kamu hampir saja membuat kami enggak punya uang selama sebulan. Sebenarnya kalau kakak sih enggak masalah mau di kasih apa enggak. Toh kakak ka enggak pernah minta uang lagi sama Ayah dan Bunda.”
Setelah tangisnya semakin menjadi, ia terhenti dari ucapannya. Gue tahu pasti ia enggak kuat lagi buat ngomong karena tangisannya.
Gue enggak tahu kejadan setelah itu. Gue juga enggak tahu lagi apa yang dia omongin. Soalnya mat ague udah mulai tak bernyawa lagi. Alias gue udah tertidur nyenyak.
✲✲✲
“Bangun… Bangun…” teriak kakak gue di pagi hari.
Gue pun langsung bangun setelah Kak Adah bangunin gue dan yang lain. Gue langsung mandi dan bantuin beres-beres rumah.
Selesai mandi gue langsung pergi ke dapur. Biasalah, apa lagi kalau bukan buat nyari makanan untuk si perut gue yang sangat berguna ini.
Gue makan selalu di jatah. Bukan di jatah makanannya, tapi waktunya. Gue selalu ngasih waktu makan gue lima menit buat sarapan. Habis enggak habis tetap harus lima menit.
Sebelum gue berangkat sekolah, gue selalu minta uang sama orag tua gue. Ya, kalau bukan ke mereka ke siapa lagi.
Sebelum gue ketuk pintu kamar orang tua gue, gue ngelihat di ruang keluarga sedang ramai. Dan akhirnya gue juga ikut aja kumpul di situ sekalian minta uang karena orang tua gue juga ada d situ.
“Bun, aku minta uang…,” kata gue lembut.
“Ada pembayaran enggak?”
“Kayaknya enggak ada deh,Bun.”
“Nay, kita enggak dapet uang jajan.” Potong si bungsu.
Dngan reflex gue langsung melotot bengong karena kaget dan bingung.
“Iya, soalnya ada yang enggak jujur sama Bunda. Tapi, untngnya pelakunya jujur,” lanjut Bunda sambil sedikit meledek.
Seketika gue hanya bisa diem dan langsung ngelihat wajah kakak pertama gue.
“Kata bunda ada yag mandi telat,” jelas si bungsu lagi.
“Oh,” jawab gue simple.
“Nih uang jajan kamu hari ini.”
“Iya bun. Aku berangkat ya! Assalamualaikum,” ujar gue sambil mengecup punggug tangan buda gue.
Gue langsug berangkat sekolah. Tapi sebelum gue naik angkot, kakak pertama gue sempet ngajaka bareng pake motornya. Dan gue juga sok pasti enggak bakal nolak karena itu sedikit rejeki. Hehehe.
Emang sih gue kadang-kadang suka bareng sama dia soalnya arah tempat kuliah kakak gue searah dengan tempat sekolah gue.
Biasanya kakak gue selalu ceramahin gue dan ngasih tahu hal-hal baik yag pernah ia lakuin. Tapi entah kenapa waktu itu dia enggak ngomong apa-apa ke gue. Dia enggak bercanda, enggak ceramahin gue bahkan dia juga enggak curhat tentang kebaikan dia.
Sesampai gue di depan gerbang sekolah, gue langsung turun dan saliman sama kakak gue. Tapi, pas gue tatap mukanya yang sedang mendung dan matanya juga bengkat, berwarna merah.
“Kak, habis nangis?”
“Enggak,” jawabnya simple.
“Terus? Perasaan tadi wajah kakak biasa-biasa aja.”
“Sudah masuk sana! Nanti kamu terlambat.”
Dia pun langsung pergi ninggalin gue tanpa salam. Gue yakin pasti dia punya masalah. Gue sedikit sedih juga sih pas ngelihat dia sedih. Tappi, terkadang gue suka gengsi sama rasa simpatik gue.
Seperti biasa, kalau di sekolah gue selalu berlaku alim, imut dan sok manis. Tapi, emang pada dasarnya gue manis kok. Buktinya masih ada yang suka sama gue. Hehehe.
Gue belajar biasanya selalu konsen, tapi gue enggak tahu kenapa hari itu enggak konsen. Dua pelajaran yang gue tempuh tetap saja taka da satu pun yang masuk dalam otak gue.
Dalam benak gue hanya ada berkas wajah kakak gue tadi pagi. Wajah kesedihannya menunjukan bahwa rasa sakitnya tak bisa tertahan lagi.
Jam istirahat telah tiba. Gue milih enggak ke kantin, meski teman-teman gue pada ngajak ke kantin. Gue malah diem di kelas dan terus mencoba menghubungi kakak gue.
Panggilan gue, ia teerima. Tapi gue enggak tahu kenapa ia tak bersuara sedikit pun.
“Kak, kangen deh jadinya,” ucap gue yang mulai sedikit luluh padanya.
“….”
“Kak, kenpa sih diem aja? Aku Tanya terus dari tadi, kakak Cuma bisaya diem aja. Emangnya ada masalah apa?”
“Kalau kayak gini terus kakak bikin aku enggak konsen belajar. Dari tadi aku enggak konsen Cuma gara-gara inget kakak,” lanjut gue.
Dan akhirnya dia pun menjawwab,”Kakak minta maaf kalau kakak selalu jahat sama kalian. Di balik ke aliman kakak pasti banyak sekali kebohongan yang kakak perbuat. Kakak malu sama Bunda dan pastinya Ayah juga. De, kalau kalau kakak belum sempat mengucapkan maaf yang sangat amat snagat dari hati terdalam, jadi kakak minta kamu tolong sampaikan maaf ini kepada siapapun yang di rumah.”
“kak, kok begitu? Emangnnya kakak bernohong karena apa?”
“Kalian yang sangat aku sayangi.”
Sebelum gue melontarkan pertanyaan lagi, panggilan itu telah di akhiri oleh Kak Adah.
“Yaah, dimatiin.”
Dan setelah itu masuk pesan masuk pada hapeku.
De, di rumah itu yang paing besar aku, dan aku seharusnya mengajarkan kalian yang terbaik. Tapi sayang, aku malah melenceng dari visi dan misiku. Sungguh aku malu ketika bunda bilang bahwa di rumah, ada yang tidak jujur sama bunda, tapi uuntungnya pelakunya jujur. Dan sok pasti bunda sudah menganggap kakak pembohong. Dan pastinya juga orang tua kita tak akan lagi percaya padaku. Jujur, sebenarnya aku sedih dan tak mau melakukan hal itu. Tapi, itu semua kau lakukan hanya demi kalian semua sebagai adik-adikku yang sangat aku sayangi. Kasih seoang kakak itu snagat penting untuk adik-adiknya. Oleh karena itu aku selalu ingin memberikan yang terbaik untuk kalian meskipun aku harus terbaru arus gelombang dalam pahit manisnya hidup ini.
Begitulah isi surat yang udah gue baca. Gue sedih pas ngedenger penjelasan kakak gue. Gue mencoba menghubinginya.
“kak, aku minta maaf.”
“…”
“Kak, aku enggak peduli kakak mau maafin aku atau enggak. Yang penting sekarang aku minta maaf. Kakak masih di kampus?”
“…, enggak. Kakak lagi enggak ke kampus hari ini. Kakak ingin menenangkan diri. Kakak cukup malu sama Bunda dan Ayah. Kamu jangan kasih tahu Bunda kalau kakak pergi. Terus kalau bunda nanya tentang kakak, bilang aja kamu enggak tahu. Kakak pergi sebentar kok. Kakak hanya ingin menenangkan diri saja dulu untuk menghilangkan rasa malu kakak,” jelasnya sambil terdengar seduan arir matanya.
“Kak, kakak nangis?”
“Enggak. De, kamu jangan jadi anak yang sombong dan selalu berbuat baik kepada orang lain, terutama orang tua kita.”
“Iya, kak.”
“Ya sudah. Udahan dulu ya! Kakak lagi bawa motor soalnya.”
Panggilan pun di akhiri lagi. Dan gue pun langsung mulai mengikuti kegiatan belajar gue di sekolah karena bel masuk sudah bordering.
✲✲✲
Sepulang sekolah, gue langsung nimbrug di ruang tengah bareng orang tua gue. Saat gue,bunda dan ayah sedang menonton televise di ruang keluarga, telepon pun berbunyi. Bunda melangkah ke meja telepon dan mengangkatnya.
“Halo, ini dengan siapa?” Tanya bunda.
“Maaf bu, apakah benar ini keluarga saudara Saadah?”
“Iya, benar. Ada apa ya?”
“Maaf sebelumnya, ini dari Rumah Sakit Bhakti Mulya. Bu, hari ini saudara Saadah mengalami kecelakaan, sekarang ia sedang di ruang UGD sedang ditangani oleh dokter.”
“Apa!!! Baiklah saya akan segera kesana,” ucap bunda sambil menangis. Ayah sontak kaget mendengar ini. Begitupun gue. Dan akhirnya kami pun langsung berangkat ke rumah sakit dengan naik taksi.
Sesampainya di rumah sakit kami langsung menuju ruang UGD. Dan ternyara kakak gue itu masih enggak sadarkan diri. Kata dokter sih kakak gue nagalamin benturan yang sangat keras di kepalanya dan membuat syaraf matanya rusak, sehinga mengalami kebutaan dan mungkin ia akan mengalami amnesia.
Sontak kabar itu membuat keluarga gue shock.  Sumpah gue sangat sedih mendengar dan melihat kenyataan ini, tapi mau gimana lagi? Ini udah menjadi takdir hidupnya dan gue sebagai saudaranya harus mengikhlaskannya, meski gue bukan saudara sedarahnya.
Gue engak mau ninggalin kakak gue di rumah sakit. Gue hanya mau nemenin dia aja sampai dia benar-benar sadar. Gue lebih milih enggak dapet ilmu dari sekolah, asalkan gue bisa bersama kakak gue. Gue bener-bener berdosa banget. Kakak gue seperti ini karena kesalahan gue.
Sore menjelang malam itu orang tua gue pulang dulu, karena di rumah ada saudara-saudara gue yang belum dikasih tahu kalau kakaknya sedang sakit. Sekaligus ia juga mengizinkan aku untuk tidak sekolah.
Gue heran banget kenapa kakak gue enggak sadar-sadar juga. Gue emang sedikit takut dan di bayangan gue hanyalah kematian. Bagaimana kalau kakak meninggal atau koma? Aduh, sungguh pengorbanannya itu sangat berarti bagi gue.
Dia itu yag terbaik bagi gue setelah orang tua gue. Lagian gue juga ngerasa kalau dia itu bunda kedua gue.
Malam itu gue tiba-tiba langsung menggenggam pergelangantangan kakak gue yang lemas itu. Dan gue langsung shock pas tahu tangannya tak terasa detakkan sedikitpun. Gur terus menyentuh dadanya. Sumpah enggaka ada detakkan jantung sedikitpun.
Dengan segera gue lagsung manggil suster yang lagi jalan di depan pintu ruangan pintu kamar kakak gue yang masih berbaring.
“Sus, tolong kakak saya,” ujar gue yang terengah-engah seperti dikejar-kejar hantu atau sejenisnya.
“Kenapa memangnya?”
“Sus, cobalah periksa keadaannya! Saya minta tolong.”
Suster yang enggak gue kenali itu pun langsung masuk dan memeriksa keadaan kakak gue. Dan sayang…, setelah gue mendenggar penjelasan suster itu pun, rasanya raga gue melayang tanpa beban.
“De, saya turut berduka cita atas kepergiannya.”
“Apaaaa….,” jawab gue yang enggak percaya. Dan seketika gue pun pingsan.
Gue mulai siuman gara-gara mencium aroma yang sangat menghangatkan.
“De,” ujar suster tadi.
“Kakak saya… kakak saya… sus, katakana pada saya kalau dia masih hidup!”
“….” Ia tak menjawabnya melainkan menggelengkan kepalanya.
“Sus…,” ucap gue sambil menagis.
Gue menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan menjadi tangisan terakhir gue. Karena gue telah berjanji untuk menjalani kehidupan ini dengan sebaik mungkin. Karena gue mencintai Kak Adah. Begitupun dirinya.
The End


.


1 comments:

Post a Comment

 
;