Kalian semua pasti tahu mengenai
sebuah keadilan. Ya, adil! Setiap manusia yang terlahir di panggung sandiwara
ini pasti merasakan puasnya keadilan dan kurangnya keadilan. Bagiku adil itu
seimbang. Jujur. Tidak memihak pada hal yang menyimpang dari kebenaran. Tapi,
aku dan kalian sebagai pembaca pasti akan berbeda pendapat mengenai kata ADIL
ini, namun tetap sama inti dan maknanya.
Kalian semua pasti memiliki
keluarga, orang tua atau sanak saudara. Yang tak mungkin akan selalu berlaku
adil pada kalian. Begitupun diriku. Aku hidup bersama kedua orang tuaku. Tapi
itu semenjak aku lahir sampai aku duduk di bangku SD. Dimana aku ketika SMP dan
SMA? Ya, itu pertanyaan yang bagus untuk menghilangkan keheranan pada diri
kalian. Aku semenjak duduk di bangku SMP sampai SMA pergi mencari ilmu di kota
orang, tanpa membebankan orang tuakku. Ya iyalah enggak akan membebankan
mereka. Orang aku sekolah free karena
beasiswa.
Orang tuaku memiliki lima orang
malaikat penghibur bagi mereka. Tiga perempuan dan dua laki-laki. Masing-masing
memiliki jabatan tersendiri. Salah satunya aku, aku bertugas sebagai ketua di
dalam rumah orang tuaku. Tapi, jangan salah pemahaman dulu, ya! Aku hanya ketua
bagi adik-adikku saja dan kembaranku.
Selain aku dan saudaraku kembar,
nama kami pun sangat amat kembar. Namaku, Salsabila Widdad. Sedangkan sepupuku,
Salsabila Dwi Widdad, ia menjadi bendahara. Oh, ya. Aku hampir saja lupa dengan
adik-adikku, dia ada yang namanya, Ajeng Dianami, Riza Ali Riyan, dan Alan
Khan. Mereka hanya bersetatus sebagai anggota saja, karena mereka masih kecil.
Bagiku, ibu dan ayah itu bagaikan
Raja dan Ratu. Yang harus dipatuhi dan ditaati. Ops, tapi jangan sampai
melebihi ketaatan kita kepada yang maha kuasa.
Hei, kaian harus tahu sebelum aku
menceritakan semua ini. Aku biasa dipanggil Salsa, sedangkan kembaranku, Bila.
Kalian pasti mengerti kalau aku
ceritakan mengenai’Adil’. Mungkin dalam kehidupan kalian ada yang nyaman-nyaman
saja atau …, seperti hidupku. Aku tak tahu tata letak salahku dimana. Sungguh
kalau kalian jadi aku pasti sedih banget deh.
Kalian sudah tahu kan, setatusku
sebagai apa? Ya, setatusku memang sebagai ketua. Tapi, enggak tahu kenapa, Ayah
selalu menyerahkan segalanya pada Bila, kembaranku. Aku merasa sampah di rumah
ini. Ibu dan ke-tiga adikku selalu menganggapku ada. Tapi…,entahlah. Ayah
sangat jahat padaku
.
Apa karena, Ayah sangat benci
padaku? Tapi, kalau iya kenapa ayah tak jujur padaku. Aku bagaikan kertas yang
terombang-ambing oleh air lautan yang sangat luasnya tak terkira, dan hanyut
entah kemana.
Aku hidup bagaikan sosok yang
menjadi pemain sandiwara yang akan berperan dalam sebuah drama yang berjudul
‘bawang merah dan bawang putih’. Tapi, itu hanyalah pemikiranku yang sedang
negatif saja. Mungkin. Aku yakin pasti setiap orang tua itu akan memberikan
yang tebaik untuk anakknya, walau… tak semuanya. Mungkin.
Sudah bertahun-tahun aku seperti
ini. Sedih. Sedih dan sedih. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Jujur
aku bingung menceritakannya, karena bagiku ini adalah kesedihan dan cobaan
terbesar dalam hidupku saat ini.
Aku masih sangat ingat, sore itu
adik-adikku memintaku untuk mengajarkan mereka cara membaca Alquran dan belajar
bahasa inggris. Tapi, ketika ayah melihatku sedang mengajarkan adik-adikku,Ayah
langsung memancarkan mimik wajar yang sangat menyebalkan. Memebenciku.
Seolah-olah aku tak boleh bersama mereka.
“Reza, Alan, kamu belajar sama
kak Bila sana!” ujar ayah.
“Enggak mau! Kak bila kan tidak
bisa bahasa inggris,” sergah Alan.
“Bahasa Inggris itu tidak penting
untuk akhirat.”
“Memangnya ilmu yang sangat wajib
dicari itu bahasa arab aja, yah? Bukankah Allah meminta bahkan mewajibkan kita
untuk mencari ilmu yang sangat banyak!”
“Owh…,” jawab ayah dengan muka masam.
Aku hanya terdiam dan menundukan
kepalaku saja. Betapa sedihnya ketika ayah seperti itu. Di rumah hanya ayah
yang membuatku selalu tak betah di rumah. Ingin aku rasanya mengadu pada ibuku,
yang sangat baik dan menyayangi anak-anaknya. Tapi, jika aku harus mengadu
semua kesedihanku ini, aku khawatir dengan hubungan rumah tangga orang tuaku.
Aku tak sangat ingin mereka putus di tengah jalan.
“Kak Salsa, jangan mementingkan
kata-kata yang tak penting itu!”
“….”
Aku tak menjawab ucapan adikku,
Reza. Ya Allah, betapa aku sangat sedih ketika adik-adikku lebih tahu bagaimana
perihnya perasaanku ini. Sakit.
Sejujurnya aku ingin sekali
menangis. Menghapuskan rasa sedih dan sakit hatiku. Tapi, jika aku menangis
harus di mana? Di setiap penjuru diriku pasti aku tak akan bisa sendiri.
Merenung.
“Reza, Alan. Kalian belajar sama
kakakMu aja, ya!”
“Yaa…h. kenapa emangnya, Kak?”
“Enggak, De. Kakak harus pergi!”
“Kak…”
“Iya, De. De, kalian tahu enggak
sifat Kak Bila?”
“Maaf ya, Kak! Kak Bila itu
sebenarnya termasuk anak yang sangat menyebalkan. Egois banget. Dan yang lebih
aku benci, dia selalu berperilaku baik di hadapin, Ayah aja.”
“Terus kalau, Kakak?”
“Kalo kakak masih mending dari
pada dia.”
“Kak, aku tahu pasti kakak sedih
banget. Tapi kita bingung gimana caranya bantuin kakak. Kakak tahu sendiri kan,
kalo sifat kembaran kakak yang amat sangat menyebalkan itu?” lanjutnya.
“….”
Aku sudah menyadari hal itu
semenjak aku ada di rumah. Jujur aku lebih senang tidak ada di rumah.
“Ya, sudah deh, kak! Kita sudahan
aja dulu!”
✲✲✲
Satu,
dua, tiga dan sampai enam bulan, mungkin aku masih bisa bersabar. Tapi, jika
aku masih dan harus di perlakukan seperti itu, aku tak akan tahan tinggal di
rumah bersama orang tuaku. Namun, jika aku pergi dari rumah, kapan aku bisa
menghilangkan rasa rinduku pada orang tua dan sanak saudaraku?
Enam
tahun tak bersama mereka, hanya untuk mencari ilmu yang sangat lebih dan
berharga. Mmm…, kukira mereka akan menuangkan rasa rindu dan welas asih-nya padaku. Tapi sanyang, itu
semua hanyalah mimpi kosongku saja. Yang terbang tanpa membawa beban.
Apa
karena aku terlalu mementingkan kepentingan dan ilmu yang mendunia? Makanya,
Ayah seperti itu padaku? Terus karena, Bila selalu mementingkan suatu ritual
yang berhubungan dengan agama, jadinya ayah mementingkan dia juga? Kalau iya,
berarti ayah tak memiliki sifat keadilan. Atau…, ya sudahlah jangan kusebutkan!
Aku khawatir melenceng.
Hidup
itu memang penuh dengan cobaan. Cobaan yang pasti tak semua orang
mengharapkannya. ‘SUMPAH’ aku sangat amat sekali enggak paham dengan semua ini.
Ingin aku menjerit, tapi tak mungkin. Ingin kumenangis tapi dimana? Aku ingin
menuangkan perasaanku tanpa satu orang pun ketahui.
“Apa
semua orang itu enggak bisa berlaku adil? Dimana letak keadilan itu? Aku tahu
yang maha pemilik keadilan itu hanyalah Allah, tapi apa manusia tidak memiliki
sedikit rasa adil?”
Dulu,
pertama aku mulai lagi tinggal di rumah ini, ayahku selalu menegaskanku dan
memfokuskanku untuk aku bisa mengatur semua hal di rumah ini. Tetapi, setelah
satu bulan aku di rumah dan ayah telah berhasil memfokuskanku serta membuat
peraturan untuk anak-anaknya selalu patuh dan turut padaku itu, kini telah
menjadi omong kosong yang sudah bertebaran di langit yang menjulang tinggi
sana.
Aku
bigung kepada ayah. Bukankah ia pernah berkata kepadaku, “Bahwa segala
perizinan harus padaku!”, tapi mana semua itu? Semua itu hanyalah omong kosong
belaka. Ayah selalu memposisikan Bila di posisiku dan tak menganggapku ada.
Semakin
berjalannya waktu, aku semakin tak kuasa menahan perihnya luka di rumah ini.
Semenjak aku datang kembali ke rumah ini setelah merantau hingga saat ini, aku
belum pernah menemukan suatu kebahagiaan sedikitpun.
Bertemu
dengan ayah bukanlah hal yang kuharapkan. Ayah itu seperti MONSTER yang selalu
membuatku takut dan terluka.
Dia
selalu membutuhkanku ketika Bila, tidak ada di rumah saja. Seolah-olah aku
adalah manusia yang tak berguna untuk masyarakat dan hanyalah benalu. Berguna
untuk sementara.
Sudahlah!
Aku sungguh sedih untuk menceritakannya. Sejujurnya aku tak kuasa lagi
mengingat kejadian itu.
✲✲✲
Dua
tahun lamanya aku tak pernah pulang, karena aku kesal dan kecewa pada Ayah.
Tapi, meskipun aku tak pernah pulang, aku selalu tak lepas menghubungi dan
menanyakan keadaan di rumahku lewat ibu.
Aku
pergi dari rumah untuk melanjutkan pendidikanku di universitas Indonesia dan
bekerja hanya untuk tidak membebankan orang tuaku saja.
Aku
tak ingin seperti Bila, yang selalu di manja dan bergantung pada orang tua. Aku
tak ingin harta benda orang tuaku terhabiskan olehku.
Aku
ingin menjadi anak yag mandiri dan menjadi anak yang sangat di banggakan. Aku
ingin menujukan kesuksesanku meskipun aku tak tahu, apakah kesuksesanku bisa
dirasakan oleh kedua orang tuaku?
Sekarang
hidupku selalu aku yang mengatur. Aku hidup apa adanya diriku. Aku tak ingin
bergantung pada siapapun termasuk keluargaku sendiri. Sampai aku sakit parah
pun, aku tak akan memberi tahu mereka sebeum akhir hayatku datang.
Sudah
banyak luka dalam diriku yang dibesitkan oleh ayah dan aku juga terluka oleh
saudaraku Bila, yang selalu bermuka dua.
Mungkin
aku sekarang tak bisa mengatakan kesalahanku pada ayah, tapi aku berjanji
sebelum aku mati aku akan memberikan semua kekesalanku padanya.
Di
dalam kehidupanku saat ini, hanya ada satu sosok yang snagat aku sayangi. Ia
selalu memberikan yang terbaik untukku. Meski aku dan dia bukan satu keluarga,
tapi bagiku dia lebih dari keluargaku sendiri.
Dia
adalah wanita yang tegar, sabar, dan sangat sempurna bagiku. Kehidupan bersama
keluarganya sangat harmonis. Tidak seperti keluargaku yang sangat amat hancur. BROKEN HEART. Dan sejujurnya hal ini
telah membuat hatiku membara. Aku tak tahu letak keadilan itu dimana.
Aku
tahu tujuan Tuhan, melahirkanku turun ke panggung sandiwara ini . aku yakin,
aku terlahir di dunia pana ini karena Allah tahu kalau aku kuat. Tapi,
terkadang aku ingin mengakhiri hidup ini. Seandainya hal itu tak akan
menimbulkan dosa, mungkin aku sudah mengakhirinya tahun-tahun lalu.
Oh,
ya. Semenjak aku sakit parah, hanya Yanti, sahabatku yang selalu menjagaku dan
merawatku. Terkadang Yanti, selalu memintaku untuk memberi tahu orang tuaku
bahwa aku sedang sakit parah. Tapi, aku tetap tidak mau memberi tahu mereka
sebelum akhir hayatku tiba.
Aku
dirawat karena mag-ku yang sudah kronis dan penyakit paru-paruku yang sudah
permanen. Dan aku hanya tinggal menunggu hitungan waktu saja untuk bisa pergi
dari panggung sandiwara ini.
“Salsa,
sampai kapan kamu mau seperti ini? Kapan kamu akan memberi tahu orang tuamu
tentang keadaanmu?”
“Yan,
bukannya aku tidak mau, tapi aku hanya ingin memberikan peringatan atau membuat
mereka sadar dan menyesali perlakuan mereka terhadapku.”
“….”
“Aku
berencana inginmemberikan rekaman.”
“Rekaman
apa, Sas?”
“Kau
boleh tahu setelah aku tiada.”
“Kok
ngomong begitu?” sergah Yanti.
“Kan,
dokter pernah bilang kalau aku hanya tinggal hitungan waktu lagi.”
“Itu
hanyalah rekomendasi saja.”
“Tapi
aku mempercayai hal itu.”
“Kok
percaya? Nanti terjadi lho!”
“Enggak
apa-apa. Lagian ini yang aku harapkan.”
“Up to you, lha,” jawab Yanti pasrah.
✲✲✲
Malam
yang sangat menyeramkan dan menakutkan, ketika aku hanya bisa terdiam dan
berbaring di tempat yang sangat aku benci ini. Tapi, karena aku sudah
berminggu-minggu bahkan hampir satu bulan di rawat di sini selama 24 jam,
jadinya aku merasa terbiasa dan tak perlu lagi di takutkan malam seperti ini.
Apa lagi tanpa orang tua di sampingku. Sedih.
Malam
itu sungguh sangat tak menyenangkan bagiku. Bosan. Bosan dan bosan yang
kurasakan. Kenapa aku enggak bisa tidur? Bukankah tadi siang aku enggak
istirahat. Mungkin aku akan tenag dan nyaman kalau aku mencari udara di luar.
Aku
pun langsung keluar tanpa menggunakan jaket di badanku. Ya, gimana mau pake
jaket? Orang di sini enggak ada jaket. Selama aku berada di kawasan rumah sakit
ini, aku harus selalu menggunakan pakaian pasien saja.
Kutatap
lingkungan di sekeliling ruanganku. Hhmm…, ada satu ruangan yang membuatku iri
dan sedih padanya. Ruangan itu sangat ramai dengan sanak saudaranya. Membuat
ruangan itu semakin hangat dan membahagiakan. Mungkin baginya. Ah, sudahlah!
Dari pada aku menatapnya lebih baik aku telepon adiku atau ibu.
Treleet…
trelet… trelet….
Awalnya
panggilanu tak terjawab, tapi aku terus mencobanya hingga akhirnya panggilanku
terjawab juga.
“Apa,
Mbak?”
“De,
udah pada tidur? Mbak kangen tahu sama kalian.”
“Iya.
Sama Mbak, kok enggak pernah pulang?” jawabnya yang masih mengantuk.
“Suatu
saat Mbak, pasti akan pulang kok, De.”
“Kapan?
Mbak, aku kesal sama Kak Bila.”
“Kenapa
dia?”
“Dia
semakin aneh dan gila. Semenjak Mbak pergi dia selalu sok berkuasa. Bahkan dia
juga pernah bilang kalau kita harus nurut sama dia.”
“Apa?
Sejak kapan dia bilang begitu?”
“Enggak
tahu lupa. Intinya waktu ayah dan ibu pergi ke undangan tante Salma.”
“Oh,
terus dia bilang apa lagi?”
“Dia
bilang kalau sekarang aku yang berkuasa di sini. Mbak, tahu enggak kalau kak
Bila itu punya dua muka.”
“Dua
muka?”
“Ya,
masa enggak ngerti?”
“Iya
Mbak mengerti, cuman Mbak, terkejut. De, kalian jaga diri baik-baik ya! Jangan
pernah mengecewakan orang tua kita. Mbak minta maaf ya kalau Mbak ada salah.
Mbak enggak mau kalian tak memaafkan Mbak
sebelum Mbak meninggal.”
“Maksudnya?”
“….
“
“Mbak?”
“De,
udahan dulu, ya! Assalamualaikum.”
Sebelum
adikku membalas salamku, aku langsung mengakhiri panggilannya.
Ya tuhan, dimana letak keadilan
yang sesungguhnya? Tidak adakah keadilan di dunia ini? Aku tahu, engkau pasti
tahu apa yang sedang aku rasakan dan aku alami. Kenapa ayah tak pernah berlaku
adil padaku? Aku ini benda hidup yang punya hati dan perasaan. Aku bukan benda
mati yang bisa diperlakukan semaunya. Mengapa ayah selalu memilih Bila yang bermuka
dua? Dan mengapa ayah selalu menganggapku tak ada, sedangkan aku ada dalam
kehidupannya. Mengapa, ya Tuhan? Akku sudah lelah singgah di panggug sandiwara
ini. Aku sudah tak bisa lagi berperan sebagai amanat diriku. Aku ingin segera
datang ke duniaku yang baru dan yang terakhir untuk selamanya. Aku le..laa…h.
aku lelah dan aku le..le..lah. kataku sambil merekamnya di hape
androidku.
Bruug…
Aku
langsung terjatuh pingsan.
Setelah
20 menit aku tak sadarkan diri, mataku mulai perlahan terbuka. Remang-remang
yang kulihat setelah aku mulai siuman.
Kutatap
di sampingku, sesosok lai-laki berpakaian rapi. Berjas putih dan menggunakan
celana hitam panjang. Dokter. Ya, dokter yang tak kuketahui namanya.
“Dok,
mengapa badan saya lemas? Dan mengapa saya ada di sini? Bukankah saya sedang di
luar tadi?”
“Salsa,
sudah siuman rupanya dirimu. Saya membawa kamu masuk setelah saya melihat kamu
tengah berbaring di luar.”
“Berbaring?”
“Iya,
tadi kamu pingsan.”
“Pingsan…,”
kataku yang seolah-olah tak mempercayainya.
“Saya
minta maaf, tadi saya dengan lancing meng-save
rekamanmu. Dan saya juga telah lancing mendengarkan isi rekaman itu.”
“Terimakasih,
Dok.”
“Untuk
apa? Bukannya saya punya salah kepada anda karena telah berlaku lancing,”
jawabnya dengan lembut.
“Terimakasih
karena anda telah menyimpan rekaman saya.”
“Saya
masih tak mengerti dengan isi rekaman itu.”
“Dok,
saya hidup tanpa keadilan. Saya tak tahu mengapa ayah saya bisa memperlakukan
saya sepeti itu. Mengapa yang benar selalu di salahkan dan sebaliknya, yang salah
selalu di benarkan.”
“Yang memiliki keadilan itu
hanyalah Tuhan. Manusia itu memiliki nafsu. Kita sebagai manusia harus selalu
bersabar! Mengapa kamu ingin segera pergi?”
“Dok, anda sudah tahu penyakit
yang saya derita. Sekarang paru-paru saya sudah permanen dan mag saya juga
sudah kronis. Jadi untuk apa lagi saya di dunia? Saya di dunia hanya tinggal
hitungan waktu lagi.”
“….”
“Dok…”
“Kamu harus segera minum obat
ini! Perut kamu masih kosong dan pasti kamu belum makan.”
“Iya,” jawabku sambil tersenyum malu.
“Sejak kapan?”
“Sejak saya di rawat di sini,
saya hanya bisa minum air mineral saja.”
Awalnya aku dengan jelas melihat
mimik wajah Dokter yang bernama Aziz Anggara itu seketika sedang marah. Namun
aku juga tahu kalau ia sedang menahannya.
“Wajahmu semakin pucat. Kamu
harus makan dulu! Saya punya roti, dan kamu harus memakannya!”
“Saya tidak akan makan jika
Dokter, tak membantu saya.”
“Membantu apa?”
“Tolong berikan hape saya kepada
teman saya jika saya esok tiada atau…”
“Kamu kenapa bicara seperti itu?”
“Enggak Dok, saya minta tolong
itu saja. Dan tolong sampaikan pada dia yang bernama Yanti, untuk memberikan
rekaman itu pada orang tua saya. Tolong jawab iya untuk saya bisa makan
kembali!”
“Baiklah. Ya sudah, makan dulu
rotinya!” jawabnya pasrah sambil menyuapiku roti yang sudah ia potong-potong
menjadi kecil.
Aku makan hingga roti itu habis.
Dan setelah itu, aku merasa semakin rindu pada ibuku. Aku ingin menghubunginya,
tapi aku khawatir ada ayah di sisinya.
Namun, dengan hati yang sangat
nekat, aku pun akhirnya menghubunginya juga.
“Dok, saya ingin bicara dengan
ibu saya dulu.”
“Oh, silahkan. Apa saya harus
keluar?”
“Tak perlu, tapi jika Dokter
ingin keluar silahkan.”
Aku pun langsung mulai
menghubungi ibuku. Sedangkan Doketr Aziz itu memilih meracik obat di ruanganku
sambil menemaniku.
“Hallo! Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, Mah.”
“Salsa, bagaimana kabrmu? Kok
belum tidur?”
“Aku baik-baik saja, Mah. Tadi
juga aku habis telepon Reza. Mah, aku minta maaf ya kalau aku nanti tak bisa
lagi menatap wajah-wajih manis mamah, ayah dan yang lain. Aku juga minta
tolong, nanti sampaikan maaf dan terimakasihku kepada Yanti, temanku. Tapi itu
juga jika mamah bertemu. Mamah bagaimana keadaannya?”
“Kamu bicara apa, Nak? Jangan
membuat mamah sedih! Di sini mamah baik-bai saja.”
“Aku hanya berjaga-jaga saja,Mah.
Kan takdir itu hanya Tuhan yang tahu. Mah, aku sedih.”
“Kenapa?”
“Aku kecewa dan kesal pada ayah
semenjak aku mulai di rumah kembali. Ayah selalu memperlakuaknku tak adil. Ayah
selalu menganggapku sampah. Beliau tak pernah menganggapku ada dalam
kehidupannya. Aku juga manusia Mah, yang punya hati dan perasaan. Aku ini
wanita yang bersikap lemah dan lebih dominan pada perasaan. Mah, aku sedi
banget.”
Aku terhenti menjelaskan semua
kekesalanku ketika Dokter Aziz bertanya padaku,”Salsa, kenpa mengangis?”
“Tidak, Dok. Saya sedang bicara
dengan ibu saya,” jawabku seolah-olah aku tak ingin ia merasakan sakit yang
kurasakan.
“Mah.”
“Iya,Nak. Tadi siapa? Mengapa ada
laki-laki?”
“Itu dokter Aziz, Mah.”
“Dokter? Kamu sakit apa?”
“Mah, aku punya sakit paru-paru
yang sudah permanen dan sakit mag-ku juga sudah kronis. Dan beberapa dokter
bilang kepadaku bahwa hidupku hanya tinggal hitungan waktu saja.”
“Keanapa tak pernah memberi tahu
Mamah?”
“Aku tak ingi ayah tahu karena ay…
ayy… yah…”
Aku terhenti ketika aku ingin
memulai lagi menjelaskan kekesalanku, karena seluruh panca inderaku sudah tidak
bisa brfungsi lagi.
Dan dari situ aku tak tahu apa
yang terjadi lagi. Aku tak tahu apakah ibuku akan menjerit sekencang-kencangnya
atau tidak. Aku juga tak tahu apa yang akan dilakukan Doketr Aziz setelah
seluruh nyawaku telah hilang.
Yang aku tahu hanyalah, seluruh
inderaku sudah tidak berfungsi lagi. Begitupun pada jiwaku yang tak bisa
kugerakan lagi.
The End
0 comments:
Post a Comment