Tuesday, November 25, 2014

cerpen _ Dimana letak keadilan itu?


Kalian semua pasti tahu mengenai sebuah keadilan. Ya, adil! Setiap manusia yang terlahir di panggung sandiwara ini pasti merasakan puasnya keadilan dan kurangnya keadilan. Bagiku adil itu seimbang. Jujur. Tidak memihak pada hal yang menyimpang dari kebenaran. Tapi, aku dan kalian sebagai pembaca pasti akan berbeda pendapat mengenai kata ADIL ini, namun tetap sama inti dan maknanya.
Kalian semua pasti memiliki keluarga, orang tua atau sanak saudara. Yang tak mungkin akan selalu berlaku adil pada kalian. Begitupun diriku. Aku hidup bersama kedua orang tuaku. Tapi itu semenjak aku lahir sampai aku duduk di bangku SD. Dimana aku ketika SMP dan SMA? Ya, itu pertanyaan yang bagus untuk menghilangkan keheranan pada diri kalian. Aku semenjak duduk di bangku SMP sampai SMA pergi mencari ilmu di kota orang, tanpa membebankan orang tuakku. Ya iyalah enggak akan membebankan mereka. Orang aku sekolah free karena beasiswa.
Orang tuaku memiliki lima orang malaikat penghibur bagi mereka. Tiga perempuan dan dua laki-laki. Masing-masing memiliki jabatan tersendiri. Salah satunya aku, aku bertugas sebagai ketua di dalam rumah orang tuaku. Tapi, jangan salah pemahaman dulu, ya! Aku hanya ketua bagi adik-adikku saja dan kembaranku.
Selain aku dan saudaraku kembar, nama kami pun sangat amat kembar. Namaku, Salsabila Widdad. Sedangkan sepupuku, Salsabila Dwi Widdad, ia menjadi bendahara. Oh, ya. Aku hampir saja lupa dengan adik-adikku, dia ada yang namanya, Ajeng Dianami, Riza Ali Riyan, dan Alan Khan. Mereka hanya bersetatus sebagai anggota saja, karena mereka masih kecil.
Bagiku, ibu dan ayah itu bagaikan Raja dan Ratu. Yang harus dipatuhi dan ditaati. Ops, tapi jangan sampai melebihi ketaatan kita kepada yang maha kuasa.
Hei, kaian harus tahu sebelum aku menceritakan semua ini. Aku biasa dipanggil Salsa, sedangkan kembaranku, Bila.
Kalian pasti mengerti kalau aku ceritakan mengenai’Adil’. Mungkin dalam kehidupan kalian ada yang nyaman-nyaman saja atau …, seperti hidupku. Aku tak tahu tata letak salahku dimana. Sungguh kalau kalian jadi aku pasti sedih banget deh.
Kalian sudah tahu kan, setatusku sebagai apa? Ya, setatusku memang sebagai ketua. Tapi, enggak tahu kenapa, Ayah selalu menyerahkan segalanya pada Bila, kembaranku. Aku merasa sampah di rumah ini. Ibu dan ke-tiga adikku selalu menganggapku ada. Tapi…,entahlah. Ayah sangat jahat padaku
.
Apa karena, Ayah sangat benci padaku? Tapi, kalau iya kenapa ayah tak jujur padaku. Aku bagaikan kertas yang terombang-ambing oleh air lautan yang sangat luasnya tak terkira, dan hanyut entah kemana.
Aku hidup bagaikan sosok yang menjadi pemain sandiwara yang akan berperan dalam sebuah drama yang berjudul ‘bawang merah dan bawang putih’. Tapi, itu hanyalah pemikiranku yang sedang negatif saja. Mungkin. Aku yakin pasti setiap orang tua itu akan memberikan yang tebaik untuk anakknya, walau… tak semuanya. Mungkin.
Sudah bertahun-tahun aku seperti ini. Sedih. Sedih dan sedih. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Jujur aku bingung menceritakannya, karena bagiku ini adalah kesedihan dan cobaan terbesar dalam hidupku saat ini.
Aku masih sangat ingat, sore itu adik-adikku memintaku untuk mengajarkan mereka cara membaca Alquran dan belajar bahasa inggris. Tapi, ketika ayah melihatku sedang mengajarkan adik-adikku,Ayah langsung memancarkan mimik wajar yang sangat menyebalkan. Memebenciku. Seolah-olah aku tak boleh bersama mereka.
“Reza, Alan, kamu belajar sama kak Bila sana!” ujar ayah.
“Enggak mau! Kak bila kan tidak bisa bahasa inggris,” sergah Alan.
“Bahasa Inggris itu tidak penting untuk akhirat.”
“Memangnya ilmu yang sangat wajib dicari itu bahasa arab aja, yah? Bukankah Allah meminta bahkan mewajibkan kita untuk mencari ilmu yang sangat banyak!”
 “Owh…,” jawab ayah dengan muka masam.
Aku hanya terdiam dan menundukan kepalaku saja. Betapa sedihnya ketika ayah seperti itu. Di rumah hanya ayah yang membuatku selalu tak betah di rumah. Ingin aku rasanya mengadu pada ibuku, yang sangat baik dan menyayangi anak-anaknya. Tapi, jika aku harus mengadu semua kesedihanku ini, aku khawatir dengan hubungan rumah tangga orang tuaku. Aku tak sangat ingin mereka putus di tengah jalan.
“Kak Salsa, jangan mementingkan kata-kata yang tak penting itu!”
“….”
Aku tak menjawab ucapan adikku, Reza. Ya Allah, betapa aku sangat sedih ketika adik-adikku lebih tahu bagaimana perihnya perasaanku ini. Sakit.
Sejujurnya aku ingin sekali menangis. Menghapuskan rasa sedih dan sakit hatiku. Tapi, jika aku menangis harus di mana? Di setiap penjuru diriku pasti aku tak akan bisa sendiri. Merenung.
“Reza, Alan. Kalian belajar sama kakakMu aja, ya!”
“Yaa…h. kenapa emangnya, Kak?”
“Enggak, De. Kakak harus pergi!”
“Kak…”
“Iya, De. De, kalian tahu enggak sifat Kak Bila?”
“Maaf ya, Kak! Kak Bila itu sebenarnya termasuk anak yang sangat menyebalkan. Egois banget. Dan yang lebih aku benci, dia selalu berperilaku baik di hadapin, Ayah aja.”
“Terus kalau, Kakak?”
“Kalo kakak masih mending dari pada dia.”
“Kak, aku tahu pasti kakak sedih banget. Tapi kita bingung gimana caranya bantuin kakak. Kakak tahu sendiri kan, kalo sifat kembaran kakak yang amat sangat menyebalkan itu?” lanjutnya.
“….”
Aku sudah menyadari hal itu semenjak aku ada di rumah. Jujur aku lebih senang tidak ada di rumah.
“Ya, sudah deh, kak! Kita sudahan aja dulu!”
✲✲✲
Satu, dua, tiga dan sampai enam bulan, mungkin aku masih bisa bersabar. Tapi, jika aku masih dan harus di perlakukan seperti itu, aku tak akan tahan tinggal di rumah bersama orang tuaku. Namun, jika aku pergi dari rumah, kapan aku bisa menghilangkan rasa rinduku pada orang tua dan sanak saudaraku?
Enam tahun tak bersama mereka, hanya untuk mencari ilmu yang sangat lebih dan berharga. Mmm…, kukira mereka akan menuangkan rasa rindu dan welas asih-nya padaku. Tapi sanyang, itu semua hanyalah mimpi kosongku saja. Yang terbang tanpa membawa beban.
Apa karena aku terlalu mementingkan kepentingan dan ilmu yang mendunia? Makanya, Ayah seperti itu padaku? Terus karena, Bila selalu mementingkan suatu ritual yang berhubungan dengan agama, jadinya ayah mementingkan dia juga? Kalau iya, berarti ayah tak memiliki sifat keadilan. Atau…, ya sudahlah jangan kusebutkan! Aku khawatir melenceng.
Hidup itu memang penuh dengan cobaan. Cobaan yang pasti tak semua orang mengharapkannya. ‘SUMPAH’ aku sangat amat sekali enggak paham dengan semua ini. Ingin aku menjerit, tapi tak mungkin. Ingin kumenangis tapi dimana? Aku ingin menuangkan perasaanku tanpa satu orang pun ketahui.
“Apa semua orang itu enggak bisa berlaku adil? Dimana letak keadilan itu? Aku tahu yang maha pemilik keadilan itu hanyalah Allah, tapi apa manusia tidak memiliki sedikit rasa adil?”
Dulu, pertama aku mulai lagi tinggal di rumah ini, ayahku selalu menegaskanku dan memfokuskanku untuk aku bisa mengatur semua hal di rumah ini. Tetapi, setelah satu bulan aku di rumah dan ayah telah berhasil memfokuskanku serta membuat peraturan untuk anak-anaknya selalu patuh dan turut padaku itu, kini telah menjadi omong kosong yang sudah bertebaran di langit yang menjulang tinggi sana.
Aku bigung kepada ayah. Bukankah ia pernah berkata kepadaku, “Bahwa segala perizinan harus padaku!”, tapi mana semua itu? Semua itu hanyalah omong kosong belaka. Ayah selalu memposisikan Bila di posisiku dan tak menganggapku ada.
Semakin berjalannya waktu, aku semakin tak kuasa menahan perihnya luka di rumah ini. Semenjak aku datang kembali ke rumah ini setelah merantau hingga saat ini, aku belum pernah menemukan suatu kebahagiaan sedikitpun.
Bertemu dengan ayah bukanlah hal yang kuharapkan. Ayah itu seperti MONSTER yang selalu membuatku takut dan terluka.
Dia selalu membutuhkanku ketika Bila, tidak ada di rumah saja. Seolah-olah aku adalah manusia yang tak berguna untuk masyarakat dan hanyalah benalu. Berguna untuk sementara.
Sudahlah! Aku sungguh sedih untuk menceritakannya. Sejujurnya aku tak kuasa lagi mengingat kejadian itu.
✲✲✲
Dua tahun lamanya aku tak pernah pulang, karena aku kesal dan kecewa pada Ayah. Tapi, meskipun aku tak pernah pulang, aku selalu tak lepas menghubungi dan menanyakan keadaan di rumahku lewat ibu.
Aku pergi dari rumah untuk melanjutkan pendidikanku di universitas Indonesia dan bekerja hanya untuk tidak membebankan orang tuaku saja.
Aku tak ingin seperti Bila, yang selalu di manja dan bergantung pada orang tua. Aku tak ingin harta benda orang tuaku terhabiskan olehku.
Aku ingin menjadi anak yag mandiri dan menjadi anak yang sangat di banggakan. Aku ingin menujukan kesuksesanku meskipun aku tak tahu, apakah kesuksesanku bisa dirasakan oleh kedua orang tuaku?
Sekarang hidupku selalu aku yang mengatur. Aku hidup apa adanya diriku. Aku tak ingin bergantung pada siapapun termasuk keluargaku sendiri. Sampai aku sakit parah pun, aku tak akan memberi tahu mereka sebeum akhir hayatku datang.
Sudah banyak luka dalam diriku yang dibesitkan oleh ayah dan aku juga terluka oleh saudaraku Bila, yang selalu bermuka dua.
Mungkin aku sekarang tak bisa mengatakan kesalahanku pada ayah, tapi aku berjanji sebelum aku mati aku akan memberikan semua kekesalanku padanya.
Di dalam kehidupanku saat ini, hanya ada satu sosok yang snagat aku sayangi. Ia selalu memberikan yang terbaik untukku. Meski aku dan dia bukan satu keluarga, tapi bagiku dia lebih dari keluargaku sendiri.
Dia adalah wanita yang tegar, sabar, dan sangat sempurna bagiku. Kehidupan bersama keluarganya sangat harmonis. Tidak seperti keluargaku yang sangat amat hancur. BROKEN HEART. Dan sejujurnya hal ini telah membuat hatiku membara. Aku tak tahu letak keadilan itu dimana.
Aku tahu tujuan Tuhan, melahirkanku turun ke panggung sandiwara ini . aku yakin, aku terlahir di dunia pana ini karena Allah tahu kalau aku kuat. Tapi, terkadang aku ingin mengakhiri hidup ini. Seandainya hal itu tak akan menimbulkan dosa, mungkin aku sudah mengakhirinya tahun-tahun lalu.
Oh, ya. Semenjak aku sakit parah, hanya Yanti, sahabatku yang selalu menjagaku dan merawatku. Terkadang Yanti, selalu memintaku untuk memberi tahu orang tuaku bahwa aku sedang sakit parah. Tapi, aku tetap tidak mau memberi tahu mereka sebelum akhir hayatku tiba.
Aku dirawat karena mag-ku yang sudah kronis dan penyakit paru-paruku yang sudah permanen. Dan aku hanya tinggal menunggu hitungan waktu saja untuk bisa pergi dari panggung sandiwara ini.
“Salsa, sampai kapan kamu mau seperti ini? Kapan kamu akan memberi tahu orang tuamu tentang keadaanmu?”
“Yan, bukannya aku tidak mau, tapi aku hanya ingin memberikan peringatan atau membuat mereka sadar dan menyesali perlakuan mereka terhadapku.”
“….”
“Aku berencana inginmemberikan rekaman.”
“Rekaman apa, Sas?”
“Kau boleh tahu setelah aku tiada.”
“Kok ngomong begitu?” sergah Yanti.
“Kan, dokter pernah bilang kalau aku hanya tinggal hitungan waktu lagi.”
“Itu hanyalah rekomendasi saja.”
“Tapi aku mempercayai hal itu.”
“Kok percaya? Nanti terjadi lho!”
“Enggak apa-apa. Lagian ini yang aku harapkan.”
Up to you, lha,” jawab Yanti pasrah.
✲✲✲
Malam yang sangat menyeramkan dan menakutkan, ketika aku hanya bisa terdiam dan berbaring di tempat yang sangat aku benci ini. Tapi, karena aku sudah berminggu-minggu bahkan hampir satu bulan di rawat di sini selama 24 jam, jadinya aku merasa terbiasa dan tak perlu lagi di takutkan malam seperti ini. Apa lagi tanpa orang tua di sampingku. Sedih.
Malam itu sungguh sangat tak menyenangkan bagiku. Bosan. Bosan dan bosan yang kurasakan. Kenapa aku enggak bisa tidur? Bukankah tadi siang aku enggak istirahat. Mungkin aku akan tenag dan nyaman kalau aku mencari udara di luar.
Aku pun langsung keluar tanpa menggunakan jaket di badanku. Ya, gimana mau pake jaket? Orang di sini enggak ada jaket. Selama aku berada di kawasan rumah sakit ini, aku harus selalu menggunakan pakaian pasien saja.
Kutatap lingkungan di sekeliling ruanganku. Hhmm…, ada satu ruangan yang membuatku iri dan sedih padanya. Ruangan itu sangat ramai dengan sanak saudaranya. Membuat ruangan itu semakin hangat dan membahagiakan. Mungkin baginya. Ah, sudahlah! Dari pada aku menatapnya lebih baik aku telepon adiku atau ibu.
Treleet… trelet… trelet….
Awalnya panggilanu tak terjawab, tapi aku terus mencobanya hingga akhirnya panggilanku terjawab juga.
“Apa, Mbak?”
“De, udah pada tidur? Mbak kangen tahu sama kalian.”
“Iya. Sama Mbak, kok enggak pernah pulang?” jawabnya yang masih mengantuk.
“Suatu saat Mbak, pasti akan pulang kok, De.”
“Kapan? Mbak, aku kesal sama Kak Bila.”
“Kenapa dia?”
“Dia semakin aneh dan gila. Semenjak Mbak pergi dia selalu sok berkuasa. Bahkan dia juga pernah bilang kalau kita harus nurut sama dia.”
“Apa? Sejak kapan dia bilang begitu?”
“Enggak tahu lupa. Intinya waktu ayah dan ibu pergi ke undangan tante Salma.”
“Oh, terus dia bilang apa lagi?”
“Dia bilang kalau sekarang aku yang berkuasa di sini. Mbak, tahu enggak kalau kak Bila itu punya dua muka.”
“Dua muka?”
“Ya, masa enggak ngerti?”
“Iya Mbak mengerti, cuman Mbak, terkejut. De, kalian jaga diri baik-baik ya! Jangan pernah mengecewakan orang tua kita. Mbak minta maaf ya kalau Mbak ada salah. Mbak enggak mau kalian tak memaafkan  Mbak sebelum Mbak meninggal.”
 “Maksudnya?”
“…. “
“Mbak?”
“De, udahan dulu, ya! Assalamualaikum.”
Sebelum adikku membalas salamku, aku langsung mengakhiri panggilannya.
Ya tuhan, dimana letak keadilan yang sesungguhnya? Tidak adakah keadilan di dunia ini? Aku tahu, engkau pasti tahu apa yang sedang aku rasakan dan aku alami. Kenapa ayah tak pernah berlaku adil padaku? Aku ini benda hidup yang punya hati dan perasaan. Aku bukan benda mati yang bisa diperlakukan semaunya.  Mengapa ayah selalu memilih Bila yang bermuka dua? Dan mengapa ayah selalu menganggapku tak ada, sedangkan aku ada dalam kehidupannya. Mengapa, ya Tuhan? Akku sudah lelah singgah di panggug sandiwara ini. Aku sudah tak bisa lagi berperan sebagai amanat diriku. Aku ingin segera datang ke duniaku yang baru dan yang terakhir untuk selamanya. Aku le..laa…h. aku lelah dan aku le..le..lah. kataku sambil merekamnya di hape androidku.
Bruug…
Aku langsung terjatuh pingsan.
Setelah 20 menit aku tak sadarkan diri, mataku mulai perlahan terbuka. Remang-remang yang kulihat setelah aku mulai siuman.
Kutatap di sampingku, sesosok lai-laki berpakaian rapi. Berjas putih dan menggunakan celana hitam panjang. Dokter. Ya, dokter yang tak kuketahui namanya.
“Dok, mengapa badan saya lemas? Dan mengapa saya ada di sini? Bukankah saya sedang di luar tadi?”
“Salsa, sudah siuman rupanya dirimu. Saya membawa kamu masuk setelah saya melihat kamu tengah berbaring di luar.”
“Berbaring?”
“Iya, tadi kamu pingsan.”
“Pingsan…,” kataku yang seolah-olah tak mempercayainya.
“Saya minta maaf, tadi saya dengan lancing meng-save rekamanmu. Dan saya juga telah lancing mendengarkan isi rekaman itu.”
“Terimakasih, Dok.”
“Untuk apa? Bukannya saya punya salah kepada anda karena telah berlaku lancing,” jawabnya dengan lembut.
“Terimakasih karena anda telah menyimpan rekaman saya.”
“Saya masih tak mengerti dengan isi rekaman itu.”
“Dok, saya hidup tanpa keadilan. Saya tak tahu mengapa ayah saya bisa memperlakukan saya sepeti itu. Mengapa yang benar selalu di salahkan dan sebaliknya, yang salah selalu di benarkan.”
“Yang memiliki keadilan itu hanyalah Tuhan. Manusia itu memiliki nafsu. Kita sebagai manusia harus selalu bersabar! Mengapa kamu ingin segera pergi?”
“Dok, anda sudah tahu penyakit yang saya derita. Sekarang paru-paru saya sudah permanen dan mag saya juga sudah kronis. Jadi untuk apa lagi saya di dunia? Saya di dunia hanya tinggal hitungan waktu lagi.”
“….”
“Dok…”
“Kamu harus segera minum obat ini! Perut kamu masih kosong dan pasti kamu belum makan.”
“Iya,” jawabku sambil tersenyum malu.
“Sejak kapan?”
“Sejak saya di rawat di sini, saya hanya bisa minum air mineral saja.”
Awalnya aku dengan jelas melihat mimik wajah Dokter yang bernama Aziz Anggara itu seketika sedang marah. Namun aku juga tahu kalau ia sedang menahannya.
“Wajahmu semakin pucat. Kamu harus makan dulu! Saya punya roti, dan kamu harus memakannya!”
“Saya tidak akan makan jika Dokter, tak membantu saya.”
“Membantu apa?”
“Tolong berikan hape saya kepada teman saya jika saya esok tiada atau…”
“Kamu kenapa bicara seperti itu?”
“Enggak Dok, saya minta tolong itu saja. Dan tolong sampaikan pada dia yang bernama Yanti, untuk memberikan rekaman itu pada orang tua saya. Tolong jawab iya untuk saya bisa makan kembali!”
“Baiklah. Ya sudah, makan dulu rotinya!” jawabnya pasrah sambil menyuapiku roti yang sudah ia potong-potong menjadi kecil.
Aku makan hingga roti itu habis. Dan setelah itu, aku merasa semakin rindu pada ibuku. Aku ingin menghubunginya, tapi aku khawatir ada ayah di sisinya.
Namun, dengan hati yang sangat nekat, aku pun akhirnya menghubunginya juga.
“Dok, saya ingin bicara dengan ibu saya dulu.”
“Oh, silahkan. Apa saya harus keluar?”
“Tak perlu, tapi jika Dokter ingin keluar silahkan.”
Aku pun langsung mulai menghubungi ibuku. Sedangkan Doketr Aziz itu memilih meracik obat di ruanganku sambil menemaniku.
“Hallo! Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, Mah.”
“Salsa, bagaimana kabrmu? Kok belum tidur?”
“Aku baik-baik saja, Mah. Tadi juga aku habis telepon Reza. Mah, aku minta maaf ya kalau aku nanti tak bisa lagi menatap wajah-wajih manis mamah, ayah dan yang lain. Aku juga minta tolong, nanti sampaikan maaf dan terimakasihku kepada Yanti, temanku. Tapi itu juga jika mamah bertemu. Mamah bagaimana keadaannya?”
“Kamu bicara apa, Nak? Jangan membuat mamah sedih! Di sini mamah baik-bai saja.”
“Aku hanya berjaga-jaga saja,Mah. Kan takdir itu hanya Tuhan yang tahu. Mah, aku sedih.”
“Kenapa?”
“Aku kecewa dan kesal pada ayah semenjak aku mulai di rumah kembali. Ayah selalu memperlakuaknku tak adil. Ayah selalu menganggapku sampah. Beliau tak pernah menganggapku ada dalam kehidupannya. Aku juga manusia Mah, yang punya hati dan perasaan. Aku ini wanita yang bersikap lemah dan lebih dominan pada perasaan. Mah, aku sedi banget.”
Aku terhenti menjelaskan semua kekesalanku ketika Dokter Aziz bertanya padaku,”Salsa, kenpa mengangis?”
“Tidak, Dok. Saya sedang bicara dengan ibu saya,” jawabku seolah-olah aku tak ingin ia merasakan sakit yang kurasakan.
“Mah.”
“Iya,Nak. Tadi siapa? Mengapa ada laki-laki?”
“Itu dokter Aziz, Mah.”
“Dokter? Kamu sakit apa?”
“Mah, aku punya sakit paru-paru yang sudah permanen dan sakit mag-ku juga sudah kronis. Dan beberapa dokter bilang kepadaku bahwa hidupku hanya tinggal hitungan waktu saja.”
“Keanapa tak pernah memberi tahu Mamah?”
“Aku tak ingi ayah tahu karena ay… ayy… yah…”
Aku terhenti ketika aku ingin memulai lagi menjelaskan kekesalanku, karena seluruh panca inderaku sudah tidak bisa brfungsi lagi.
Dan dari situ aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Aku tak tahu apakah ibuku akan menjerit sekencang-kencangnya atau tidak. Aku juga tak tahu apa yang akan dilakukan Doketr Aziz setelah seluruh nyawaku telah hilang.
Yang aku tahu hanyalah, seluruh inderaku sudah tidak berfungsi lagi. Begitupun pada jiwaku yang tak bisa kugerakan lagi.
The End


0 comments:

Post a Comment

 
;