Tuesday, November 25, 2014

cerpen _ Cinta yang hilang…


Cinta sejati itu tak akan bisa dimusnahkan, dilupakan , bahkan di delete dalam hidup ini.
Hampir dua tahun aku pernah berpacaran dengan sosok yang mungkin sampai sekarang ini tak bisa kulupakan. Mungkin.
Wajah tampan, tinggi, berambut pendek lurus dan sedikit pirang itu. Ya, itulah dia, Attep, yang kini sudah menjadi mantanku dan menjadi milik orang lain.
✲✲✲
Tiga tahun silam lalu, awalnya aku dan dia tak saling kenal sama sekali. Kami saling mengenal ketika aku mengantarkan tanteku bertemu denngan teman dekatnya. Bisa jadi pacarnya. Tapi entahlah. Yang intinya, teman dekat tenteku juga membawa temannya yang sangat asing bagiku. Dan mirip orang asing juga, Lho! Seperti kelahiran atau keturunan china.
Aku dan dia hanya bisa terdiam, ketika tanteku dan teman dekatnya yang bisa kita sebut, Nandang. Aku bingung harus ngomong apa untuk mengawali percakapan di balik keheningan aku dengannya.
Akhirnya, Attep pun memecahkan keheningan itu, “Hei, namanya siapa?”
“Yanti. Kamu sendiri?”
“Aku, Attep.”
Aku dan dia sudah mulai bisa dan berani saling memecahkan keheningan bersama teh dan kopi yang hangat itu. Sedangkan, tanteku masih terlihat asyik ngobrol atau kencan bersama partner-nya.
Awalnya aku tak suka padanya dan tak sedikit pun terpikir untuk aku akan menjadi pacarnya. Apa lagi kalo dia bakalan minta nomor hapeku, ini benar-benar tak terbayangkan.
Setelah aku merasa jenuh, bosan dan khawatir, aku langsung meminta tanteku untuk cepat segera pulang. Karena aku khawatir sampai di kampungku larut malam.
Bekasi menuju kampung rambutan itu bisa terhitung jarak yang sangat dekat, jadinya dengan lapang dada aku dan tanteku  langsung menghubungi taksi pribadi kami. Ya, walaupun dia bukan tukang taksi aslinya. Tapi, dia itu udah kayak sopir pribadi kami. Dan dia juga rela kok dibilang tukang taksi,dari pada supir yang gak jelas.
Sesampai di terminal Kampung Rambutan, aku langsung di antarkan naik bis Marita, jurusan Cianjur - Kampung rambutan. Pada dasarnya aku ingin naik parung indah, biar bisa langsung ke Sukabumi. Tapi, ya sudahlah!mumpung gratis, di bayarin uang ongkosnya sama Kak Hanuza atau si abang taksi. Hehehe.
Lima jam lebih, aku sudah sampai di terminal Cianjur. Tadinya aku pengen langsung ke Sukabumi aja, tapi karena sekilas kangen sama keluarga akhirnya aku mampir dulu ke kampung halamanku, Cianjur.
Sms masuk… ayo buka!
Sms masuk… ayo buka!
Itulah bunyi pertanda pesan masuk di hapeku. Ternyata ada pesan masuk dari nomor yang tak aku kenali. Dan tanpa sepengetahuanku, sudah ada dua panggilan masuk yang tak terjawab dari nomor yang sama.
“Siang, Yanti.”
“Siapa, ya?” tanyaku.
“Attep. Yang teman kencannya tantemu.”
“Oh, ada apa?”
Ia tak menjawab pertanyaanku. Dan akhirnya aku langsung melanjutkan perjalananku kembali dengan naik ojek.
“Kemana,Neng,” Tanya abang ojek.
“Ke rumah Bapak Darman, Bang!”
Aku pun langsung di antarkan ke rumahku. Sampai di rumah, aku langsung istirahat sejenak. Menghilangkan letihnya tubuh ini. Dan setelah itu aku langsung melaksanakan salat magrib dan isa. Setelah salat, awalnya aku pengen langsung istirahat tapi karena cacing di perut udah demo, mau enggak mau aku langsung makan dulu.
Ya, sekitar enam menit aku menyantap makan malam itu, tiba-tiba ada satu pesan masuk. Kubaca aja, ternyata… dari Attep.
“Malam, Yan. Lagi apa?”
“Malam juga. Baru beres makan,” jawabku yang serasa malas untuk menjawabnya.
“Oh, di rumah ya?”
“Iya.”
“Ganggu enggak nih? Kalo ganggu matiin aja!”
“Ganggu gak, ya?”
“Yee…, di Tanya malah ngeledek.”
“Iya,iya. Insya allah enggak.”
“syukurlah kalo gitu,” katanya dengan nada bahagia.
Sebenarnya aku malas banget ngeladenin dia. Kurang kerjaan! Tapi, biarlah kasihan.
“Memangnya kenapa dan ada apa?” tanyaku sedikit sewot.
“Maaf, tadi aku habis kepo sama tante kamu tentang kamu.”
“Terus?”
“Ya, terus…, enggak tahu kenapa tiba-tiba aku kayak udah menimbun bibit yang sekarang mulai merekah.”
“Maksudnya?”
“Kayaknya aku suka deh, sama kamu.”
Aku tak membalas pesannya lagi. Aku enggak tahu harus balas sms-nya apa. Tapi sumpah, aku kayak lagi di permainan catur yang sudah SKAK MATT.
“Kamu, mau enggak?”
“Aduh, aku bingung jawab apa, soalnya kita belum saling kenal lebih dekat.”
“Masalah itu, mah gampang. Ya, tinggal dijalanin aja dulu!”
“….”
“Kok enggak di balas?”
“Ya sudah, ya! Aku capek, mau istirahat dulu.”
“Owh…, ya sudah. Met malam, Kumih.”
  ✲✲✲
Pagi yang masih berbalut kegelapan, aku sudah mulai bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Cianjur menuju sukabumi membutuhkan waktu satu jam saja, dan itu hanya menggunakan motor. Kebetulan aku kerja di perusahan sepatu. NIKE.
Biasanya aku jam segini pasti belum sia-siap, tapi karena tiap minggu aku selalu pulang ke cianjur, jadinya tiap hari senin aku selalu harus bangun lebih pagi dan berangkat sangat pagi sekali.
Aku kerja di Nike sudah hampir tiga tahunan. Sebenarnya sih udah enggak betah, tapi mau gimana lagi surat lamaran berhentinya juga enggak di ACC. Jadinya enggak bisa berhenti deh. Sedih.
Aku kerja selalu di antarkan kakak keduaku. Tapi itu juga kalau aku lagi di cianjur. Ya, kalau enggak di cianjur mah enggak bakalan di anterin.
Tiiit… tiiit.. tiiitt…
Suara kelakson motor kakakku. Yang sudah mulai menunggu aku berangkat.
“Yanti…, cepetan! Mau berangkat jam berapa?”
“Iya bentar lagi.”
Setelah aku siap dan selesai membereskan kamarku, aku langsung pamit sama ibuku. Jujur, aku dan ibuku tuh kadang jarang enggak akrab. Jadi sedih sebenarnya kalau bertemu ibuku. Aku enggak tahu kenapa aku dan ibuku tak pernah akur.
Oh, ya. Aku juga punya adik yang aku sayangi. Tapi ia jauh dari mataku saat ini. Dia pergi merantau untuk mencari ilmu dan melanjutkan sekolahnya di sekolah tinggi daerah kota. Dia selalu pulang setahun sekali, tapi jika ada acara di rumah sih kadang dia suka pulang.
Setelah pamit aku langsung berangkat kerja di anterin kakak keduaku. Dbaru aja aku mulai jalan, tiba-tiba ada SMS masuk. Dan ternyata itu dari Attep.
“Selamat pagi. Udah bangun belum?”
“Pagi juga. Udah lah.”
“Udah berangkat kerja?”
“Nih lagi di jalan.”
“Sama siapa?”
“Sama kakak.”
“Kakak apa kakak?”
“Kakak lah, kalau enggak percaya lihat aja sini!”
“Iya bercanda kali.”
“Lagian kamu mah kaya gitu.”
“Oh, yaudah kalau lagi di jalan hati-hati aja ya.”
“Oke, sip.”
Satu jam telah berlalu, akhirnya aku juga sudah sampai di tempat kerjaku. Sampai di tempat kerja aku langsung terkejut. Tiba-tiba teman-temanku langsung minta Peje ( pajak jadian), sumpah aku langsung bingung. Kenapa mereka tahu aku sudah pacaran? Padahal aku tak memberi tahu mereka.
“Yan, mana Peje-nya?”
“Peje apaan sih?”
“Ah, kamu mah pura-pura enggak tahu. Bête.”
“Apaan sih Hadi. Tahu dari mana aku pacaran?”
“Tuh di facebook lah, Ti.”
Seketika aku langsung terdiam. Skak mat.
“Attep kan pacar kamu?” cetus Enan yang masih diam di samping Hadi.
“Ya sudah kerja aja dulu.”
“Ah, kamu mah gitu.”
Aku langsung pergi tanpa memikirkn mereka.
Jam 07.00 WIB, bukanlah lagi waktu untuk para karyawan bermain, bercanda dan sebagainya. Melainkan semuanya harus mulai bekerja.
Aku bekerja hanya di bagian input saja. Ya, emang itu tugasku. Terkadang aku suka lembur, tapi kalau enggak lembur aku suka pulang jam 15.00 sore.
Aku setiap hari selalu melakukan hal yang sama. Dan sebenarnya aku sudah merasa bosan dengan pekerjaanku, tapi mau enggak mau aku harus memaksakan diriku.
✲✲✲
Setiap malam aku selalu di telepon oleh Attep, ia selalu berlaku manja padaku. Dan ia sempat bilang setiap pulang kampung, ia akan selalu main ke rumahku. Aku sempat juga memegang janji itu. Aku hanya ingin tahu sampai kapan janji itu akan bertahan.
Malam minggu rencananya aku ingin istirahat. Tak ingin ada yang mengganggu. Tapi, sayang sekali gara-gara punya pacar jadinya enggak bisa istirahat. Galau. Pacarku malah nelepon aku.
“Malam, Kumih,” sapanya di telepon.
“Malam, pih.”
“Kumih, Mamah lagi apa?”
“Lagi diem aja di ruang tengah.”
“Sama siapa? Kubil?”
“Iya, kenapa emangnya? Mau ngobrol?”
“Iya. Boleh enggak?”
“Enggak.”
“Kok enggak sih?”
“Ya, boleh lah, Kupih. Masa ngobrol sama mamah enggak boleh.”
Aku pun langsung memberikan hapeku pada mamah yang sedang tiduran di lantai bersama adikku yang masih asyik menonton televise.
“Ya sudah, kamu duluan ngomong, Kupih!”
“Assalamualaikum, Mah. Apa kabar?”
“Alaikumsalamm. Baik. Lagi apa di situ?”
“Lagi, kumpul aja sama temen-temen, Mah. Mah, nanti Attep, boleh maen ke sana enggak?”
“Mau ngapain?  Ya, kalau mau main mah, main aja.”
“Enggak, Mah. Attep ingin bersilaturrahim saja dulu sama keluarga Yanti. Mamah, nanti mau di bawain apa?”
“Enggak usah bawa apa-apa! Yang penting kamu selamat sampai tujuan aja Mamah, sudah seneng.”
“Oke, Mah. Yanti, lagi ngapain?”
“Mau ke Yanti, lagi?”
“Yanti…, ini hapenya!” lanjut Mamah.
“Hallo!” sapaku.
“Hai. Udah bobo?”
“Belum. Masa ada yang nelepon aku tidur. Kan enggak sopan.”
“Oh, kirain udah tidur. Besok aku mau ke sana, nanti kamu kasih rute atau nama kendaraan yang harus aku naiki.”
“Apa? Kamu udah bilang ke Mamah?”
“Sudah dong. Kamu mau di bawain apa?”
“Enggak usah. Tapi kalau boleh bawa makanan aja. Hehehe,” jawabku sambil bercanda.
“Serius, aku. Kumih, kamu mau tidur jam berapa?”
“Sebenarnya aku ingin tidue dari tadi.”
“Oh, ya sudah kalo mau tidur, silahkan.”
“Tapi, nanggung. Kupih, kamu mau nelepon adikku enggak?”
“Yang mana? Dzeries?”
“Iya. Kalo mau aku sambungin sama dia.”
“Boleh.”
“Tunggu, ya!”
“Hallo…, ada apa teh?” Tanya adikku.
“Lagi apa? Ada yang mau ngobrol.”
“Siapa?”
“Attep. Mau enggak?”
“Siapa dia?”
“Pacar teteh.”
“Waduh, sejak kapan?”
“Sebulan yang lalu.”
“Kupih cepetan Tanya si dedenya!” ujarku lirih pada Attep.
“Hallo, De?”
“Iya. Ini pacar teteh?”
“Iya. Apa kabar kamu?”
“Aku baik-baik saja. Kakak?”
“Sama. Kak, mana pajak jadiannya?”
“Huuh, kamu ini ya, De. Entar aja kalo kamu pulang.”
“Oke sip. Kak aku udahan dulu ya? Aku harus pergi sekarang.”
“Oh. Oke sip. Dadah dede.”
“Dah.”
Karena adikku mengakhiri panggilannya, akhirnya aku pun memilih mengakhiri panggilan itu. Karena malam pun sudah semakin larut.
✲✲✲
Malam minggu telah berlalu, hari minggu pun telah tiba. Dengan tak sabar aku ingin cepat segera ia sampai di rumahku. Daan hapeku pun berbunyi pertanda satu pesn masuk.
Sms masuk… ayo buka!
Sms masuk… ayo buka!
Aku langsung membacanya dan ternyata itu dari Attep, ia menanyakan alamatku. Dan akhirnya aku beri tahu rute jalan yang harus di tempuhnya agar bisa sampa ke rumahku.
“Yan, rutenya apa ajah biar sampai di rumah?”
“Dari terminal kamu naik angkot putih aja. Bilang ke supirnya turunin kamu di Cibeber. Terus kamu nyebrang aja kalau udah turun di cibeber. Entar ada pangkalam ojek, kamu minta aja di anterin abang ojek itu. Dan jangan lupa bilang turunin di rumah Bapak Darman.”
“Oke sip. Waiting me, please!”
Hampir satu jam lah aku nungguin dia. Eamng sih jarak dari terminal Cianjur menuju rumahku tidak telalu dekat, kecuali naik mmotor dengan kecepatan tinggi. J
Tukk tukkkk…..

Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Teh, ini ada tamu,” kata Aziz.
“Siapa?”
“Lihat aja sendiri!”
Aku pun langsung keluar dari kamarku.
“Hei, yanti,” sapa sosok yang kunantikan.
“Kupih. Kok nyampe enggak SMS dulu?”
“Harus ya?”
“…”
“Yan, kamu pernah bilangkan kalau bapak kamu meninggal?”
“Iya, emangnya kenapa?”
“Enggak sih. Aku cuman pengen aja ke makamnya.”
“Yaudah. Mau sekarang enggak?”
“Emangnya kamu udah siap-siap?”
“Dari tadi kali.”
“Oke kalau begitu. Berangkat aja yuk!”
Aku dan Attep pun langsung pergi ke pemakaman Bapakku yang sudah hampir 12 tahun telah mendahuluiku.
Sesampai disana, aku bukannya langsung membersihkan makam bapakku. Melainkan malah Attep yang langsung gerak cepat membersihkan pemakaman bapakku. Masya Allah! Sungguh menakjubkan. Sosok laki-laki yang sangat baik dan membuat hatiku semakin luluh.
Dan sebenarnya hal itu selalu ia lakukan setiap ia datang ke rumahku.
✲✲✲
Setelah aku dan dia pacaran mulai beranjak Sembilan bulanan, aku merasa bosan dan ingin putus dengannya. Tapi, ia selalu menolaknya karena ia bilang kalau ia sangat menyayangiku. Ennggak ada yang sayang lagi sama dia selain aku. dia selalu saja berkataa seperti itu. Dan telah membuat hatiku luluh padanya.
Setelah kami mencapai dua tahun kurang empat bulan untuk masa pacaran kami. Attep dengan lantang mengajakku tunangan. Awalnya aku masih ragu, tapi Attep tak perlu dengan jawabanku.
Dengan rasa pedenya, minggu pagi ia datang bersama keluarganya ke rumahku. Aku terkejut setelah melihat keluarga Attep mengunjungi rumahku yang sederhana itu. Sumpah malu banget.
Ini namanya mau enggak mau aku harus terima lamarannya. Lagaian rasa sayangku juga sudah semakin menebal. Dan semoga saja dengan tunangan ini bisa semakin mempertebalnya. Amin. J
Aku lupa peristiwa itu. Yang kuingat hanyalah aku telah dilamar olehnya. Tapi sayang, setelah lima bulan dari hari tunangan itu, Attep memutuskanku hanya melalui pesan saja.
Ingin rasanya aku marah padanya. Tapi semua ini tak mungkin. Den gansegera aku minta penjelasannya.
“Hallo. Apa maksud kamu? Kamu melamarku dengan membawa keluargamu, tapi kenapa kamu memutuskan semua ini dengan satu pesan saja? Apa maksudmu?”
“Enggak Yan, orang tuaku enggak ngerestuin hubungan kita.”
“Ya terus kenapa kamu ngelamar aku waktu itu?”
“….”
“Kamu tuh jadi laki-laki harus konsisten dong! Kamu udah gede, seharusnya kamu sendiri yang harus memutuskan jalan hidup kamu.”
“Maaf Yan.”
“Maaf? Hanya bisa bilang maaf?”
“Yan…”
“Sudahlah kalau itu mau kamu.”
Aku langsung mengakhiri obrolanku dengannya. Rasa kesal ini semakin membara di hati. Kenapa waktu aku ingin minta putus dengannya, ia selalu menolaknya. Tapi kenapa giliran aku sudah mulai sangat menyayanginya, dia malah pergi begitu saja. Sial!
Aku berbulan-bulan lanngsung galau. Kegalauanku mungkin udah tingkat dewa. Semenjak aku putus dengan Attep, aku sering sekali diam dan melamun. Bahkan aku sering mengurungkan diriku di dalam kamar.
Jujur saja aku sagat kecewa dengannya. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur dan tak akan mungkin bisa lagi menjadi nasi kembali.
Secara perlahan aku mulai mencoba melupakannya, namun sampai saat ini bahkan sampai aku punya pacra baru pun, aku tetap tak bisa melupakannya. Meski ia kini telah menjadi milik orang lain untuk selamanya. Mungkin ini cinta sejatiku ini memang telah hilang dan tak akan pernah datang lagi untuk kedua kalinya.
The End


0 comments:

Post a Comment

 
;