Senin, 23 november 2014. Ya,
peristiwa itu tak bisa kulupakan. Kenangan-kenangan di moment itu sangatlah membekas di benakku. Dan aku yakin kalian juga
pernah memiliki moment seperti apa
yang telah kumiliki.
Aku selalu berangkat sekolah lebih awal sebelum teman-temanku mulai datang.
Tapi itu sih waktu dulu. Hehehe. Tapi, semenjak aku kelas 12 di semester dua
aku suka sengaja datang tepat pada jam tujuh. J
Pagi itu memang seluruh sekolah
di Indonesia sudah diwajibkan untuk melaksanakan ritual yang tak boleh
tertinggalkan. Upacara penaikan bendera. Ya, gara-gara aku pulang ke rumah
untuk mengambil tas ransel untuk temanku, jadinya aku harus ikut-ikutan baris
di murid-murid yang datang telat sekolah. Malu. Serasa aku anak yang suka telat,
padahal kan aku enggak pernah telat. Hehehe.
Tapi enggak apa-apa sih buat
pengalaman dan pelajaran terindah sebelum aku lulus dari sekolahku yang sangat favorite. SMA DARUSSALAM ciputat.
Sekolahanku yang sangat keren, beken, gaul, anak-anaknya juga pada gokil,
pokoknya enggak bakal kalah bedanya deh adri sekolah lain. Apa lagi kelasanku.
Sok pasti jadi kelas favorite. Apa
lagi kalau bukan kelas IPA. Oops, maaf aku enggak lagi sombong ya!
Setelah upacara, seluruh murid
pasti haru masuk ke kelas masing-masing untu di transfer ilmu oleh para guru. Tapi, khusus seluruh kelas 12 IPA dan
IPS akan diberikan arahan sebelum berangkat karya tulis. Oh ya, hampir saja aku
lupa. Aku dan teman-temanku karya tulis tadinya mau ke Istana Bogor, tapi
karena tempatnya akan di gunakan untuk acara kenegaraan, jadinya dengan hati
terpaksa para Pembina mengalihkannya ke Taman Mini Indonesia Indah atau TMII .
“Saya harap kalian nanti dapat
mengikuti dan mendengarkan apa yang di katakana oleh koordiantor kalian nanti,
ya! Nanti kalian akan satu bis dengan beberapa anak IPS, tapi kalian jangan
mengikuti mereka! Karena kalian akan bertugas di Museum Listrik,” jelas Pak
Fahmi, wali kelas 12 IPA.
“Baik, Pak,” serentak semua murid
di kelasku.
“Nanti kalian jangan sama dengan
kakak kelas kalian yang kemarin! Kenapa? Karena saya tidak ingin kalian terlalu
menganggap mudah dengan uang. Saya ingin
kalian mandiri dan bekerja keras.”
“…”
“Nazla, kamu mengerti?”
“Iya, saya mengerti Papih,”
jawabku simpel.
“Kalau enggak ada yang mau
ditanyain, kita langsung aja ke bis, ya!”
“Pih, kalau kita nanti
perkelompok atau perkelas?”
“Kalau itu ya perkelas aja.
Kalian khusus di Museum listrik saja, sesuai dengan kelas kalian.”
“Oh…”
“Ya udah, keluar semuanya! Bis
udah nunggu di depan carefure.”
Dan kami pun langsung beranjak
semua menuju lokasi parker bis.
“Ayo cepat kalian naik! Anak IPA
di bis paling depan,” kata Bu Een yang tengah menunngu kami naik bis.
Tanpa basa-basi lagi, seluruh
anak IPA langsung berlari menuju bis
paling depan.
Setelah semua masuk dan duduk di
tempat masing-masing, para Pembina pun langsung naik ke dalam bis yang telah di
sediakan. Dan kami semua pun langsung capcus
menuju TMII. Seruuu…!!
✲✲✲
Terik matahari Jakarta bukanlah
hal yang sangat menyenangkan. Tapi karena ini tugas dari guru dan aku harus
mengerjakannya, dengan terpaksa aku harus menjalani tugasku dalam situasi
sepanas ini.
Banyak sekali data yang harus aku
catat. Namun, semua itu tak mungkin jika aku hanya menggunakan dua tanganku
saja. Untung! Aku bawa kamera. Ya, walaupun itu hanya bisa aku gunakan untuk
memotret saja taka pa-apa lah, yang penting aku punya judulnya saja sudah
cukup.
Tempat yang aku dan teman-temanku
bahas bersama coordinator adalah Kompor Tenaga Surya. Mungkin bagi kalian yang
udah pernah melakukan penelitian di Museum Listrik ini pasti tahu apa itu
Kompor Tenaga Surya. Tapi, tenang aja! Aku juga akan membahasnya kok, supaya
yang belum tahu jadi bisa tahu. Hehehe.
Kompor ini simpel sekali, ia
hanya memerlukan pantulan cahaya matahari. Kita bisa masak, mengkukus melalui
kompor itu asalkan kita tahu titik fokusnya. Oh ya, itu juga bisa kita gunakan
sebagai pencari chanel sebanyak 150 chanel di dalam dan di luar negeri, lho!
“Jadi, kompor yang kalian lihat
di sini telah diciptakan oleh guru SD daerah jawa timur. Dan banyak sekali
kegunaannya, lho! Ini bisa kita gunakan sebagai kompor dan juga para bola yang
bisa menangkap 150 chanel baik di
dalam atau di luar negeri. Ada yang ingin ditanyakan?” Jelas Pak Dudu,
coordinator kelas IPA.
“Siapa yang pertama menggunakan
atau menciptakannya?” Tanya Tita, salah satu temanku.
“Pertanyaan yang bagus. Jadi,
yang menciptakan ini adalah Pak Minto.”
“Oh ya, Pak. Adakah kelemahan dan
kelebihannya?” tanyaku.
“Iya, setiap apa yang diciptakan
pasti akan memiliki kekurangan dan kelebihan. Jadi, kelemahannya adalah, ia tak
akan bisa digunakan ketika tidak ada cahaya matahari. Atau suasana seperti ini
yang sedikit mendung. Dan kelebihannya, ya seperti yang sudah saya jelaskan
tadi.”
“Oh begitu.”
“Untuk lebih jelasnya nanti kita
akan melihat tayangan mengenai Kompor Tenaga Surya ini. Dan sekarang saya akan
mengajak dan menjelaskan beberapa mesin listrik kepada kalian. Untuk itu mari
ikuti saya!”
Dan kami semua pun langsung
mengikuti Pak Dudu yang akan selalu menjelaskan mengenai beberapa mesin yang
hanya menggunakan energy.
✲✲✲
“Ayo anak-anak kalian harus
segera kumpul! Kalian enggak tahu kalau anak IPS sudah nungguin kalian satu
jama lebih dari tadi. Kasian mereka, cepat naik bis! Mereka sudah menunggu kita
di Keong Mas,” bentak Bu Een, selaku guru bahasa Indonesia sekaligus Pembina
anak IPS.
“….”
Setiap anak yang bertemu
dengannya tak menjawab atau tak merespon perkataan apapun pada Bu Een. Tapi,
rata-rata dari kami semua hanyalah kesal dan ngedumel aja.
Dan seluruh murid pun langsung berannjak
naik bis. Tapi, kalau aku foto-foto dulu di depan Museum sebelum aku pergi
meninggalkannya. Hehehe, ya sebagai kenangan aja kalau aku pernah masuk Museum
ini. Sedikit norak enggak apa-apa kan? J
“Kamu malah foto-foto dulu, ya.
Cepetan naik bis!”
“Iya bu,” jawabku sedikit ceming.
Aku pun akhirnya naik bis
langsung. Dan langsnung meluncur menuju keong mas.
Entah seberapa jalan menuju keong
mas, karena sepanjang jalan aku hanya bisa menikmati indahnya dan uniknya
musem-museum di TMII.
“Ayo turun… turun!” ucap Pak
Fahmi, selaku wali keas IPA.
Dan kami pun segera langsung
turun. Ya, siapa yang enggak mau turun sih kalau di luar ada makanan geratis.
Apa lagi siang-siang gini perut udah pada mulai demo.
“Ayo ambil nasinya di sini!” ujar
Rahul, selaku murid kelas 12 IPS 3.
“Rahul, aku mau satu dong,”
ucapku sambil mengangkat tangn kananku.
“Nih, Nazla,” jawab Rahul, sambil
memberi nasi kotak padaku.
“Terima kasih,” ucapku sambil
tersenyum manis.
Dan aku pun langsung mencari
tempat duduk yang cocok untuk makan siangku.
“Nazla, kamu ikut kita aja makan
di sini!” kata Indah yang biasa aku sebut Cabi.
“Waiting me, honey!” ujarku yang sok so sweet.
Dan aku langsung duduk di antara
kerumunan teman-teman perempuanku yang sudah mulai menyantap makan siangnya masing-masing.
“Hei, jangan lupa lho, untuk baca
doa sebelum makan!” sergahku.
“Oh iya, aku lupa Na,” jawab
Marlina sambil menyantap makanannya.
“Ya sudah, baca doa dulu biar
jadi pahala.”
“Baiklah.”
Dan aku beserta teman-temanku
langsung melanjutkan makannya. Oh ya, waktu itu aku selesai duluan makan. Aku
enggak tahu kenapa , baru kali ini aku bisa makan secepat ini. Apa mungkin
karena sudah menahan lapar berjam-jam atau…. Entahlah!
Selesai makan, yang lain mulai
pada salat duhur. Karena aku pernah pengalaman vacation di sini, jadinya aku terpaksa dengan senang hati harus
mengantarkan mereka yang ingin melaksanakan salat duhur.
Setelah aku mengantarkan mereka,
aku langsung mengajak Bira, foto-foto di air mancur yang bermahkota seperti
Monas. Aku sengaja mengajaknya karena aku dan dia sedang halangan dan tidak
bisa melaksanakan ibadah salat.
“Na, foto aku dari sini ya! Tapi
kalau bisa tiang ini kelihatan.”
“Bira, kalau ada air mancurnya,
pasti bagus deh. Waktu dulu aku foto di sini bagus banget ada iar mancurnya.”
“Ya, sudah. Tapi gelap enggak
kalau dari bawah?”
“Banget, Bir. Biasa aja ya?”
“Terserah aja deh.”
Aku pun langsung mengambil foto
aksinya yang sudah mulai narsis.
“Na…”
“Seperti ada laki-laki yang
memanggilku,” pikirku.
“Na, kamu di panggil Herman,”
ujar Bira.
“Herman,” jawabku termenung dalam
hati.
“Na…” panggil Herman.
Aku pun mulai menoleh
kebelakang,”Apa?”
Dia sempat bertanya, tapi aku tak
bisa meresponnya karena suaranya yang begitu kecil.
“Apa sih enggak jelas. Tunggu
dulu!” kataku sambil beranjak mendekatinya.
“Na, masjid dimana? Herman belum
salat nih.”
“Kamu lurus aja dari sini. Nah,
di sana kan ada Museum Olahraga, kamu masuk aja ke situ.”
“Oke.”
Aku tak tahu kalau Anis, teman
sekelasku yang menganggapku teman sejatinya itu ada di seberangku. Dengan
segera aku langsung berlari menghindari Herman, karena aku khawatir ia mulai
cemburu padaku.
Meskipun mereka kini sudah tak ada
hubungan apa-apa, tapi aku yakin pasti di antara mereka masih ada rasa saling
menyayagi.
Aku berlari sejauh mungkin di
sekitar bundaran air mancur yang tak berair itu. Aku tak ingin ia
bertanya-tanya lagi padaku.
“Na, kamu mau kemana? Tunggu
aku!” ujar Bira, yang mulai mengejarku.
Aku hanya terdiam. Aku terpaku.
Aku juga mulai sedih. Serasa hatiku sudah mulai kosong dan nyawaku serasa ingin
melayang.
Aku hanya bisa menundukan
kepalaku saja. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Mataku terus berbinar, tapi
aku tak ingin meneteskan sedikitpun air mata.
Nyesek! Ketika aku berjarak tak
jauh dari bis, aku melihat Yoga, ketua rohis yang gosipnya sedang suka padaku
itu, sedang asyik foto sambil memeluk gadis IPS. Aku enggak tahu apa dia hanya
membuat hatiku membara karena setelah aku tahu dia suka padaku, aku malah
menghindar darinya.
Tapi, ya sudahlah. Aku tak ingin
memperbanyak masalah dalam hidupku.
“Na, kamu kenapa berhenti?”
Aku tak menjwabnya, melainkan
mataku terus menatap Yoga yang sekarang malah gandengan bersama Anis.
“Uh, sebenarnya Anis itu suka
sama siapa sih?” ucapku reflex.
“Na, kamu ini ditanya malah
marah-marah. Kenapa dengan Anis?”
“Masalah tadi?” lanjutnya.
“….”
“Na, jawab! Bukannya bengong.”
“Hah…, eng… enggak. Ayo kita ke
bis aja! Aku lelah.” Jawabku lirih.
“Are you sure?”
“Yess. Let’s go!”
Aku dan Bira pun mulai
meninggalkan air mancur yang sedang tak berfungsi itu.
Aku berjalan seakan-akan tak
punya tujuan. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku saja. Bahkan aku pun tak tahu
bahwa mobil yang hampir menabrakku dari tadi sudah menghidupkan kelaksonnya.
“De, jalan yang benar dong!” kata
pengemudi yang tak kukenali.
Aku tak menjwabnya. Aku hanya
bisa terpaku dalam masalah yang kumiliki.
“Na, kamu jangan kayak gini terus
dong! Kamu jangan terlalu mentingin dia dan dia. Jika memang kamu suka sama
dia, kamu enggak usah miirin perasaan Anis yang masih labil dalam percintaan.
Kamu kalau masih seperti ini, duniamu tak akan membahagiakan.”
Seketika aku langsung terkejut
ketika Bira, mengatakan hal itu. Aku tahu ia khawatir padaku jika aku masih
seperti ini. Tapi aku bingung harus berbuat apa atas masalah ini.
“Bir, masalahku bukan hanya itu
saja. Kamu tahu kan, aku di rumah punya masalah?”
“Iya, aku tahu. Tapi, setidaknya
kamu jangan kayak gini! Kamu barusan itu hampir saja ketabrak mobil, Nazla.”
Ujar Bira, kesal.
“Aku secara perlahan ingin
menjauh darinya. Dan aku ingin menjadi orang paling terdiam di rumahku. Aku
sudah lelah dalam cobaan ini. Seandainya tadi pengemudi itu menabrakku saja
hingga aku tak bernyawa lagi…”
Prakk…
“Bir, kamu menamparku?” tanyaku
lemas.
Ia pun langsung memelukku,”Maaf,
aku tak bermaksud…”
Sebelum ia melanjutkan
penjelasannya, aku langsung berontak dari pelukannya. Aku berlari dengan sekuat
tenagaku tanpa memikirkan orang di sekitarku.
“Nazla…. Nazla…” panggil Bira.
Aku terus berlari hingga akhirnya
sammpai juga aku di bis. Aku mulai mencoba menginjak anak tangga pada bis itu
secara perlahan. Kutatap, banyak sekali anak-anak yang sedang karokean.
Kebetulan tempat aku duduk berada
di barisan kedua dari depan, jadinya aku bisa dengan segera duduk langsung di
kursiku.
“Ya Allah, mengapa di balik karya
tulis ini seperti ini? Seandainya aku tahu apa yang akan terjadi, aku tak ingin
rasanya ikut. Tapi, mau bagaimana lagi semua telah terjadi.” Gumamku lirih.
Air mataku terus mengalir tanpa
ada satu orang pun yang melihatku.
“Na, aku minta maaf, ya?”
“Pergi kamu, Bir!”
“Na…”
“Pergi! Aku tak mau di ganggu
oleh siapapun.”
“Baiklah.”
✲✲✲
Sore
yang sangat indah dan akan lebih indah bila alam ini tak mendug sepertiku.
Hujan yang deras telah menutupi suasana pemandanga di luar jnedela bis. Mungkin
hari ini aku dan alam sedang satu hati. Alam hujan dan aku menangis seperti
derasnya air hujan yang kulihat di balik jendela.
Tiba-tiba
aku merasakan getaran pada hapeku. Sepertinya ada satu pesan masuk. Kumulai
membuka hapeku, dan ternyata satu pesan masuk dari Herman IPS 3.
“Na,
kamu duduk dimana?”
“Please.
Tolong jangan gangggu aku lagi! Sudah kujelaskan padamu kan kalau kamu tak
boleh dekat denganku.”
“Tapi
ini penting.”
“Sepenting
apa? Kamu bilang penting agar Anis, semakin marah padaku?”
“Anis?
Kenapa lagi dengannya?”
“Kok
nanya aku? kamu enggak lihat tadi waktu kamu nanya mushola ke aku?”
“Lihat
siapa?”
“Anis,
lah.”
“Enggak.”
“SUdah,
ya. Aku sekali lagi katakana padamu. Cukup berhenti untuk menegnalku! Aku ingin
jauh dari kehidupanmu meskipun aku pernah menyukaimu, kumohon lupakan hal itu!
Anggap aku tak pernah menyukaimu bahkan tak pernah memberimu apa-apa.”
“Baiklah.”
Dan
kini aku akan berpisah dan tak akan memiliki jarak yang sangat dekat dengan
Herman. Oops lupa, dan juga semua orang yang menyayangiku dan yang aku sukai
juga.
The
End
0 comments:
Post a Comment