Dari hari pertama aku sekolah di SMA ini
sampai sekarang, aku selalu datang lebih awal. Ibuku selalu menasehatiku “ lebih
baik datang lebih awal walaupun belum waktunya, dari pada datang tidak sesuai
janjinya.” Oleh sebab itulah aku
selalu datang sekolah lebih awal, yaah... supaya tidak telat dong. Di sekolahku yang
sekarang ini, aku punya banyaaak teman. Namun, yang lebih dekat denganku hanya
lima orang saja. Mereka bernama Eli Yulia, Lulu Rachmawati, Fitriyani, Putri
Ade Ayu dan Putri Amalia. Mereka itu, teman-temanku yang paling baik, seru dan
juga paling kompak
lho! Dan yang paling istimewa, mereka memiliki rasa kasih sayang yang tinggi bangeeet.
Pokoknya lebih berbeda dari teman-teman yang lain
deh, yang selama ini aku kenal.
Setiap pagi, aku dan teman-temanku,
selalu melihat seorang anak permpuan seusia anak SMP. Dan menurutku dia lebih
menarik perhatianku terus. Yang membuat diriku tertarik padanya adalah pakaian
sekolah SMP yang sudah kumuh, serta menggendong karung berisi barang bekas dan
menggenggam buku tulis.
Awalnya, aku biasa saja melihat gadis
itu. Namun, beriringnya waktu, terbesitlah dalam benakku “ sungguh luar biasa,
tanpa rasa malu ia berjalan dengan seragam kumuh, dan karung berisi barang
bekas.”
“Yaah
! kalau aku pasti malu banget, jika harus seperti dia.” celotehku.
Tanpa aku ketahui, ternyata
teman-temanku sudah lama menyimpan rasa simpati kepada gadis itu, sebelum aku
merasa simpati pada gadis itu.
Aku
tidak tahu dia sekolah dimana. Yaah ... karena aku tak pernah bertanya
kepadanya. Biasalah efek dari malu. Hehehe.
Kebetulan sekali, Pakde sopyan, sopirku,
berhenti disamping gadis itu.
Tiba-tiba, terbesitlah dalam benakku “ Di sore hari seperti ini,
alangkah baiknya aku mengajak dia bermain bersamaku.”
“Pakde tunggu dulu ya ! aku ingin mengajak
gadis itu bermain bersamaku.”
Pintaku pada Pakde.
Akupun langsung membuka
jendela mobilku, dan mengajak gadis itu naik kedalam mobilku. Namun, pada
awalnya gadis itu tidak mau aku ajak. Untungnya setelah aku rayu secara
baik-baik, akhirnya gadis itupun mau untuk menerima tawaranku padanya.
Di
sepanjang jalan,
aku berbincang-bincang bersama gadis itu. Tanpa memikirkan pakde.
“Hai,
biar kita lebih akrab, perkenalankan namaku Yumna. Kamu ? “
“Emm... namaku... namaku Aurel.” Jawabnya sambil ragu.
“Aurel.. ? Wow, namamu keren juga.”
Gadis yang bernama Aurel itu, hanya
tersenyum manis saja.
“Oh ya ! sebelumnya aku minta maaf. Aku
selalu melihat kamu setiap pagi berpakaian seragam SMP. Tapi, membawa karung
yang sudah kumuh dan berisi barang bekas.”
“Itu... kak? Itu sebenarnya aku tidak sekolah, tapi
aku hanya pergi kesamping sekolah dan mengintip para guru yang sedang
memberikan ilmunya pada murid-murid SMP Triguna. Dan itu tanpa mereka sadari.” Jawabnya sambil
tersimpuh malu.
Aku hanya terdiam sejenak, sehingga aku
tak tahu sampai mana Aurel menjelaskan jawabannya padaku.
“Permisi….”
Gadis itu terus memanggilku, sampai-sampai
gadis itu meminta pakde untuk menyadarkanku. Dan yang lebih kesal, Pakde malah
mengejutkanku dengan menekan tombol klakson pada mobil yang sedang kami kendarai
bersama.
“Huh…, emang Pakde Sopyan
ini, kalu mengejutkan orag bisa saja. Aku jadi kaget tau, Pakde.” Ujarku pada
Pakde sambil merasa kesal.
“Iya, Non Yumna! Pakde minta
maaf ya ? habisan Non ini di panggil sama De Aurel dari tadi. Memangnya Non ada
masalah apa ? ”
“Ah, Pakde ini, ya sudahlah
tak perlu dibahas.”
****
Hampir saja aku lupa kalau
Aurel dari tadi terus memanggilku berkali-kali. Tapi, biarlah tak perlu aku
jawab.
Arah menuju rumahku tidak
terlalu dekat jika dihitung dari jarak sekolah, tempat aku selalu melihat
Aurel. Dan kalau siang seperti ini pasti selalu macet. Oleh sebab itu aku tak
bias buru-buru mengajak Aurel tiba di rumhku.
“Non, saya mau di ajak
kemana ya?” Tanya Aurel padaku dengan cemas.
“Oh, ya! Aku lupa memberi
tahumu, aku akan mengajakmu ke rumahku, di Pondok indah.” Jelasku pada Aurel.
“Non, bukannya itu jauh
sekali.”
“Ah kamu ini, jangan panggil
aku Non bisa gak? Aku kan masih kakak kelas kamu. Kamu sekarang SMP kan ?”
“Ia, aku kalau sekolah,
sekarang duduk di bangku SMP.”
“Perjalanan dari bintaro
menuju pondok indah, bukanlah hal yang sangat menyenangkan. Tapi, ini sungguh
sangat membosankan sekali. Apalagi kalau di mobil hanya ada aku dan Pakde saja,
huuuh itu hal yang sangat aku benci.” Gumamku.
“Hal yang sangat di benci
bagaimana?” Tanya Aurel.
“Ya…, ya pokoknya
membosankan deh.”
Entah mengapa tiba-tiba
terbesit dalam benakku rasa malu, jika kami sudah sampai di rumah. Pasti nanti
dia bakal bertanya padaku, kok orang tuamu gak ada? Atau mungkin…, tapi ya sudahlah
tak perlu aku pikirkan.
Dua jam telah berlalu,
sampai juga di rumahku.
“Ayo turun !” Ajakku pada
Aurel.
“Ini rumah Kakak ?” tanyanya
dengan takjub.
“Bukan, ini rumah
orangtuaku. Aku belum punya rumah, Aurel.“ Jelasku
“Ya ampun, bagus banget kak,
tingkat lagi.” Ucap Aurel dengan girang.
“Iya… iya. Ayo masuk cepat
!” Ajakku pada Aurel.
“Tapi…, bajuku sangat kotor
dan bau, Kak.”
“No problem for me. Ayo makanya kamu cepat ikut aku masuk !”
Dengan hati pasrah, Aurel pun masuk bersamaku.
Tanpa basa-basi lagi aku
langsung membawa Aurel menuju kamarku di lantai atas. Dan kebetulan sekali di
kamarku ada kamar mandinya, jadi Aurel bisa mandi di kamarku.
Sesampai di kamar, aku langsung meminta Aurel untuk
mandi dan mengganti pakaiannya yang sudah kumuh. Dan aku menyiapkan pakaianku
untuk baju gantinya.
Kebetulan aku punya banyak
baju yang masih baru, jadinya aku bisa memberikannya kepada gadis itu.
Seperti biasa, setiap ada
tamu pasti Mbak Inah harus aku beri tugas teerus.
“Mbak….” Panggilku pada Mbak
Inah.
“Iya… ada apa Non ?”
“Tolong siapkan makanan
untuk tamu ya !” pintaku
“Siap Non. Tapi untuk berapa
porsi ya ?”
“Untuk Aku, Tamu, Mbak dan
Pakde ajah.”
“Kok Mbak sama Pakde
juga..?”
“Sudahlah Mbak bikin ajah !
jangan Tanya lagi ya !” pintaku pada Mbak inah.
“Okay, Non.” Jawab Mbak Inah
dengan siap.
Setelah aku meminta tolong
Mbak Inah menyiapkan makanan, aku langsung mengantarkan pakaianku kepada Aurel,
yang tengah membersihkan badannya.
Lima menit telah berlalu, aku pun langsung
mengajak Aurel turun, untuk makan bersama di Ruang makan.
Kupersilahkan gadis itu
untuk duduk di kursi makan, dan aku pun mengajak Mbak Inah dan Pakde untuk ikut
serta di meja makan.
Sungguh, aku melihat Aurel
sangat lahap sekali ketika makan. Jadi bahagia aku melihatnya. Seandainya gadis
ini bisa aku jadikan sebagai adikku. Tapi, ya sudahlah aku tak perlu
berangan-angan tinggi akan masalah ini.
“Makanan-nya enak sekali, Kak.” Ucap Aurel.
Aku hanya merespon
perkataanya dengan sebuah senyum saja.
Setelah kami semua selesai
makan siang, aku langsung mengajak Aurel bermain di rumahku. Sampai-sampai kami
tak sadar, kalau hari sudah mulai senja. Raut wajah gadis yang kini sudah
cantik nan anggun itu, dengan gaun merah panjang.mulai merespon rasa khawatir.
“Kak, aku harus pulang.”
Ucap Aurel.
“Kamu tidak mau menginap
disini?” Tanyaku.
“Tidak, Kak. Aku khawatir
pada orangtuaku.”
“Baiklah.”
Aku langsung meminta Pakde
Sopyan, untuk mengantarkan aku dan Aurel pulang ke rumah Aurel.
***
Pondok indah menuju bintaro,
bukanlahal. main di senja hari. Keramaian kendaraan selalu membuat jalanan
menjadi macet total.
“Uuuh…, masih lama Pakde ?”
keluhku.
“Tentu saja. Kita bisa
sampai malam kalau tidak tahu jalan tersembunyi.” Jawab Pakde sambil tersenyum.
“Ngomong-ngomong, kalau
dilihat dari raut wajah Pakde, sepertinya Pakde tahu jalan rahasia itu.”
Sindirku
“Oh…, tentu saja Pakde
punya.” Jawabnya dengan gembira.
“Ya sudah, lewat jalan
tembus itu bisa?”
“Tentu.”
Pakde langsung tersenyum dan
memutar balikkan arah menuju jalan rahasia Pakde.
Aku tak tahu jalan mana saja yang telah kami lalui,
karena suasana di terik matahari sayu, membuat aku lelah dan mengantuk.
Sepanjang jalan aku hanya
tertidur, sampai-sampai aku tak tahu kalau aku sudah sampai di kawasan bintaro.
Pakde langsung
membangunkanku.
“Non, ayo bangun ! kita
sudah sampai.”
“Emm…, sudah sampai ya.”
Dan aku langsung
membangunkan Aurel yang tengah terlelap dalam tidurnya, karena aku tak tahu
letak rumahnya.
“Aurel,
Aurel. Rumahmu dimana? Kita sudah sampai di bintaro.”
Gadis yang sudah menjadi anggun itupun langsung
membaca doa bangun tidur, dan langsung memberi tahuku dimana letak rumahnya.
“Disana rumahku, tapi masih
jauh,Kak. Aku turun di sini saja kak.”
“Mau kah ku antar?”
“Tidak perlu, Kak. Rumahku
masuk jalanan kecil.”
“Baiklah.”
Karena Aurel tidak mau aku
antarkan sampai rumahnya, akhirnya aku hanya mengantarkannya sampai di depan
sekolahku saja.
“Terimakasih, Kak.” Ujarnya
sambil tersenyum lebar.
“Sama-sama. Dadaaah, aku
langsung pulang ya.”
“Hati-hati, Kak.”
Pakde pun langsung tancab
gas, yaaah supaya kami bisa cepat sampai kembali di rumah, sebelum malam tiba.
Sebelum kami sampai di
rumah, aku menemukan sebuah buku kecil. Berwarna pink dan bergambar Hello kitty.
Dengan lancang aku langsung
membaca isi buku kecil itu. Setelah aku membacanya, kini aku tahu ternyata itu
buku harian mini-Nya Aurel. Dan dari buku itu juga aku bisa tahu isi hatinya
yang paling tinggi. Bahwa ia sangat ingin sekolah seperti yang lainnya. Namun,
ia tak punya biaya untuk itu karena keterbatasan ekonomi.
Sungguh aku sangat terharu
melihat catatan itu. Dan sampai di rumah aku langsung membawa buku kecil itu ke
dalam kamarku.
***
Seperti biasa, tempat
bermainku di rumah adalah kamar. Ya kamarlah yang kini menjadi tempat favorite-ku. Semenjak orangtuaku selalu
berangkat kerja sebelum aku bangun, dan kembali pulang selalu jam 20.00 WIB.
Tapi, terkadang mereka suka larut malam.
Setiap hari aku selalu di
temani oleh Handphone dan laptop saja. Ya supaya aku tidak merasa
bosan ajah di rumah. Heheheh.
Setelah aku sampai dikamar,
aku langsung membersihkan badanku dan langsung melaksanakan salat magrib dan
isa. Entah mengapa setelah aku berdoa, tiba-tiba terbesit pikiran dalam benak
mengenai gadis bernama Aurel itu.
“Astaghfirullah. Bagaimana aku bisa menolong dia, ya?” tanyaku
dalam doa.” Kalau aku ada di posisi dia, pasti sedih banget. “
“Ah ya sudahlah, nanti aku
bicarakan saja kepada orangtuaku. Semoga ajah mereka mau menolongku.”
Tepat sekali, jarum jam
telah menunjukan pada pukul 20.15 WIB. Aku mendengar suara gerbang rumah
terbuka. Aku langsung menghampiri jendela kamarku, untuk mengintip apa benar
itu orangtuaku. Kubuka gorden putih, pajang ini. Dan ternyata memang itu suara
kendaraan milik orangtuaku.
Aku pun langsung menghampiri
meja tempat belajarku, untuk mengambil ponselku. Tanpa basa-basi aku langsung
memberi pesan pada orangtuaku, kalau aku perlu berbicara dengan mereka.
Dan satu jam telah usai. Ku
dengar bunyi pesan di Handphonepku. Ku baca, ternyata itu dari Ayah.
“Kamu cepat turun, Ayah dan
Mamah menunggumu di ruang keluarga.” Begitulah balasan Ayah untuk pesanku.
Dengan semangat, aku langsung keluar kamar, dan turun
menuju ruang keluarga.
“Mah, Yah…, aku mau bicara
deh.” Ucapku tanpa basa-basi lagi setelah sampai di ruang keluarga.
Mamah pun menjawab, “sini
duduk di samping Mamah.” Sedangkan Ayah, hanya asyik dengan menatap layar
televisi.
“Ada masalah apa, Na.” Tanya
Mamah padaku.
“Gimana ya, Mah ? Mah, aku
punya temen tapi bukan yang biasa aku ajak main ke rumah.”
“Terus?” Tanya Mamah
“Aku boleh minta uang, Mah
?” tanyaku
“Untuk apa?”
“Untuk…, untuk membantu
temanku sekolah di SMP.”
“Memang temanmu tidak
sekolah?”
“Mah, jadi ceritanya. Dia
itu ingin sekolah tetapi orangtuanya tak punya biaya untuk menyekolahkannya.”
Jelasku.
Mamah hanya terdiam saja.
Dan entah sedang memikirkan apa.
Tiba-tiba Mamah balik
bertanya kembali. “ Apa temanmu pintar?”
Pertanyaan Mamah membuat aku
terkejut dan membuat mulutku terpikat dalam penjara, sehingga entah apa yang
harus aku katakana pada Mamah,
“Mmm…, entahlah, Mah. Tapi
aku yakin gadis itu pintar sekali. Karena aku selalu melihat dia semangat
belajar. Sampai-sampai dia menyelinap di belakang sekolah, hanya untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan.” Jelasku.
“Oh…, ya sudah kamu bilang
saja sama Ayah.” Pinta Mamah.
Dengan segera aku langsung
menghadapkan badanku menuju arah tempat duduk Ayah.
“Yah…., Ayah baik deh.”
Gombalku pada Ayah. Yaaah biasalah biar bisa di kabulin permintaanku.
“Apa lagi ? kebiasaan ya,
kalau ada maunya pasti bertingkah baik.” Cetus Ayah.
Awalnya aku merasa sedih, ketika Ayah menjawab itu.
Itu kan sama saja aku tidak baik dong selama ini. Tapi, ya sudahlah.
“Yah, aku mau minta uang”.
“Buat..?” Tanya Ayah
“ Buat bantu temanku. Tapi,
aku hanya minta Ayah untuk membayar iuran sekolah dan kebutuhan sekolahnya saja
kok. Kalau untuk seragam itu urusan aku nanti”. Jelasku.
Dengan rasa salut yang tinggi, Ayah langsung menjawab.
“ Wah, anak Ayah ternyata baik juga ya.”
Aku hanya tersenyum saja ketika Ayah berkata itu.
“Bagaimana, Yah?” Tanyaku
kembali.
“Baiklah, tapi ingat ada
syaratnya ya!”
Dengan hati berdebar aku lagsung menjawab.” Apa
syaratnya, Yah?”
“Gampang kok. Hanya dia harus
mendapat tiga besar terus.” Jawab Ayah sambil tersenyum ringan.
Dengan lemas aku menjawab “
Baiklah”.
Setelah Ayah mau menolongku,
aku langsung berterima kasih kepada kedua orangtuaku dan langsung pergi menuju
kamarku dengan penuh riang.
***
Seperti biasa sekali. Setiap
aku bangun tidur, aku tak pernah melihat orangtuaku di rumah. Ya karena mereka
sudah berangkat kerja.
Dan hanya Mbak Inah dan
Pakde Sopyan lah yang selalu membantuku dari pagi sampai larut sore. Dan karena
itu juga, aku merasa Mbak dan Pakde itu sebagai orangtuaku juga.
Sebelum aku memanggil Pakde
untuk mengantarkanku sekolah. Pakde selalu sudah stand by di dalam mobil.
Selama di perjalanan, aku
berharap nanti bisa bertemu dengan gadis yang tengah berangan tinggi itu.
Sebelum aku sampai di sekolah,
aku merasa ponselku bergetar. Ku raba ponsel di saku bajuku, dan ternyata itu
dari Ayah.” Yumna, nanti siang Ayah akan transfer
uang ke SMP Triguna, yang dekat sekolahmu. Dan kamu nanti sebelum pulang,
harus minta formulir siswa baru ya! Sama jangan lupa juga buat sekalian kamu
ambil buku paket dan lks untuk belajar temanmu.”. begitulah isi dari pesan
Ayah.
Aku hanya menjawab” Siap
Bos” dengan hati bahagia.
Sampai di sekolah, aku
langsung berlari menuju kelasku dan langsung menghampiri teman-temanku yang
tengah berkumpul di meja ke dua samping kanan.
“Hai, lagi pada apa nih ?” Tanyaku.
“Apa sih…, kamu kepo deh,
Na.” jawab Eli dengan ketus.
“Ya sudah.” Ketusku.
“Hai, kawan. Ada info Hot nih”. Ucapku.
“Tentang…?” Tanya Putri
Amalia.
“Aku sudah minta tolong
kepada orangtuaku, kalau aku minta untuk mereka memberikan biaya sekolah teman
baruku.” Jelasku.
“Teman baru?” Tanya Eli.
“Ya. Dia gadis yang selalu
membawa karung kumuh dan berseragam kumuh pula.” jelasku.
“Oh, gadis itu. Kamu kenal
dia juga toh.” Ucap Lulu.
“Kenal dong. Tenyata dia berangan-angan
ingin bersekolah, tapi ia tak memiliki biaya.” Jawabku.
“Terus, mau ngapain?” Tanya
Eli.
Dengan kesal, aku menjawab,
“ Pake nanya lagi. Ya, kita bantuin dialah.”
“Oh ya kawan, kebetulan ini
kan hari jumat. Dimana hari para osis meminta amal. Bagaimana kalau nanti kita
khususkan saja amal itu untuk kita berikan pada gadis yang bernama Aurel itu.” ujarku
ada teman-teman.
“Uangnya buat beli seragam
dia ajah. Kan orangtuamu hanya membiayai dia iuran sekolah, buku paket dan
lks.” usul Putri Ade.
“Ya, Put. Tadi juga maksudku
begitu.”
Pembicaraan kami pun selsai
ketika bel menunjukan waktu belajar segera dimulai.
Dan setelah
kami semua belajar dua jam di pelajaran pertama. Pak firman, selaku Pembina
osis, mulai menghidupkan speaker
sekolah, dan meminta ketua osis dan anggotanya menghadap beliau di ruang guru.
Dengan segera kami langsung
keluar dari kelas, dan setiap kelompok, maing-masing membawa kotak amal ke setiap
kelas.
Dengan cepat pula kami
laksanakan amanah beliau.
Kebetulan aku adalah ketua osis di sekolah. Jadi,
sebelum menuju setiap kelas, para anggota harus menunggu intruksi dariku.
“Untuk semua anggota, yang
telah mendapatkan kelompok. Saya harap kalian nanti memberi info kepada para
siswa untuk rela uang mereka di sumbangkan kepada pihak yang sangat
membutuhkan.”
Serempak semua anggota
menjawab “Siap kapten”.
Dan setelah itu, kami semua
langsung berjalan menuju kelas.
Karena kelompok osis sangat
banyak, jadi Pembina memberikan durasi untuk kami hanya lima menit saja.
Dan setelah lima menit usai,
kami tidak boleh telat untuk kembali lagi berkumpul di lapangan.
Sebelum kami memberikan uang
hasil dari bursa amal itu, aku langsung menghadap terlebih dahulu menuju kepala
Pembina.
“Pak, kami sudah kumpul.”
Ucapku
“Baiklah, untuk apa uang
itu?” Tanya Pak firman.
“Tujuan kami kali ini adalah
memberikannya kepada gadis pembawa karung, yang bercita-cita untuk bisa
sekolah.” Jelasku.
“ Apa cukup?”
“Kebetulan orangtua saya
yang akan mengurus biaya gadis itu. Dan kami berharap uang ini kami berikan untuk
membeli sergam sekolahnya.”
“Baiklah. Karena kamu yang
tahu anak itu, jadi kamu nanti langsung kasih saja ya ke dia. Soalnya Bapak ada
rapat hari ini.”
“Baik, Pak.”
Dan aku langsung kembali
menuju lapangan, sebelum bel istirahat bunyi.
“Kawan-kawan, Pak Pembina
memberi amanah kepada saya, untuk masalah uang ini. Jadi uang ini saya yang
memegangnya. Untuk total ini sudah di hitung?”
Serempak pula mereka
menjawab “ Sudah, Kak.”
Dan uang itu kini aku yang
memegangnya.
Setelah bel istirahat
berbunyi. Aku langsung pergi ke ruang tata usaha, untuk meminta lembar
formulir. Buku paket dan lks.
“Bu, Ayah saya sudah transfer kan?” Tanyaku.
“Siapa namanya?” Tanya Ibu
Sri selaku tata usaha.
“Nama Ayah
saya, Fariz Dwi Anggara.”
“Oh, iya.
Beliau sudah men-transfernya.”
Dan Bu Sri
langsung memberikan formulir, buku paket dan lks.
Aku pun
langsung membawa ke tempat parkir khusus mobil, untuk menyimpannya dalam mobil.
Karena setelah istirahat ini seluruh siswa akan pulang.
Tepat
setelah aku menyimpan buku, formulir dan lks. Aku langsung menuju kelas, dan
ternyata sudah bel jam pulang.
Seluruh
siswa di kelasku ternyata sudah siap semua untuk pulang, kecuali aku. Dan
untungnya semua perlengkapan sekolahku sudah di simpan dalam tasku oleh
sahabat-sahabat baikku. Yaaah, jadinya aku bisa langsung pulang.
Sesampai di
tempat parkir kembali, aku langsung menuju mobil antar-jemputku.
“Pakde,
tolong antar aku bertemu gadis yang kemarin ya.” Pintaku.
“
Dimana,Non?” Tanya Pakde.
“Di tempat
kemarin.”
Akhirnya
Pakde langsung menghidupkan mobil dan langsung menuju arah yang aku mau.
Selang
waktu tiga menit, gadis itupun datang. Ku lihat ia sedang berjalan dari arah
SMP Triguna.
Aku
langsung membuka jendela mobil, dan langsung memanggilnya.
“Aurel….” Teriakku.
Ia pun
langsung mengalihkan pandangan menuju diriku. Dan langsung menghampiriku.
“Aurel, ini
utukmu.” Kataku sambil mengeluarkan selembar amplop yang berisi uang hasil bursa
amal tadi di sekolah.
“Apa ini,
Kak?” Tanya gadis itu.
“Ini untuk
kamu beli seragam sekolah. Dan ini untuk belajar kamu. Dan ini formulirnya,
nanti kamu isi ya !” jelasku.
Dengan
tersenyum, ia meneteskan butiran benig yang terjatuh pada pipinya.
“Sungguh?”
“Ia. Besok
kamu kasih formulir ini, dan uang itu kamu belikan untuk seragam. Jadi lusa
kamu sudah bisa sekolah.” Jelasku.
“Alhamdulillah.
Terimaksih, Kak.”
Dengan
tersenyum, ku jawab “ Sama-sama, De.”
Dan ia pun
langsung berlari menuju jalan kecil, arah rumahnya.
Sungguh
bahagia aku rasanya, ketika melihat orang lain sangat bahagia.
The End
0 comments:
Post a Comment