Tuesday, November 25, 2014

cerpen _ Di balik Karya tulis


Senin, 23 november 2014. Ya, peristiwa itu tak bisa kulupakan. Kenangan-kenangan di moment itu sangatlah membekas di benakku. Dan aku yakin kalian juga pernah memiliki moment seperti apa yang telah kumiliki.
Aku selalu berangkat sekolah  lebih awal sebelum teman-temanku mulai datang. Tapi itu sih waktu dulu. Hehehe. Tapi, semenjak aku kelas 12 di semester dua aku suka sengaja datang tepat pada jam tujuh. J
Pagi itu memang seluruh sekolah di Indonesia sudah diwajibkan untuk melaksanakan ritual yang tak boleh tertinggalkan. Upacara penaikan bendera. Ya, gara-gara aku pulang ke rumah untuk mengambil tas ransel untuk temanku, jadinya aku harus ikut-ikutan baris di murid-murid yang datang telat sekolah. Malu. Serasa aku anak yang suka telat, padahal kan aku enggak pernah telat. Hehehe.
Tapi enggak apa-apa sih buat pengalaman dan pelajaran terindah sebelum aku lulus dari sekolahku yang sangat favorite. SMA DARUSSALAM ciputat. Sekolahanku yang sangat keren, beken, gaul, anak-anaknya juga pada gokil, pokoknya enggak bakal kalah bedanya deh adri sekolah lain. Apa lagi kelasanku. Sok pasti jadi kelas favorite. Apa lagi kalau bukan kelas IPA. Oops, maaf aku enggak lagi sombong ya!
Setelah upacara, seluruh murid pasti haru masuk ke kelas masing-masing untu di transfer ilmu oleh para guru. Tapi, khusus seluruh kelas 12 IPA dan IPS akan diberikan arahan sebelum berangkat karya tulis. Oh ya, hampir saja aku lupa. Aku dan teman-temanku karya tulis tadinya mau ke Istana Bogor, tapi karena tempatnya akan di gunakan untuk acara kenegaraan, jadinya dengan hati terpaksa para Pembina mengalihkannya ke Taman Mini Indonesia Indah atau TMII .
“Saya harap kalian nanti dapat mengikuti dan mendengarkan apa yang di katakana oleh koordiantor kalian nanti, ya! Nanti kalian akan satu bis dengan beberapa anak IPS, tapi kalian jangan mengikuti mereka! Karena kalian akan bertugas di Museum Listrik,” jelas Pak Fahmi, wali kelas 12 IPA.
“Baik, Pak,” serentak semua murid di kelasku.
“Nanti kalian jangan sama dengan kakak kelas kalian yang kemarin! Kenapa? Karena saya tidak ingin kalian terlalu menganggap mudah dengan  uang. Saya ingin kalian mandiri dan bekerja keras.”
“…”
“Nazla, kamu mengerti?”
“Iya, saya mengerti Papih,” jawabku simpel.
“Kalau enggak ada yang mau ditanyain, kita langsung aja ke bis, ya!”
“Pih, kalau kita nanti perkelompok atau perkelas?”
“Kalau itu ya perkelas aja. Kalian khusus di Museum listrik saja, sesuai dengan kelas kalian.”
“Oh…”
“Ya udah, keluar semuanya! Bis udah nunggu di depan carefure.”
Dan kami pun langsung beranjak semua menuju lokasi parker bis.
“Ayo cepat kalian naik! Anak IPA di bis paling depan,” kata Bu Een yang tengah menunngu kami naik bis.
Tanpa basa-basi lagi, seluruh anak IPA langsung  berlari menuju bis paling depan.
Setelah semua masuk dan duduk di tempat masing-masing, para Pembina pun langsung naik ke dalam bis yang telah di sediakan. Dan kami semua pun langsung capcus menuju TMII. Seruuu…!!
✲✲✲
Terik matahari Jakarta bukanlah hal yang sangat menyenangkan. Tapi karena ini tugas dari guru dan aku harus mengerjakannya, dengan terpaksa aku harus menjalani tugasku dalam situasi sepanas ini.
Banyak sekali data yang harus aku catat. Namun, semua itu tak mungkin jika aku hanya menggunakan dua tanganku saja. Untung! Aku bawa kamera. Ya, walaupun itu hanya bisa aku gunakan untuk memotret saja taka pa-apa lah, yang penting aku punya judulnya saja sudah cukup.
Tempat yang aku dan teman-temanku bahas bersama coordinator adalah Kompor Tenaga Surya. Mungkin bagi kalian yang udah pernah melakukan penelitian di Museum Listrik ini pasti tahu apa itu Kompor Tenaga Surya. Tapi, tenang aja! Aku juga akan membahasnya kok, supaya yang belum tahu jadi bisa tahu. Hehehe.
Kompor ini simpel sekali, ia hanya memerlukan pantulan cahaya matahari. Kita bisa masak, mengkukus melalui kompor itu asalkan kita tahu titik fokusnya. Oh ya, itu juga bisa kita gunakan sebagai pencari chanel sebanyak 150 chanel di dalam dan di luar negeri, lho!
“Jadi, kompor yang kalian lihat di sini telah diciptakan oleh guru SD daerah jawa timur. Dan banyak sekali kegunaannya, lho! Ini bisa kita gunakan sebagai kompor dan juga para bola yang bisa menangkap 150 chanel baik di dalam atau di luar negeri. Ada yang ingin ditanyakan?” Jelas Pak Dudu, coordinator kelas IPA.
“Siapa yang pertama menggunakan atau menciptakannya?” Tanya Tita, salah satu temanku.
“Pertanyaan yang bagus. Jadi, yang menciptakan ini adalah  Pak Minto.”
“Oh ya, Pak. Adakah kelemahan dan kelebihannya?” tanyaku.
“Iya, setiap apa yang diciptakan pasti akan memiliki kekurangan dan kelebihan. Jadi, kelemahannya adalah, ia tak akan bisa digunakan ketika tidak ada cahaya matahari. Atau suasana seperti ini yang sedikit mendung. Dan kelebihannya, ya seperti yang sudah saya jelaskan tadi.”
“Oh begitu.”
“Untuk lebih jelasnya nanti kita akan melihat tayangan mengenai Kompor Tenaga Surya ini. Dan sekarang saya akan mengajak dan menjelaskan beberapa mesin listrik kepada kalian. Untuk itu mari ikuti saya!”
Dan kami semua pun langsung mengikuti Pak Dudu yang akan selalu menjelaskan mengenai beberapa mesin yang hanya menggunakan energy.
✲✲✲
“Ayo anak-anak kalian harus segera kumpul! Kalian enggak tahu kalau anak IPS sudah nungguin kalian satu jama lebih dari tadi. Kasian mereka, cepat naik bis! Mereka sudah menunggu kita di Keong Mas,” bentak Bu Een, selaku guru bahasa Indonesia sekaligus Pembina anak IPS.
“….”
Setiap anak yang bertemu dengannya tak menjawab atau tak merespon perkataan apapun pada Bu Een. Tapi, rata-rata dari kami semua hanyalah kesal dan ngedumel aja.
Dan seluruh murid pun langsung berannjak naik bis. Tapi, kalau aku foto-foto dulu di depan Museum sebelum aku pergi meninggalkannya. Hehehe, ya sebagai kenangan aja kalau aku pernah masuk Museum ini. Sedikit norak enggak apa-apa kan? J
“Kamu malah foto-foto dulu, ya. Cepetan naik bis!”
“Iya bu,” jawabku sedikit ceming.
Aku pun akhirnya naik bis langsung. Dan langsnung meluncur menuju keong mas.
Entah seberapa jalan menuju keong mas, karena sepanjang jalan aku hanya bisa menikmati indahnya dan uniknya musem-museum di TMII.
“Ayo turun… turun!” ucap Pak Fahmi, selaku wali keas IPA.
Dan kami pun segera langsung turun. Ya, siapa yang enggak mau turun sih kalau di luar ada makanan geratis. Apa lagi siang-siang gini perut udah pada mulai demo.
“Ayo ambil nasinya di sini!” ujar Rahul, selaku murid kelas 12 IPS 3.
“Rahul, aku mau satu dong,” ucapku sambil mengangkat tangn kananku.
“Nih, Nazla,” jawab Rahul, sambil memberi nasi kotak padaku.
“Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum manis.
Dan aku pun langsung mencari tempat duduk yang cocok untuk makan siangku.
“Nazla, kamu ikut kita aja makan di sini!” kata Indah yang biasa aku sebut Cabi.
Waiting me, honey!” ujarku yang sok so sweet.
Dan aku langsung duduk di antara kerumunan teman-teman perempuanku yang sudah mulai menyantap makan siangnya masing-masing.
“Hei, jangan lupa lho, untuk baca doa sebelum makan!” sergahku.
“Oh iya, aku lupa Na,” jawab Marlina sambil menyantap makanannya.
“Ya sudah, baca doa dulu biar jadi pahala.”
“Baiklah.”
Dan aku beserta teman-temanku langsung melanjutkan makannya. Oh ya, waktu itu aku selesai duluan makan. Aku enggak tahu kenapa , baru kali ini aku bisa makan secepat ini. Apa mungkin karena sudah menahan lapar berjam-jam atau…. Entahlah!
Selesai makan, yang lain mulai pada salat duhur. Karena aku pernah pengalaman vacation di sini, jadinya aku terpaksa dengan senang hati harus mengantarkan mereka yang ingin melaksanakan salat duhur.
Setelah aku mengantarkan mereka, aku langsung mengajak Bira, foto-foto di air mancur yang bermahkota seperti Monas. Aku sengaja mengajaknya karena aku dan dia sedang halangan dan tidak bisa melaksanakan ibadah salat.
“Na, foto aku dari sini ya! Tapi kalau bisa tiang ini kelihatan.”
“Bira, kalau ada air mancurnya, pasti bagus deh. Waktu dulu aku foto di sini bagus banget ada iar mancurnya.”
“Ya, sudah. Tapi gelap enggak kalau dari bawah?”
“Banget, Bir. Biasa aja ya?”
“Terserah aja deh.”
Aku pun langsung mengambil foto aksinya yang sudah mulai narsis.
“Na…”
“Seperti ada laki-laki yang memanggilku,” pikirku.
“Na, kamu di panggil Herman,” ujar Bira.
“Herman,” jawabku termenung dalam hati.
“Na…” panggil Herman.
Aku pun mulai menoleh kebelakang,”Apa?”
Dia sempat bertanya, tapi aku tak bisa meresponnya karena suaranya yang begitu kecil.
“Apa sih enggak jelas. Tunggu dulu!” kataku sambil beranjak mendekatinya.
“Na, masjid dimana? Herman belum salat nih.”
“Kamu lurus aja dari sini. Nah, di sana kan ada Museum Olahraga, kamu masuk aja ke situ.”
“Oke.”
Aku tak tahu kalau Anis, teman sekelasku yang menganggapku teman sejatinya itu ada di seberangku. Dengan segera aku langsung berlari menghindari Herman, karena aku khawatir ia mulai cemburu padaku.
Meskipun mereka kini sudah tak ada hubungan apa-apa, tapi aku yakin pasti di antara mereka masih ada rasa saling menyayagi.
Aku berlari sejauh mungkin di sekitar bundaran air mancur yang tak berair itu. Aku tak ingin ia bertanya-tanya lagi padaku.
“Na, kamu mau kemana? Tunggu aku!” ujar Bira, yang mulai mengejarku.
Aku hanya terdiam. Aku terpaku. Aku juga mulai sedih. Serasa hatiku sudah mulai kosong dan nyawaku serasa ingin melayang.
Aku hanya bisa menundukan kepalaku saja. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Mataku terus berbinar, tapi aku tak ingin meneteskan sedikitpun air mata.
Nyesek! Ketika aku berjarak tak jauh dari bis, aku melihat Yoga, ketua rohis yang gosipnya sedang suka padaku itu, sedang asyik foto sambil memeluk gadis IPS. Aku enggak tahu apa dia hanya membuat hatiku membara karena setelah aku tahu dia suka padaku, aku malah menghindar darinya.
Tapi, ya sudahlah. Aku tak ingin memperbanyak masalah dalam hidupku.
“Na, kamu kenapa berhenti?”
Aku tak menjwabnya, melainkan mataku terus menatap Yoga yang sekarang malah gandengan bersama Anis.
“Uh, sebenarnya Anis itu suka sama siapa sih?” ucapku reflex.
“Na, kamu ini ditanya malah marah-marah. Kenapa dengan Anis?”
“Masalah tadi?” lanjutnya.
“….”
“Na, jawab! Bukannya bengong.”
“Hah…, eng… enggak. Ayo kita ke bis aja! Aku lelah.” Jawabku lirih.
Are you sure?”
Yess. Let’s go!”
Aku dan Bira pun mulai meninggalkan air mancur yang sedang tak berfungsi itu.
Aku berjalan seakan-akan tak punya tujuan. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku saja. Bahkan aku pun tak tahu bahwa mobil yang hampir menabrakku dari tadi sudah menghidupkan kelaksonnya.
“De, jalan yang benar dong!” kata pengemudi yang tak kukenali.
Aku tak menjwabnya. Aku hanya bisa terpaku dalam masalah yang kumiliki.
“Na, kamu jangan kayak gini terus dong! Kamu jangan terlalu mentingin dia dan dia. Jika memang kamu suka sama dia, kamu enggak usah miirin perasaan Anis yang masih labil dalam percintaan. Kamu kalau masih seperti ini, duniamu tak akan membahagiakan.”
Seketika aku langsung terkejut ketika Bira, mengatakan hal itu. Aku tahu ia khawatir padaku jika aku masih seperti ini. Tapi aku bingung harus berbuat apa atas masalah ini.
“Bir, masalahku bukan hanya itu saja. Kamu tahu kan, aku di rumah punya masalah?”
“Iya, aku tahu. Tapi, setidaknya kamu jangan kayak gini! Kamu barusan itu hampir saja ketabrak mobil, Nazla.” Ujar Bira, kesal.
“Aku secara perlahan ingin menjauh darinya. Dan aku ingin menjadi orang paling terdiam di rumahku. Aku sudah lelah dalam cobaan ini. Seandainya tadi pengemudi itu menabrakku saja hingga aku tak bernyawa lagi…”
Prakk…
“Bir, kamu menamparku?” tanyaku lemas.
Ia pun langsung memelukku,”Maaf, aku tak bermaksud…”
Sebelum ia melanjutkan penjelasannya, aku langsung berontak dari pelukannya. Aku berlari dengan sekuat tenagaku tanpa memikirkan orang di sekitarku.
“Nazla…. Nazla…” panggil Bira.
Aku terus berlari hingga akhirnya sammpai juga aku di bis. Aku mulai mencoba menginjak anak tangga pada bis itu secara perlahan. Kutatap, banyak sekali anak-anak yang sedang karokean.
Kebetulan tempat aku duduk berada di barisan kedua dari depan, jadinya aku bisa dengan segera duduk langsung di kursiku.
“Ya Allah, mengapa di balik karya tulis ini seperti ini? Seandainya aku tahu apa yang akan terjadi, aku tak ingin rasanya ikut. Tapi, mau bagaimana lagi semua telah terjadi.” Gumamku lirih.
Air mataku terus mengalir tanpa ada satu orang pun yang melihatku.
“Na, aku minta maaf, ya?”
“Pergi kamu, Bir!”
“Na…”
“Pergi! Aku tak mau di ganggu oleh siapapun.”
“Baiklah.”
✲✲✲
Sore yang sangat indah dan akan lebih indah bila alam ini tak mendug sepertiku. Hujan yang deras telah menutupi suasana pemandanga di luar jnedela bis. Mungkin hari ini aku dan alam sedang satu hati. Alam hujan dan aku menangis seperti derasnya air hujan yang kulihat di balik jendela.
Tiba-tiba aku merasakan getaran pada hapeku. Sepertinya ada satu pesan masuk. Kumulai membuka hapeku, dan ternyata satu pesan masuk dari Herman IPS 3.
“Na, kamu duduk dimana?”
“Please. Tolong jangan gangggu aku lagi! Sudah kujelaskan padamu kan kalau kamu tak boleh dekat denganku.”
“Tapi ini penting.”
“Sepenting apa? Kamu bilang penting agar Anis, semakin marah padaku?”
“Anis? Kenapa lagi dengannya?”
“Kok nanya aku? kamu enggak lihat tadi waktu kamu nanya mushola ke aku?”
“Lihat siapa?”
“Anis, lah.”
“Enggak.”
“SUdah, ya. Aku sekali lagi katakana padamu. Cukup berhenti untuk menegnalku! Aku ingin jauh dari kehidupanmu meskipun aku pernah menyukaimu, kumohon lupakan hal itu! Anggap aku tak pernah menyukaimu bahkan tak pernah memberimu apa-apa.”
“Baiklah.”
Dan kini aku akan berpisah dan tak akan memiliki jarak yang sangat dekat dengan Herman. Oops lupa, dan juga semua orang yang menyayangiku dan yang aku sukai juga.
The End




0 comments:

Post a Comment

 
;