Pagi itu, Dili. Seorang anak keturunan dari keluarga yang
sederhana, namun sangat berkecukupan. Pergi membawa cangkul dan perbekalan
nasi, yang telah disediakan oleh umi tercintanya, sebelum uminya pergi ke Rumah
Sakit. Dili, yang aku panggil sebagai kakak itu, pergi seorang diri untuk
menggarap sawah milik uminya, pemberian kakekku sebelum beliau pergi untuk
selama-lamanya.
Biasanya, Dili yang aku panggil A Dili itu selalu berdua bersama Aa, yang ia panggil
sebagai Bapak. Namun, karena Aa sedang sakit, dan di rawat di Rumah Sakit
Cianjur, akhirnya A Dili harus pergi ke sawah seorang diri saja. Karena kakak keduaku sedang
tidak mau membantu kakak pertamaku, Mustofa.
Dili, ya, Dili. Itulah kakak pertamaku yang sangat
menyayangiku dan ia adalah anak yang tak pernah mengeluh dalam kondisi apapun.
Oleh sebab itu aku sangat bangga padanya. Dan ia pun termasuk guru dalam
hidupku, walaupun waktu itu aku masih polos dan tak mengerti apa-apa.
Aku sangat ingin sepertinya. Namun, usia yang membuat aku
seperti ini. Usiaku baru saja lima tahun lebih tiga bulan. Sedangkan kakak
pertamaku sudah duduk di bangku SMP. A Dili, selalu mengajarkan aku tata cara membaca al-quran,
baca tulis huruf, angka, dan mengajarkan aku bagaimana caranya menghormati
orang tua.
Aku punya dua orang kakak laki-laki dan satu orang kakak
perempuan. Yang aku ingat, aku hanya berbeda dua tahun lebih dengan kakak
perempuanku yang aku panggil sebagai Teh Yanti. Teh Yanti juga adalah sosok
yang sangat aku sayangi, seperti rasa sayangku pada kakak pertamaku. Waktu itu,
aku sangat tidak suka dengan kakak keduaku, karena ia selalu membuat diriku kesal
padanya. Tapi aku yakin, ia hanya ingin membuatku bahagia.
Setelah kakak pertamaku berangkat ke sawah, Umi pun
langsung pamit kepadaku dan kedua kakakku untuk menemani Bapak kami, Aa. Ya,
Aa. Sosok laki-laki yang sangat bijak dan bertanggung jawab. Namun, kini tengah
berbaring di kapuk lembut berselimut kain. Di Rumah Sakit Sayang, Cianjur.
Sebelum rembulan menggantikan posisi matahari di langit
barat, kakakku segera bergegas pulang dan meninggalkan pekerjaannya di sawah.
Karena ia tahu, jika ia tidak segera pulang, kami akan khawatir padanya. dan ia
sangat cemas kepada kami yang tengah ditinggalkan sementara oleh Umi.
Sesampai kakakku di rumah, aku hanya bisa memandangnya
saja dan bergumam lirih namun terdengar oleh kakak terakhirku, Yanti, “ Aku takut,
baru kali ini aku berdiam diri di rumah bersama kakak-kakakku. Bagaimana dengan
Aa? Apa Aa akan sembuh dari sakit kerasnya? Tapi, apa sakit keras itu?” dan aku
hanya termenung sesaat.
Kutatap wajah Teh Yanti, ia sedang menghela napas, lalu menghembuskannya
sambil memejamnkan kelopak matanya. Dengan segera Ia langsung menghampiriku dan berkata, “ De, hidup itu tidak akan kekal,
hidup itu tak selamanya indah, dan hidup itu... adalah teka-teki yang harus
kita pilih dengan benar.”
Aku hanya terdiam dan merenung saja. Karena aku tak
mengerti dengan maksud kakak perempuanku itu.
Aku hanya bisa menatap wajah mereka saja. Subhanallah,
betapa bangganya aku hidup dengan mereka, yang sangat menyayangiku.
qrq
Malam itu, sangat berbeda sekali. Tidur tanpa orangtua,
yang biasanya selalu tidur bersama kami.
“Uh... sangat membosankan. Tak ada Umi dan Aa
disampingku.”
Kucoba dekati kakak-kakakku yang tengah asyik belajar dan
bercakap-cakap di kamar mungil, tempat kami tidur.
“Hey....” kataku sambil mengejutkan kakakku yang lagi
asyik dengan pekerjaannya.
“ Kau ini ngagetin aja, De.” Sahut Teh Yanti padaku.
“Habisan, kalian serius banget. Nyampe lupa sama Dede.”
Jawabku padanya.
“Ya... udah, temenin Teteh belajar ajah, De.”
Dan sementara itu, aku hanya memperhatikan kakak
perempuanku belajar untuk sekolah besok. Tiba-tiba kakak pertamaku bertanya
padaku.
“De, udah makan belum?” tanya A Dili padaku.
“Sudah tadi, yang udah di siapain sama Umi” sahutku
padanya.
“Oh... ya! Umi berangkat jam berapa tadi?” tanyanya
“Ehmm..., jam berapa, ya? Aku lupa.” Jawabku sambil
tersenyum lepas padanya.
Waktu terus berjalan, detik-detik telah berlalu. Kutatap
Teh Yanti sedang asyik belajar, sedangkan kedua kakak laki-lakiku, A Dili, dan A Mus, sudah tertidur lelap. Hemm.. malam yang sangat
sunyi, di temani nyanyian hewan jangkrik di malam hari. Membuat aku semakin
takut. Dan aku langsung beranjak mendekati Teh Yanti dan mengajaknya berbicara
denganku.
“Hemm..., kangen Aa.” Gumamku lirih.
“Kenapa, De?” tanya Teh Yanti padaku.
“Nggak, Teh. Dede cuman kangen ajah.” Jawabku padanya
sambil tersimpun sedih.
Teh Yanti langsung memelukku dan mengajak aku untuk
tidur. Aku tidur disampingnya. Setelah aku tertidur lelap, aku mendengar suara
percikan air dari kamar mandi, yang letaknya di samping dapur. Namun, aku tak menghiraukannya, karena aku
tahu itu pasti Teh Yanti.
qrq
Kami hanya ditinggalkan uang untuk sekolah dan makan
selama perminggu-Nya. Karena waktu itu, kami belum ada yang bisa menanak nasi,
dan memasak lauk pauk. Aku, anak
terakhir yang sangat manja dan cengeng. Mungkin aku cengenng karena usiaku yang
masih kecil, tapi, entahlah, aku pun tak tahu akan hal itu.
Setiap hari sekolah, kakak-kakakku semuanya sekolah.
Sementara itu, aku hanya berdiam diri saja di rumah dengan mainan dan permen
kaki kesukaanku. Sebenarnya, aku sangat takut dan tak berani untuk diam di
rumah sendirian, tapi aku pun tak berani keluar tanpa seseorang yang menemaniku.
Dengan beriringnya waktu. Malam telah berganti pagi.
Minggu telah tergeser oleh senin. Pagi itu, kakak-kakakku sudah bangun lebih
awal dariku. Sehingga, ketika aku bangun aku hanya bisa menatap mereka
bersiap-siap sekolah. Semenjak bapak kami melaksanakan rawat inap, Kami selalu sarapan dengan membeli bubur.
Yah... beginilah hidup tanpa Ibu di pagi hari. Kebetulan Umi
selalu di Rumah Sakit menemani bapak kami. Dan pulang hanya hari sabtu saja.
Itu juga hanya satu malam saja karena hari minggunya Umi sudah harus pergi ke
Rumah Sakit.
Jika aku pikir-pikir itu adalah masa yang sangat
menyedihkan dalam hidupku. Namun, masa lalu itu juga adalah pelajaran pertama
yang baru aku sadari.
Enam jam aku sendiri dan satu jam kembali aku bersama
ketiga kakakku. Setiap pagi mereka sekolah di SD. Dan setiap siang merekapun
kembali mencari ilmu lagi di MI. Terkadang aku selalu mengikuti mereka, namun,
kini aku tak pernah mengikuti mereka sekolah di MI. Entah mengapa aku mulai
tidak mau. Apa karena aku sudah mulai menunggu kedatangan orangtuaku? Tapi ya
sudahlah tak perlu aku ceritakan kejadian ini. Karena bagiku ini adalah cerita
yang sangat menyedihkan sekali.
qrr
Malam telah berganti siang, siangpun telah berujung
malam. Hari telah berlalu menjadi minggu, begitupun minggu telah berganti
bulan. Tak terasa sudah satu bulan aku dan kakak-kakakku tak bersama kedua
orang tuaku.
Minggu itu, A Dili sedang menggarap sawah bersama kakak
keduaku, A Mus. Sedangkan Teh Yanti bermain
bersamaku di rumah mungil, bertingkat dua ini.
Tanpa aku dan Teh Yanti sadari. Siang itu, kedua
orangtuaku sudah pulang dari Rumah Sakit dan langsung membuka pintu sambil
berkata, “ Assalamualaikum?” ucapnya pada kami berdua.
Waktu itu, kami tak langsung
menjawab salam mereka. Melainkan kami hanya menatapnya dengan begitu terkejut.
“ Umi... Aa....”
Jerit kami pada kedua orangtuaku. Kami
pun langsung memeluknya. Dan langsung membawa Bapakku ke
ranjang, tempat tidur beliau.
Rasa haru pun menyerang aku dan kakak perempuanku dengan tiba-tiba,membuat
kami menangis tak tertahan. Mungkin ini adalah tangisan rindu kami pada kedua
orang tuaku.
Siang telah berlalu, di sambut oleh senja hari dengan sinar matahari sore hari.
Kedua kakak laki-lakiku sudah sampai di rumah. Dan sesampai di rumah mereka
langsung terkejut dan tanpa mereka sadari mereka telah menjatuhkan cangku dan
sayuran yang mereka bawa dari sawah. “ Aa....” kata mereka sambil berteriak dan
langsung memeluk beliau. Namun, Umi melarang mereka memeluk dan duduk di samping bapakku yang tengah
berbaring di ranjangnya, sebelum mereka berdua membersihkan badannya terlebih
dahulu.
Dengan semangat, kedua kakakku itu langsung membersihkan
badannya dan mengganti pakaiannya. Setelah itu, mereka langsung menemui bapakku
dan langsung berbincang-bincang dengan beliau.
“A, kok Aa di rawat di Rumah Sakit?” tanya A Dili pada
Bapak kami.
“Namanya juga orang sakit, Dil.” Jawab beliau
“Oh, tapi kok lama banget di rawatnya?” Sahut A Dili lagi.
Namun, bapakku hanya terdiam seperti menyembunyikan suatu
masalah. Dan berkata.
“Dili, kamu ini ya! Bukannya seneng malah nagis. Cengeng
ya,” Ujar Aa padanya sambil menghiburnya supaya tidak
menangis.
rqq
Tiga hari telah berlalu, minggupun kini telah menjadi
rabu. Kini aku tak pernah lagi merasakan kesepian tanpa orangtua di sampingku
selama kakak-kakakku pergi sekolah. Dan kini aku sangat senang, ketika mereka
sekolah aku hanya mengahbiskan hari-hariku bersama kedua orangtuaku di rumah
mungil ini.
Ketika aku sedang bermain boneka dikursi ruang tamu. Aku
mendengar sebuah perbincangan anatara Umi dan Aa.
“Nyai, Aa ingin hari besok kamu tak pergi kemana-mana!”
Ujar bapakku pada Umi.
“Memangnya ada apa, A ?” jawab Umi dengan begitu heran.
“Iya, Aa mau pergi bakda duhur, cuman lama banget. Titip anak-anak dan yang di
kandunganmu itu
juga ya?” amanah beliau pada Umi.
Umi hanya terdiam dan menganggukan kepala saja. Dan
setelah itu aku tak lagi mendengar perbincangan beliau.
Tak terasa waktu semakin cepat. Hari yang di tunggu-tunggu
bapakku telah tiba. Aku sudah mulai khawatir dengan hari ini.karena mengingat
perbincangangan kemarin tiu. Sekitar jam 11.25 WIB. Umi pergi ke warung membeli
sayuran untuk makan siang nanti. Karena kakak-kakakku sudah berangkat sekolah,
akhirnya aku hanya berdua bersama bapakku saja yang masih berbaring itu.
“De, umi mana? Kok perginya lama?” tanya bapakku.
“Hah... apa, A ? Umi... umi kewarung tadi,” Jawabku.
“ Jemput gih ? Suruh cepetan!” Perintahnya padaku.
Aku pun langsung meninggalkan bapakku sendiri di rumah untuk
menyusul umi yang sedang pergi ke warung. Sebelum aku sampai di warung aku
bertemu dengan umi yang sedang berbicara bersama tetangga jauh kami.
“Umi, di suruh Aa pulang cepetan,” Kataku pada umi.
“Iya De, bentar dulu. Nih bawa sayuran sekalian sama kamu,” perintah umi.
Aku pun langsung meninggalkan umi untuk pulang ke rumah
karena aku khawatir pada bapakku. Sampai di rumah aku berkata pada beliau. “A,
kata umi bentar dulu. Umi lagi di jalan kok.”
Bapakku hanya terdiam saja. Dan akupun melanjutkan
bermainku bersama boneka kesayanganku.
Tak lama umi datang, dan langsung menemui bapakku dan
langsung berbincang-bircang. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan dalam
perbincangan itu karena kedua orangtuaku hanya berbisik-bisik saja.
Aku tak tahu seberapa lama mereka berbincang-bincang.
Mungkin karena aku asyik bermain boneka.
“Allahu akbar allahu akbar...,” Terdengarlah suara adan yang sedang mendayu-dayu dengan
begitu merdu. Dan tiba-tiba terdengarlah suara jeritan dari belakangku.
Kutatapkan wajahku ketempat tidur bapakku, dan ternyata itu adalah jeritan
ibuku yang sedang memeluk bapakku.
Entah seberapa besra volume yang sudah terlontarkan, sehingga tetanggaku
datang menemui Ibuku yang masih memeluk bapakku dan berkata, “Teh kenapa? “ sebelum umi menjawab. Teh Een langsung
berkata kembali “Teh Suami Eteh sudah meninggal. Een turut berduka cita ya, The,” Ucapnya sambil meneteskan air mata.
Setelah itu langsung menemuiku.
“De, Teh yanti mana?” Tanyanya padaku.
“Gak tahu Teh, tadi dia bilang mau maen,” Jawabku dengan penuh heran.
“Oh, mungkin di deket masjid kali teh Yanti main,” Sahutnya padaku.
“Teh, umi kenapa?” tanyaku dengan heran.
“Umi... De, bapak
kamu meninggal,” Jawabnya
sambil menangis.
“Oh...” jawabku dengan sedih karena melihat Teh Een menangis.
Aku bukan menangis karena bapakku, melainkan karena
terharu dengan tangisan Teh Een. Karena waktu itu aku masih tak mengerti apa
arti meninggal.
Dan aku sangat heran kenapa para tetangga terdekat
langsung berdatangan menuju rumahku. Dan
tiba-tiba Teh Een langsung mengajakku menemui teh Yanti.
qrr
Sesamapi di tempat bermain Teh
Yanti. Teh Yanti langsung bertanya kepadaku.
“De, kamu kenapa?” tanyanya.
Aku langsung menatap Teh Een. Dan beliau langsung menjawab pertanyaan teh
Yanti.
“Yan, bapak kamu meninggal”.
“Apa... Aa meninggal? “ Tanyanya sambil menjerit dan menangis.
“Teh... kenapa?” tanyaku dengan penuh rasa heran.
“De, Aa meninggal,” Jawabnya dengan simpel.
“Meninggal ? apa itu meninggal Teh ?” Tanyaku padanya.
“De, meninggal itu berarti Aa telah pegimeninggalkan kita untuk
selama-lamanya, De.”
Aku hanya terdiam saja di hadapan teh Yanti. Dan Teh Yanti langsung
memelukku dan menjelaskan arti hidup padaku.
“De, hidup tiu tak akan selamanya kekal. Di balik hidup ada sebuah
kematian. Di balik hidup tak semuanya bahagia, melainkan ada sebuah kesdiha.
Hidup itu Allah yang mengatur dan kita yang menjalani, De.”
Setelah kakak perempuanku menjelaskan arti hidup. Tiba-tiba terdengarlah
pengumuman dari masjid.
Assalamualaikum..
Pengumuman-pengumuman
Innalilahi
waina ilaihi rojiun
Tepatnya
tanggal 28 mei 2003 bakda duhur.
Darman
bin Dawil telah mendahului kami semua.
Pengumuman itu
terus berkali-kali di ulangi oleh marbot masjid. Yang selalu siap siaga di
masjid jami nurul falah ini.
Setelah pengumuman
itu berakhir, kami langsung pulang dan menyaksikan persiapan bapak kami yang
baru saja meninggal sebelum di kuburkan.
Dan
setelah itu, warga langsung mengangkat keranda yang di dalamnya ada jenazah
bapakku. Aku pun tak ingin berdiam dirumah saja. Melainkan aku ingin mengantarkan jenazah
bapakku di kuburkan. Sedangkan kakak perempuanku menemani
Umiku yang masih saja menangis.
Sesampai di masjid,
kedua kakak laki-lakiku langsung berlari menemui jenazah bapakku. Dengan begitu
sedih dan rasa kecewa karena mereka tak bisa menatap bapak kami sebelumnya.
Karena mereka sekolah.
F The End E
0 comments:
Post a Comment