Seorang kakak yang sangat baik
itu tak mungkin membiarkan adik-adiknya terluka, tersakiti dan sedih. Seorang
kakak yang setia itu akan selalu membuat adiknya tersenyum bahagia. Meski, rasa
sakit harus di derita olehnya.
Sore itu, orangtua gue sempat
memberikan amanah pada kakak pertama gue. Orang tua gue nyuruh kakak pertama
gue buat ngawasin adik-adikny selama orang tua gue pergi ke kampung halamannya.
Dan dia juga pernah bilang, kalau ada yang enggak nurut sama peraturan di rumah
ini, berarti kalian semua enggak akan dapet uang sepeser pun selama sebulan.
Orang tua gue berangkat ketika
jarum jam menunjukan pukul lima sore. Orang tua gue berangkat diantarkan kakak
pertama dan ke dua gue. Mereka nganterin sampai Pasar jumat, karena dari jalan
Tol-nya orang tua gue milih naik taksi.
Oh ya, sebenarnya dia bukan orang
tua kandung gue dan beberapa saudara gue. Dia sebenarnya orang tua agkat gue,
kakak-kakak gue dan beberapa adik-adik gue.
Kalau di ceritain pasti enggak
bakal kelar, asal usul gue dan beberapa saudara-saudara gue. Yang intinya dia
bukan orang tua kandung kita semua. Tapi, walaupun bukan kandung, kita selalu
menyayanginya dan menghormatinya. Kita juga telah menganggap dia sebagai orang
tua akndung.
Kasih sayang orang tua itu taka
da bandingannya, dan itu memang benar. Tapi, kasih sayang seorang kakak juga
tak bisa jauh darinya. Tapi tetap saja bagiku kasih sayang mereka sangatlah
berarti.
Gue masih inget waktu gue kecil
dulu, kakak pertama gue sempet bialang, “Kasih sayang haruslah mampu membuat orang
yang disayangi merasa bahagia sekaligus mendewasakannya. Kasih sayang yang
natural juga perlu ditumbuhkan pada hubungan kakak beradik. Ingat, persaudaraan
di antara kakak dan adik berlangsung selamanya.”
Walaupun gue masih inget kata-kata itu, tapi gue kadang suka
menghiraukannya. Dulu setiap bertengkar, Kakak pertama gue atau
Kak Adah, selalu menangis, bodohnya gue
tidak melihat kesedihan yang Ia rasakan. Dulu itu gue masih kecil dan belum
bisa membedakan yang jahat dan baik. Gue melakukan itu karena perasaan gue yang
memaksa dan tidak bisa di tahan. Rasa emosi dan kesel selalu melekat dihati gue
saat itu. Gue masih seperti batu yang tidak bisa lembut kepada orang yang lebih
tua terutama Kakak gue. Oh ya, kakak pertama gue itu sangatlah berharga bagi
gue dari pada yang lainnya. Terkadang kesedihan Ia dapat terlihat ketika dia
sedang melamun dan pikirannya kosong. Ia tidak pernah bercerita apabila sedang
sedih dan kesal kepada gue.
Kak
Adah selalu berusaha menyimpan kesedihannya sendiri. Apabila ia sedang sedih
karena masalah lain, dia pun tidak pernah cerita dan selalu menyembunyikan itu
dari gue. Disaat itu, ingin sekali gue bisa membagi kesedihan Ia dengan gue.
Gue ingin merasakan kesedihan yang ia rasakan itu, tapi dia tidak pernah
mengijinkan gue. Bagi dia gue masih kecil dan belum saatnya merasakan kesedihan
karena akan menggangu perkembangan dan pertumbuhan gue.
Padahal,
sebenarnya gue itu bukan anak kecil, sekarang itu gue udah SMA, mas ague masih
di anggap anak kecil.
✲✲✲
Hari-hari gue selalu di isi dengan mendengarkan
lagu atau belajar. Gue selalu belajar bareng sama Kak Adah, karena dia itu
kakak yang gue sayangi. Dia selain cantik, pinter, baik lagi. Bahkan
teman-temannya juga banyak sekali yang tertarik padanya. Tapi sayang, ia selalu
menolaknya karena ia tak pernah berminat untuk hal itu.
Minggu pagi itu, kakak gue masih jerit-jeritan
hanya demi mengingatkan dan memberikan yang terbaik untuk adik-adiknya. Tapi
sayang sekali, gue malah masa bodo dan enggak mikir panjang lagi.
Gue tahu kakak gue ngingetin semuanya buat
cepetan mandi karena jam enam lebih 15 itu sudah tidak ada yang boleh mandi
lagi. Gue tahu itu peraturan, tapi gue hanya pengen iseng aja, gue mandi jam
enam lewat sepuluh. Dan gue mandi sengaja selama 20 menit.
Pas gue keluar dari kamar mandi, tampang wajah
gue, sengaja gue melasin dan sok
enggak punya salah ketika gue ngelihat dia berdiri di hadapan pintu kamar
mandi.
“De, enggak lihat jam berapa?”
“Apaan sih? Udah ah, gue mau siap-siap sekolah!”
“De…,” jawabnya pasrah, tapi gue tetap
menghiraukannya.
Gue malah kabur ke kamar gue buat
siap-siap sekolah. Gue juga masih egois sih. Gue selalu mikirin diri gue
sendiri. Gue enggak bisa kayak kakak gue itu.
Setelah gue selesai siap-siap
sekolah, gue langsung berangkat sekolah dengan mobil pribadi gue. Angkot. Ya,
angkot akan jadi mobil pribadi gue, tapi kalau sekolah aja sih.
Gue kalau di sekolah selalu
berbuat baik kepada siapun terutama para guru. Gue hanya bisa ngikutin
kepribadian kakak pertama gue di sekolah saja. Gue enggak tahu kenapa gue hanya
bisa ngikutinnya di sekolah aja, dan kenapa enggak di setiap lingkungan yang
gue temuin?
Setiap gue pulang sekolah juga,
gue selalu memberikan rizki yang gue punya untuk oarng yang lebih dari gue. Dan
itu juga gue termotivasi karena kakak pertama gue lagi.
Di rumah, saat gue dan
saudara-saudara gue menonton Tv di ruang keluarga, telepon berbunyi dan Kak
Adah yang mengangkatnya.
“Hallo, ini siapa?” Tanya Kak
Adah.
Gue enggak tahu mereka ngobrol
apa lagi, yang penting gue baru tahu kalau itu telepon dari bunda gue yang
masih di kampungnya.
Selesai kakak gue ngangkat
telepon itu, dia langsung bilang kalau Ayah dan Bunda akan pulang hari ini.
Tanpa lelah dia terus ngasih tahu adik-adiknya yang masih menghiraukannya.
“De, Ayah dan Bunda hari ini mau
pulang. Jadi kamu jangan bikin kesalahan lagi, ya!”
Gue Cuma bisa tersenyum saja. Gue
enggak terlalu mentingin omongannya itu. Gue malah pergi ke kamar dan mengunci
pintu kamar gue. Sebelum gue menutup pintu kamar gue, gue ngelihat kakak gue
itu sedang bermimik wajah kesal. Dia cemberut dengan bibirnya yang mulai manyun
ke depan.
“Dede…,” teriaknya.
“Apa kakak?” jawabku sambil
menutup pintu kamar gue rapat-rapat.
Di dalam kamar, gue terus
dengerin lagu sambil tiduran. Gue enggak pernah mikirin perasaan kakak gue.
Lagian di juga kalau punya masalah enggak pernah ngomong apa-apa.
✲✲✲
Malam pun tiba, gue ngedenger
suara bel rumah berbunyi. Gue sengaja enggak ngelihat keluar jendela, karena
gue yakin itu pasti orang tua gue. Dan pastinya kakak gue yang bakalan buka
gerbangnya.
“Assalamualaikum…”
“Walaikumsalam,” jawab kakak gue
yang terdengar sangat pelan dari kamar gue yang dekat ruang tamu.
Selebihnya gue enggak tahu lagi
apa yang mereka bicarakan. Gue juga enggak tahu, apa mereka ngobrol dulu di
ruang keluarga atau pada langsung tidur. Intinya malam itu gue langsug membuka
kunci pintu kamar gue supaya enggak ke kunci. Dan orang tua gue bisa masuk
sesuka hatinya.
Gue yakin sekali kalau Bunda akan
masuk kamar gue. Karena setiap apa-apa pasti orang tua gue selalu masuk ke
kamar gue dulu, baru nanti kamar yang lain.
“Nay,” panggila Bund ague sambil
mengelus rambut gue.
Waktu itu gue baru tidur, jadinya
gue masih bisa menyempatkan waktu gue buat bund ague.
“Kenapa, Bun?”
“Belum tidur?”
“Aku baru saja tidur. Bunda baru
sampai yah?” Tanya gue yang sok pura-pura enggak tahu.
“Iya. Nay, tadi kamu bikin
masalah enggak?”
“Mmm…. Bun, tadi aku mandi telat.
Aku enggak ngikutin jadwa yang bunda berikan.” Jelasku.
“Oh, ya sudah kalau begitu.
Sekarang sudah malam, lebih baik kamu lanjutin aja tidurnya! Bunda juga sudah
lelah dan ingin istirahat.”
“Baiklah, Bun. Selamat tidur.”
“Selamat tidur juga sayang.”
Bunda gue pun langsung pergi
keluar dari kamar gue dan langsung menutupnya. Dan akhirnya gue pun melanjutkan
tidur gue lagi.
Oh, ya. Hampir saja lupa. Gue
enggk tahu kenapa sebelum lanjutin tidur itu langsung inget Kak Adah. Apa
karena ia masih kesal sama gue makanya gue angsung kepikiran dia? Tapi
sudahlah, gue enggak terlalu mentingin hal itu.
Kreek…kreek..
Gue denger suara pintu kamar gue
terbuka. Dan gue juga kaget pas lampu kaar gue yag lagi mati itu di hidupin.
Dalam bayangan gue yang masih memejamkan mata itu terlintas sosok penjahat.
Pembunuh, atau pencuri.
Gue enggak bisa buka mat ague.
Sumpah gue langsug ketakutan. Gue ters memejamkan mata gue
sekenceng-kencengnya.
Tapi yang gue heranin, sosok itu
tak juga mendekati gue. Dan suasana di kamar gue juga masih hening. Seperti
taka da kehidupan.
Sepuluh menitan mungkin yah, gue
baru ngerasa rabaan tangan yang halus di kepala gue. Gue mulai merasa takut.
Tapi mau enggak mau gue tetap memejamkan mata dan seolah-olah membuat seluruh
badan gue terlelap dalam tidur gue.
“De, kamu harus tahu kalau tadi
kakak sedikit berbohong pada Bunda, hanya demi kamu dan yag lain. Kakak enggak
mau kalian enggak dapet uang sepeser pun selama sebulan itu, oleh karena itu
kakak ikhlas kok menanggung dosa atas kebohongan kakak. Asalkan kalian
bahagia.”
Gue terus diem dengerin penjelasannya
sama gue. Tadinya gue pengen bangun dan pengen nenangin dia yang sudah mulai
tersedu-sedu.
“Tadi juga kakak bohong tentang
kamu. Tapi sebenarnya itu tak bohong bagi kakak. Karena kakak awalnya sudah
jujur kok. De, kamu hampir saja membuat kami enggak punya uang selama sebulan.
Sebenarnya kalau kakak sih enggak masalah mau di kasih apa enggak. Toh kakak ka
enggak pernah minta uang lagi sama Ayah dan Bunda.”
Setelah tangisnya semakin
menjadi, ia terhenti dari ucapannya. Gue tahu pasti ia enggak kuat lagi buat
ngomong karena tangisannya.
Gue enggak tahu kejadan setelah
itu. Gue juga enggak tahu lagi apa yang dia omongin. Soalnya mat ague udah
mulai tak bernyawa lagi. Alias gue udah tertidur nyenyak.
✲✲✲
“Bangun… Bangun…” teriak kakak
gue di pagi hari.
Gue pun langsung bangun setelah
Kak Adah bangunin gue dan yang lain. Gue langsung mandi dan bantuin beres-beres
rumah.
Selesai mandi gue langsung pergi
ke dapur. Biasalah, apa lagi kalau bukan buat nyari makanan untuk si perut gue
yang sangat berguna ini.
Gue makan selalu di jatah. Bukan
di jatah makanannya, tapi waktunya. Gue selalu ngasih waktu makan gue lima
menit buat sarapan. Habis enggak habis tetap harus lima menit.
Sebelum gue berangkat sekolah,
gue selalu minta uang sama orag tua gue. Ya, kalau bukan ke mereka ke siapa
lagi.
Sebelum gue ketuk pintu kamar
orang tua gue, gue ngelihat di ruang keluarga sedang ramai. Dan akhirnya gue
juga ikut aja kumpul di situ sekalian minta uang karena orang tua gue juga ada
d situ.
“Bun, aku minta uang…,” kata gue
lembut.
“Ada pembayaran enggak?”
“Kayaknya enggak ada deh,Bun.”
“Nay, kita enggak dapet uang
jajan.” Potong si bungsu.
Dngan reflex gue langsung melotot
bengong karena kaget dan bingung.
“Iya, soalnya ada yang enggak
jujur sama Bunda. Tapi, untngnya pelakunya jujur,” lanjut Bunda sambil sedikit
meledek.
Seketika gue hanya bisa diem dan
langsung ngelihat wajah kakak pertama gue.
“Kata bunda ada yag mandi telat,”
jelas si bungsu lagi.
“Oh,” jawab gue simple.
“Nih uang jajan kamu hari ini.”
“Iya bun. Aku berangkat ya!
Assalamualaikum,” ujar gue sambil mengecup punggug tangan buda gue.
Gue langsug berangkat sekolah.
Tapi sebelum gue naik angkot, kakak pertama gue sempet ngajaka bareng pake
motornya. Dan gue juga sok pasti enggak bakal nolak karena itu sedikit rejeki.
Hehehe.
Emang sih gue kadang-kadang suka
bareng sama dia soalnya arah tempat kuliah kakak gue searah dengan tempat
sekolah gue.
Biasanya kakak gue selalu
ceramahin gue dan ngasih tahu hal-hal baik yag pernah ia lakuin. Tapi entah
kenapa waktu itu dia enggak ngomong apa-apa ke gue. Dia enggak bercanda, enggak
ceramahin gue bahkan dia juga enggak curhat tentang kebaikan dia.
Sesampai gue di depan gerbang
sekolah, gue langsung turun dan saliman sama kakak gue. Tapi, pas gue tatap
mukanya yang sedang mendung dan matanya juga bengkat, berwarna merah.
“Kak, habis nangis?”
“Enggak,” jawabnya simple.
“Terus? Perasaan tadi wajah kakak
biasa-biasa aja.”
“Sudah masuk sana! Nanti kamu
terlambat.”
Dia pun langsung pergi ninggalin
gue tanpa salam. Gue yakin pasti dia punya masalah. Gue sedikit sedih juga sih
pas ngelihat dia sedih. Tappi, terkadang gue suka gengsi sama rasa simpatik
gue.
Seperti biasa, kalau di sekolah
gue selalu berlaku alim, imut dan sok manis. Tapi, emang pada dasarnya gue
manis kok. Buktinya masih ada yang suka sama gue. Hehehe.
Gue belajar biasanya selalu
konsen, tapi gue enggak tahu kenapa hari itu enggak konsen. Dua pelajaran yang
gue tempuh tetap saja taka da satu pun yang masuk dalam otak gue.
Dalam benak gue hanya ada berkas
wajah kakak gue tadi pagi. Wajah kesedihannya menunjukan bahwa rasa sakitnya
tak bisa tertahan lagi.
Jam istirahat telah tiba. Gue
milih enggak ke kantin, meski teman-teman gue pada ngajak ke kantin. Gue malah
diem di kelas dan terus mencoba menghubungi kakak gue.
Panggilan gue, ia teerima. Tapi
gue enggak tahu kenapa ia tak bersuara sedikit pun.
“Kak, kangen deh jadinya,” ucap
gue yang mulai sedikit luluh padanya.
“….”
“Kak, kenpa sih diem aja? Aku
Tanya terus dari tadi, kakak Cuma bisaya diem aja. Emangnya ada masalah apa?”
“Kalau kayak gini terus kakak
bikin aku enggak konsen belajar. Dari tadi aku enggak konsen Cuma gara-gara
inget kakak,” lanjut gue.
Dan akhirnya dia pun
menjawwab,”Kakak minta maaf kalau kakak selalu jahat sama kalian. Di balik ke
aliman kakak pasti banyak sekali kebohongan yang kakak perbuat. Kakak malu sama
Bunda dan pastinya Ayah juga. De, kalau kalau kakak belum sempat mengucapkan
maaf yang sangat amat snagat dari hati terdalam, jadi kakak minta kamu tolong
sampaikan maaf ini kepada siapapun yang di rumah.”
“kak, kok begitu? Emangnnya kakak
bernohong karena apa?”
“Kalian yang sangat aku sayangi.”
Sebelum gue melontarkan
pertanyaan lagi, panggilan itu telah di akhiri oleh Kak Adah.
“Yaah, dimatiin.”
Dan setelah itu masuk pesan masuk
pada hapeku.
De,
di rumah itu yang paing besar aku, dan aku seharusnya mengajarkan kalian yang
terbaik. Tapi sayang, aku malah melenceng dari visi dan misiku. Sungguh aku
malu ketika bunda bilang bahwa di rumah, ada yang tidak jujur sama bunda, tapi
uuntungnya pelakunya jujur. Dan sok pasti bunda sudah menganggap kakak
pembohong. Dan pastinya juga orang tua kita tak akan lagi percaya padaku.
Jujur, sebenarnya aku sedih dan tak mau melakukan hal itu. Tapi, itu semua kau
lakukan hanya demi kalian semua sebagai adik-adikku yang sangat aku sayangi.
Kasih seoang kakak itu snagat penting untuk adik-adiknya. Oleh karena itu aku
selalu ingin memberikan yang terbaik untuk kalian meskipun aku harus terbaru
arus gelombang dalam pahit manisnya hidup ini.
Begitulah isi surat yang udah gue
baca. Gue sedih pas ngedenger penjelasan kakak gue. Gue mencoba menghubinginya.
“kak, aku minta maaf.”
“…”
“Kak, aku enggak peduli kakak mau
maafin aku atau enggak. Yang penting sekarang aku minta maaf. Kakak masih di
kampus?”
“…, enggak. Kakak lagi enggak ke
kampus hari ini. Kakak ingin menenangkan diri. Kakak cukup malu sama Bunda dan
Ayah. Kamu jangan kasih tahu Bunda kalau kakak pergi. Terus kalau bunda nanya
tentang kakak, bilang aja kamu enggak tahu. Kakak pergi sebentar kok. Kakak
hanya ingin menenangkan diri saja dulu untuk menghilangkan rasa malu kakak,”
jelasnya sambil terdengar seduan arir matanya.
“Kak, kakak nangis?”
“Enggak. De, kamu jangan jadi
anak yang sombong dan selalu berbuat baik kepada orang lain, terutama orang tua
kita.”
“Iya, kak.”
“Ya sudah. Udahan dulu ya! Kakak
lagi bawa motor soalnya.”
Panggilan pun di akhiri lagi. Dan
gue pun langsung mulai mengikuti kegiatan belajar gue di sekolah karena bel
masuk sudah bordering.
✲✲✲
Sepulang sekolah, gue langsung nimbrug di ruang tengah bareng orang tua
gue. Saat gue,bunda dan ayah sedang menonton televise di ruang keluarga,
telepon pun berbunyi. Bunda melangkah ke meja telepon dan mengangkatnya.
“Halo, ini dengan siapa?” Tanya
bunda.
“Maaf bu, apakah benar ini keluarga
saudara Saadah?”
“Iya, benar. Ada apa ya?”
“Maaf sebelumnya, ini dari Rumah
Sakit Bhakti Mulya. Bu, hari ini saudara Saadah mengalami kecelakaan, sekarang
ia sedang di ruang UGD sedang ditangani oleh dokter.”
“Apa!!! Baiklah saya akan segera
kesana,” ucap bunda sambil menangis. Ayah sontak kaget mendengar ini. Begitupun
gue. Dan akhirnya kami pun langsung berangkat ke rumah sakit dengan naik taksi.
Sesampainya di rumah sakit kami
langsung menuju ruang UGD. Dan ternyara kakak gue itu masih enggak sadarkan
diri. Kata dokter sih kakak gue nagalamin benturan yang sangat keras di
kepalanya dan membuat syaraf matanya rusak, sehinga mengalami kebutaan dan
mungkin ia akan mengalami amnesia.
Sontak kabar itu membuat keluarga
gue shock. Sumpah gue sangat sedih mendengar dan melihat
kenyataan ini, tapi mau gimana lagi? Ini udah menjadi takdir hidupnya dan gue
sebagai saudaranya harus mengikhlaskannya, meski gue bukan saudara sedarahnya.
Gue engak mau ninggalin kakak gue
di rumah sakit. Gue hanya mau nemenin dia aja sampai dia benar-benar sadar. Gue
lebih milih enggak dapet ilmu dari sekolah, asalkan gue bisa bersama kakak gue.
Gue bener-bener berdosa banget. Kakak gue seperti ini karena kesalahan gue.
Sore menjelang malam itu orang
tua gue pulang dulu, karena di rumah ada saudara-saudara gue yang belum dikasih
tahu kalau kakaknya sedang sakit. Sekaligus ia juga mengizinkan aku untuk tidak
sekolah.
Gue heran banget kenapa kakak gue
enggak sadar-sadar juga. Gue emang sedikit takut dan di bayangan gue hanyalah
kematian. Bagaimana kalau kakak meninggal atau koma? Aduh, sungguh
pengorbanannya itu sangat berarti bagi gue.
Dia itu yag terbaik bagi gue
setelah orang tua gue. Lagian gue juga ngerasa kalau dia itu bunda kedua gue.
Malam itu gue tiba-tiba langsung
menggenggam pergelangantangan kakak gue yang lemas itu. Dan gue langsung shock pas tahu tangannya tak terasa
detakkan sedikitpun. Gur terus menyentuh dadanya. Sumpah enggaka ada detakkan
jantung sedikitpun.
Dengan segera gue lagsung manggil
suster yang lagi jalan di depan pintu ruangan pintu kamar kakak gue yang masih
berbaring.
“Sus, tolong kakak saya,” ujar
gue yang terengah-engah seperti dikejar-kejar hantu atau sejenisnya.
“Kenapa memangnya?”
“Sus, cobalah periksa keadaannya!
Saya minta tolong.”
Suster yang enggak gue kenali itu
pun langsung masuk dan memeriksa keadaan kakak gue. Dan sayang…, setelah gue
mendenggar penjelasan suster itu pun, rasanya raga gue melayang tanpa beban.
“De, saya turut berduka cita atas
kepergiannya.”
“Apaaaa….,” jawab gue yang enggak
percaya. Dan seketika gue pun pingsan.
Gue mulai siuman gara-gara
mencium aroma yang sangat menghangatkan.
“De,” ujar suster tadi.
“Kakak saya… kakak saya… sus,
katakana pada saya kalau dia masih hidup!”
“….” Ia tak menjawabnya melainkan
menggelengkan kepalanya.
“Sus…,” ucap gue sambil menagis.
Gue menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan
menjadi tangisan terakhir gue. Karena gue telah berjanji untuk menjalani
kehidupan ini dengan sebaik mungkin. Karena gue mencintai Kak Adah. Begitupun
dirinya.
The End
.
1 comments:
Obat Penghilang Tatto Permanen
Post a Comment