Suatu hari, aku merasa bosan.
Hanya diam di rumah yang sepi. Bingun harus pergi kemana untuk bosa
bersenang-senang. Mmm…, main ke mana ya?
Oh, ya. Bagaimana kalau main ke
hutan yang ada di seberang. Di sana, banyak ppohon yang enak untuk disandari
dan mungkin bisa diajak curhat. Yah, walaupun pohon tak dapat berbicara.
“Assalamu’alaikum ya, umi, abi.
Nanti, aku akan pulang secepatnya!”
Aku pun pergi. Meski sudah pamit
kepada kwdua orang tua namun, aku tak memberi tahu kemana akan pergi. Sebelum
orang tuaku menjawab salam, aku langsung pergi. Lari dengan penuh semangat!
Sampai di tujuan, aku merasa
merdeka. Ya, merdeka. Aku lihat pemandangan di sekeliling yang sangat indah. Masya Allah! Begitu indahnya ciptaanMu.
Menakjubkan. Pohon-pohon besar berdiri tegak seperti menutupi langit. Menjulang
tinggi seperti mau menangkap matahari. Baris berbaris rapi, seperti urutan puzzle yang tersusun seirama. Batangnya
besar berkulit cokelat tua.
Dengan daun muuda menggelayut di
ujung-ujung ranting yang tipis. Masing-masing pohon menyembulkan aroma harum
yang khas. Tidak seperti aroma minyak wangi orang-orang kota. Bukan juga aroma
misik dari pasar tradisional. Bukan juga aroma pabrik. Ini surge. Ya, ini
jelas-jelas aroma surga!
Dengan cepat aku langsung mencari
pohon berukuran besar. Berharap mudah dipanjat, tidak licin dan nyaman
bersandar di atasnya. Huff…, benar-benar tidak mudah. Tidak semudah laki-laki
dalam memanjat. Cukup menguras tenaga untuk bisa sampai ke tengah batang yang
menghimpit.
Kini, aku sudah berada di tengah
batang berukuran besar yang membentuk huruf Y. bersandar di sini seperti
bersndar di langit. Aku dengan leluasa bisa memandangi negeri bernama :
Indonesia.
Kesejukan mulai merayap di
sekujur tubuhku. Menembus pori-pori dan mulai menguasai jiwa. Oh, Rabb, betapa nikmatnya kesejukan ini.
Aku merasa nyaman di ketinggian ini. Ketinggian memberi pesan penting dalam
hidup. Bahwa, setinggi apapun kita kelak, tidak boleh lupa dengan yang di
bawah. Inilah yang akan memangkas kesombongan dari setiap diri.
Zzz…zzz…zzz…
Ops, sudah jam berapa ini?
Kesejukan ini meninabobokanku.
Hari ini benar-benar merasakan tidur di atas pohon. Seperti memeluk
gumpalan-gumpalan awan sebagai bantal dan langit sebagai selimut. Sampai lupa,
perut sudah mulai keroncong. Aku bergegas turun dari pohon. Sesampai di akar
pohon, terdengar suara benda jatuh. Ternyata, buah dari pohon ini ada yang
jatuh. Bergegas aku berpikir untuk memakannya.
“Tapi, kalau aku memakannya,
apakah akan disebut pencuri? Pohon, milik siapakah engkau ini? Sesungguhnya aku
lapar sekali.”
“Ambil dan makanlah, wahai
sahabatku,” jawab pohon.
“Aku tidak bisa, sahabat.”
“Ambil dan makanlah. Aku ikhlas.
Maafkan, aku hanya bisa memberumu buah ini saja sebagai tanda terima kasih.”
“Tidak. Akulah yang berterima
kasih. Hanya engkau yang memberikan perhatian padaku. Ketika ada ranting yang
tua di tubuhku, engkau yang memangkasnya karena takut ranting itu jatuh
mengenai orang lain. Ketika aku merasa layu, engkau memberiku air. Ketika aku butuh hidup, engkau memberiku
pupuk. Ketika aku butuh menjaga kerindangan, engkau memberiku perawatan. Ketika
aku kesepian, engkau datang menemani dan kita saling berbagi cerita. Semua yang
telah kau berikan padaku sangat mahal, wahai sahabatku. Tidak ternilai, meski
dengan ucapan terima kasih. Tapi, aku hanya bisa memberikan buahku sebagai
wujud terima kasihku.”
“Oke. Oke. Kalau begitu, kita
impas. Kita sama-sama berterima kasih.”
“Oke. Sepakat!”
“Sahabat, aku pulang dulu. Waktu
sudah sore. Umi dan abi pasti sudah menunggu. Aku tidak ingin membuat mereka
cemas.”
“Oke. Hati-hati di jalan,
sahabat.”
Aku peluk sahabatku. Kedua
tanganku nyaris tidak bisa melingkari badannya yang besar. Aku berikan usapan
sebagai tanda kasih sayang. Aku melangkah pergi, makin menjauh. Di ujung jalan yang berkelok, aku kembali
menoleh ke belakang. Aku melihat ia menangis. Daun-daun muda yang berada di
ujung menari-nari seperti melambaikan tangan.
Akku tahu, ia sedih karena
kesepian. Tapi, biarlah. Kesepian juga bagian dari hidup yang patut kita
nikmati. Bahkan, dalam kesepian ada banyak manfaat. Salah satunya, menulis
serita pendek ini. Aku langsung lari pulang ke rumah. Di jalan, aku selalu
berdoa agar umi dan abi tidak marah. Soal buah, ops iya, bagaimana soal buah kalau nanti ditanya?
“Assalamu’alaikum….”
“Alaikumsalam,” jawab umi yang
sedang menyapu pelantara rumah.
Selesai mengecup tangannya, aku
mengucap, “Umi, maafkan aku kalau aku agak telat pulangnya.” Umi tidak langsung
menjawab. Matanya tajam seperti mata para polisi penyelidik. Ya, pastinya, umi
sedang menyelidik. Kedua bola matanya menukik tajam ke bawah, lalu naik ke
tengah lalu ke atas.
Nyaris semua bagian tubuhku tidak
ada yang terlewatkan diselidikinya. Ia berjalan mengeliling, sambil terus
menyelidik. Sesekali ia mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku merasa, umi sedang
coba menajamkan penciumannya untuk mnguatkan hasil penyelidikan. Aku hanya diam
pada satu arah; terpaku. Layaknya patung dalam pajangan pameran seni rupa di
Taman Ismail Marzuki. Lalu, umi berhenti di depanku. Tersenyum. Alhamdulillah, syukurlah, aku puas dan
lega melihat Umi tersenyum.
“Apa yang kamu bawa, Nak?”
“Buah, Umi.”
“Dari mana kamu dapatkan buah
itu?”
“Pemberian seorang sahabat, Umi.”
“Sahabat! Sahabat…?”
Umi menekankan kata itu dua kali.
Sudah pasti, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya dan butuh jawaban
segera. Ini artinya, babak penyelidikan telah memasuki babak penyelidikan. Satu
tingkat lebih maju seperti dalam proses verbal di kepolisian. Lebih seru,
pastinya! Bisa lebih panas kalau nanti aku salah bicara.
“Ya, Umi. Dari sahabat.”
“Sahabat baru atau sahabat lama,
Nak?”
“Lama, Umi.”
“Sudah berapa lama kamu
mengenalnya?”
“Aku lupa, Umi. Yang pasti…”
“Lupa?”
Pertanyaan umi makin memburu.
Panas. Panas. Pastinya, umi sudah bersiap-siap untuk mulai melancarkan
serangan-serangan mematikan. Skak mat!
“Maaf, Umi, aku lupa. Seingatku,
ya sekitar setahun lalu.”
“Setahun?! S e t a h u n. waktu
yang cukup lama untuk anak sebelia kamu, Nak. Apakah umi mengenal sahabatmu
itu?”
“Sepertinya belum…”
“Dan, apakah kamu pernah membawanya kemari?”
“Belum…”
“Apakah kamu rela mengajak umi
bertemu dan berkenalan dengannya?”
“Baik…”
“Apakah dia teman sekolahmu atau
teman main?”
“Bukan…”
“Bagaimana kalian bisa berkenalan
dan di mana kalian berkenalan?”
“Kami…”
“Apakah dia laki-laki?”
“Dia…”
“Jelaskan pada umi, Nak. Jelaskan
dan jangan pernah takut.”
Umi menarik nafas panjang yang
berat. Kemudian membuangnya dengan perlahan. Seolah, gumpalan nafas itu telah
menggunung di dalam dada. Matanya menuding tajam, mengarah ke bola mataku.
Sesekali aku berani menatapnya, sesekali aku menunduk. Tapi, aku lebih memilih
menunduk sebagai rasa kasih dan hormat padanya. Aku yakin, ia sangat
menyintaiku sekalipun aku masih seperti patung pajangan di Museum Gajah.
“Namany, Rindang. Aku kenal
kira-kira setahun lebih. Aku senang kalau selalu dekat dengannya. Dia selalu
mengajaku. Dia sangat sederhana,apa adanya. Jujur. Gagah. Berwibawa. Bersih.
Dan,menyejukkan hari . aku selalu dipeluknya. Kami hanya butuh waktu dua jam
untuk bersama, tidak lebih dan itu sudah
lebih dari cukup. Kadang,kalau berada di dekatnya , aku selalu merasa ngantuk
sampai tertidur pulas. Aku benar-benar merasa nyaman bersamanya. Aku punya
kewajiban untuk selalu menjaga dan memeliharanya .’’
Dari jarak sekitar dua jengkal
telapak tangan gadis belia , Aku lihat badan umi gemeteran. Wajahnya memerah.
Bibirnya bergetaran, saling beradu seperti tidak kuat mengucapkan sepatah
katapun. Kedua bola matanya yang menusuk tajam mulai berkaca-kaca dan membendung
air.
Air yang semakin banyak membuat
pipinya basah. Pelan-pelan air it uterus meleleh. Umi masih berdiri di
hadapanku. Kami sama-sama terpaku. Diam. Tak bergerak sama sekali, sekalipun
ada seekor nyamuk yang hinggap atau ulat bulu yang mulai mendekati kaki. Kami,
saling memandang. Saling mengurai rasa welas
asih. Saling menerka-nerka. Saling menyelidik dan mulai menyelidik. Dengan
cepat, umi memelukku.
“Apa yang dia lakukan padamu,
Nak. Ceritakan pada umi. Ceritakan. Jangan takut, Nak. Jangan takut.”
“Dia hanya memberi kenyamanan
saja, Umi. Kalau bertemu, kami saling curhat saja. Tidak lebih. Baru kali ini
saja saya berani memeluknya. Pelukan itu saya berikan tadi saat kami mau
berpisah.”
“Maafkan umi, Nak. Maafkan umi
jika umi bersalah sampai tak bisa memberikan kenyamanan dan perhatian padamu.
Maafkan umi, Nak.”
Pelukan umi semakin kuat.
Tangisannya semakin menjadi-jadi. Air matanya telah membasahi kerudung yang aku
kenakan. Badan umi makin gemetaran. Sesenggukan hebat yang baru aku saksikan
dari seorang ibu. Aku ikut larut dalam keadaan itu. Aku pun menangis.
Memeluknya dengan sangat erat.
Aku merasa bersalah telah bercerita apa adanya. Di lain sisi, aku benar-benar
bingung akan jalan cerita ini dan aku masih bertanya-tanya dalam hati perihal
apa yang salah dari kejujuran ceritaku ini. Aneh.
“Apalagi yang dia lakukan padamu,
Nak. Apalagi?!”
Kedua telapak tangan umi yang
sangat lembut menekan kedua pipiku. Matanya menancap tajam ke kedua bola mataku
yang terus melelehkan air mata.
Sebuah tatapan yang makin
menyidik untuk dan menanti sebuah jawaban yang sesingkat-singkatnya dan
secepat-cepatnya. Hatinya benar-benar sedang dalam kegundahan yang amat sangat.
Was-was. Menduga-duga. Menyimpan banyak asumsi-asumsi. Cemas. Bersiap-siap
melakukan tindakan selanjutnya jika terjadi ini atau terjadi itu.
“Hanya saling bercerita, curhat,
memeluk, dan aku tiduran dan aku menyayanginya. Dia pun melakukan hal yang
sama, Umi.” Umi melepaskan kedua tangannya. Ia menjauh sejarak satu meter, tapi
tetap berdiri di hadapanku.
“Ya Allah. Ya Allah, ya Rabb. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Anakku, anakku.
Apa yang telah kau lakukan? Apa yang kalian lakukan? Allah melihat semua
tindakan kita, Nak. Allah mendengar, Nak. Apakah kalian tidak takut pada azab
Allah yang sangat pedih dan perih? Ya, Allah, ampuni aku sebagai ibunya. Ampuni
aku, ya Allah. Ampuni anakku ya Allah. Ampuni.”
“Ya, Allah. Umi, umi. Umi kenapa?
Ada apa, Umi?”
“Aku yang seharusnya bertanya
padamu, Nak. Kenapa kau melakukan itu semua?”
“Melakukan apa, Umi?”
“Astaghfirullah. Apakah kau tidak menyadari apa yang telah kau
ceritakan tadi?”
“Ya Allah, Umi. Maafkan aku. Aku
akan menjelaskan kembali pada umi. Sebenarnya…”
“Penjelasan apalagi, Nak.
Penjelasan apalagi yang akan kau berikan, atau, jangan-jangan kau ingin
melakukan pembelaan, bukan penjelasan. Semua penjelasan yang tadi kamu
sampaikan sudah sangat cukup. Lebih dari cukup. Aku tidak kuat lagi untuk
mendengarkan penjelasan-penjelasan lainnya.”
“Umi, tolong. Dengarkan aku dulu!”
“Cukup! Cukup! Umi sudah tidak
kuat lagi mendengarnya. Umi akan menelepon abi dan berharap kamu mau bekerja
sama untuk menemukan lelaki itu.”
“Lelaki? Lelaki mana, Umi? Lelaki
yang mana? Siapa, Umi?”
“Umi sudah menduga kuat kalau
kamu bukan akan memberikan penjelasan melainkan pembelaan. Umi tidak akan
terpengaruh. Omongan pertama itu adalah yang paling jujur. Umi akan menelepon
abi sekarang!”
Umi bergerak cepat meraih handphone di atas meja computer. Dengan
kondisi tangan gemetaran, jari-jarinya memijit nomor. Jari-jari itu Nampak tegang dan kaku.
Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemetaran hebat sambil menunggu nada sambung.
Sesekali bibir itu dilipat kuat-kuat, sesekali dibiarkan gemetaran. Posisi
tubuhnya tidak menentu. Kadang berjalan, kadang diam, kadang berputar ke kiri,
kanan dan kadang duduk lalu berdiri lagi. Sebuah kecemasan-kecemasan yang juga
membuat aku cemas.
Ini tidak biasanya terjadi. Dan,
ini tidak boleh terjadi. Pasti ada yang salah dari ceritaku. Pasti! Tapi, kalau
sudah dalam kondisi menegangkan seperti ini,
bagaimana aku bisa mengembalikan ke semula? Ya Allah, bagaimana caranya?
Sepertinya, telepon sudah
tersambung. Umi berlari masuk ke kamar. Ini bagian dari upaya untuk menghindari
percakapannya dengan abi diketahui olehku. Umi benar-benar sedang cemas.
Bahkan, sampai level ketakutan. Aku bisa menangkap gelagat itu dan
mengetahuinya, karena dia ibuku. Kasihan umi. Kasihan.
Aku masih berdiri di balik daun
pintu yang terbuka setengah. Udara sore hari mulai membalut badan. Ops, lupa,
salat asar! Cepat-cepat aku menuju kamar. Mandi dang anti pakaian. Pakaian
kotor yang tadi aku kenakan diletakkan di keranjang dekat kamar. Ini biasanya
dilakukan sebagai bagian dari pendidikan kedisiplinan dan kebersihan. Selesai
mandi dan wudhu, aku langsung salat. Aku berdoa dengan doa-doa yang panjang.
Salah satunya, berharap agar umi
dan abi baik-baik saja. Terlebih, tidak ada salah persepsi dari ceritaku tadi.
Terlebih, tidak ada kekeliruan dalam tafsir umajinasi. Di lain sisi, kalaupun
terjadi kekeliruan dalam tafsir imajinasi, itu artinya aku telah sukses. Ya,
sukse!
Sukses dalam merangkai imajinasi
yang kemudian dituangkan menjadi tulisan-tulisan pendek, puisi atau novel.
Maklum, aku sedang belajar menjadi seoranng penulis. Guru yang mengajariku
mengatakan, pentingnya untuk menjaga imajinasi. Sebuah tulisan harus memiliki
daya imajinasi yang jujur.
Daya imajinasi yang jujur akan
melahirkan energy yang luar biasa hebatnya. Dengan begitu, pembaca bisa
terhipnotis oleh tulisan-tulisan kita. Kalau sudah terhipnotis, pembaca akan
melakukan apa saja yang kita inginkan melalui pesan dalam tulisan.
Jika pembaca sudah candu, itulah
tanda-tandanya menjadi penulis sukses.
Kalau ini terjadi daan dialami oleh umi, di lain sisi, aku telah sukses.
Paling tidak, sukses dalam bercerita jujur.
Jujur dalam sisi yang berbeda
karena ada daya imajinasi yang mampu menghipnotis orang yang mendengarnya. Ini
sebenarnya tidak disadari. Refleks, begitu kata ahli beladiri! Kalau itu
terjadi, maafkan aku, Umi. Maafkan.
Benar saja. Tepat jam setengah
enam. Pintu kamarku diketuk. Aku membuka. Ow, rupanya abi dan, Nampak umi
berdiri di belakangnya.
“Assalamu’alaikum.”
“Alaikumsalam,” jawabku.
Abi selalu saja sama. Dengan
wajah teduhnya, ia menebar senyum. Ada pesan teramat dalam yang hendak
disampaikannya. Pesan yang masih rahasia, entahlah apa isinya. Aku menyilahkan
keduanya masuk. Kami duduk berhadap-hadapan beralaskan kasur lantai. Abi belum
membuka percakapan. Umi sudah menampakan kegundahannya. Abi menatapku terus,
ddengan tatapan penuh kearifan dan welas
asih.
Ia masih saja tersenyum damai.
Senyuman yang begitu indah seperti bulan purnama. Matanya menyipit seperti coba
menyelidik dengan selidikan yang sangat halus.
Gaya penyelidikansekelas seorang
jenderal intelejen.orang yang tidak peka tentunya tidak akan tahu bahwa abi
sedang menyelidik, membaca situasi psikologis lawan bicaranya dan coba
meneropong lebih jauh batin dari lawan bicaranya. Benar! Benar kata guru
jurnalistikku. Rupanya, ini yang dinakmakan komunikasi interpersonal. Bernar
sekali.
“Apa yang kau ketahui tentang
Allah, anakku?”
Gila! Ini pertanyaan
bersayap yang sangat luar biasa
dalamnya. Pertanyaan seharusnya diajukan oleh seorang filsuf sebelum masa
renaissance. Sebagai calon jurnalis dan penulis muda, aku menyebut ini kalimat
bersayap. Sebuah pertanyaan dasar yang ujungnya dapat menjebak. Ini biasanya
dilakukan oleh jurnalis investigasi dalam menguak sebuah data yang sulit
diungkap.
Tapi, dari mana abi bisa tahu
gaya pertanyaan seperti ini. Setahuku, abi bukan mantan wartawan. Ah, sudahlah.
Ikuti saja alurnya maka, akan ketemu bagaimana akhir ceritanya. Itu kunci
menjadi pembaca yang baik, begitu kata guruku.
“Allah segalanya, Abi. Begitu
dekat bahkan, lebih dekat dari urat leher kita. Sebaik-baiknya saksi dalam
setiap muamalah dan perniagaan. Maha melihat dan maha mendengar.”
“Apa yang kau ketahui tentang
islam, anakku?”
“Agama yang benar. Diridhai.
Jalan hidup. Hokum hidup dan kehidupan.”
“Apa yang kau ketahui tentang
nama baik keluarga, anakku?”
Benar saja! Ini dia yang
kumaksud. Dengan ujung menjebak itu. Aku perhatikan, abi selalu tenang dan
selalu menahan senyumannya dalam kontur bibir yang tetap sama. Bibir itu tidak
bergerak sama sekali. Terkatup. Aku perhatikan, umi terus melelehkan air matanya.
Berkali-kali coba menarik nafas panjang yang berat dan menghempaskannya
perlahan-lahan seperti mengatur ritme nafas dalam Tai chi.
Di depan umi, tergeletak pakaian
kotor yang tadi aku taruh ke dalam keranjang. Aku menduga kuat, pakaian kotorku
menjadi barang bukti penyelidikan umi dan abi.
“Aku harus menjaganya.
Sebaik-baiknya. Sejujurnya. Keluarga adalah madrasah pertama. Keluarga menjadi
cermin keberhasilan mengajarkan ajaran agama.”
“Apa yang kamu ketahui tentang
dirimu saat ini, tentang umi dan abi terhadapmu?”
100 persen benar-benar terjadi.
Ujung yang menjebak! Kini, saatnya aku mengambil alih kemudi dari alur cerita
ini. Agar tidak terlalu jauh dalam menafsirkannya. Saatnya.
“Abi, Alhamdulillah, diriku
baik-baik saja. Tidak kurang satu apapun, tidak rusak satu apapun, tidak luka
satu apapun. Tentang abi dan umi, insya Allah aku sangat mengetahuinya. Abi dan
umi saat ini sedang menantikan penjelasan dariku terkait tadi sore. Sebelumnya,
aku minta maaf sebesar-besarnya pada abi dan umi jika aku berbuat salah baik
dalam sikap maupun ucapan…”
Tiba-tiba umi berdiri dan pergi
meninggalkan kamar. Entah kenapa da nada apa. Semula, aku mengira kalau umi
meninggalkan kamar karena tidak kuat jika mendengar penjelasanku. Ini artinya,
umi telah memiliki asumsi kuat kalau anaknya sedang dalam masalah pelik.
Tapi tak lama, pintu terbuka
lagi. Umi masuk ke dalam dan mengatakan dengan nada lirih, “Abi, ada Pak Lurah
datang berkunjung. Mau silaturahmi dengan abi, katanya.”
“Baik. Terima kasih, Umi. Abi
akan menemuinya.”
Abi menarik nafas panjang yang
berat, lalu tidak namapak ia menghempaskannya kembali. Aneh. Ini jarang
terjadi. Ini artinya, ada banyak gumpalan masalah berkecamuk dalam pikirannya.
Ada banyak susunan pertanyaan-pertanyaan yang belum dilontarkan. Belum
menemukan kepuasan dalam mencari solusi dari masalah yang diduganya pelik.
“Abi…”
“Maaf, nanti kita sambung lagi,
anakku,” sela abi sambil menyelipkan senyum meneduhkan.
“Ya, Abi. Terima kasih.”
Abi dan umi pergi meningalkan
kamar. Terselip rasa berdosa di hati ini pada keduanya. Aku seolah seperti
sedang mempermainkan perasaan mereka. Aku lupa bahwa kekacawan pikiran dan
kegundahan hati tentulah sangat berpengaruh pada kondisi fisik seseorang.
Apapun alasannya, aku merasa bersalah pada keduanya. Aku memliki tugas berat
kali ini, baik pada umi dan abi juga para pembaca, yaitu : meleruskan ide
cerita ini dan menjelaskannya di bulan depan.
THE END
0 comments:
Post a Comment