Tuesday, November 25, 2014

cerpen _ Maafkan aku, umi!


Suatu hari, aku merasa bosan. Hanya diam di rumah yang sepi. Bingun harus pergi kemana untuk bosa bersenang-senang. Mmm…, main ke mana ya?
Oh, ya. Bagaimana kalau main ke hutan yang ada di seberang. Di sana, banyak ppohon yang enak untuk disandari dan mungkin bisa diajak curhat. Yah, walaupun pohon tak dapat berbicara.
“Assalamu’alaikum ya, umi, abi. Nanti, aku akan pulang secepatnya!”
Aku pun pergi. Meski sudah pamit kepada kwdua orang tua namun, aku tak memberi tahu kemana akan pergi. Sebelum orang tuaku menjawab salam, aku langsung pergi. Lari dengan penuh semangat!
Sampai di tujuan, aku merasa merdeka. Ya, merdeka. Aku lihat pemandangan di sekeliling yang sangat indah. Masya Allah! Begitu indahnya ciptaanMu. Menakjubkan. Pohon-pohon besar berdiri tegak seperti menutupi langit. Menjulang tinggi seperti mau menangkap matahari. Baris berbaris rapi, seperti urutan puzzle yang tersusun seirama. Batangnya besar berkulit cokelat tua.
Dengan daun muuda menggelayut di ujung-ujung ranting yang tipis. Masing-masing pohon menyembulkan aroma harum yang khas. Tidak seperti aroma minyak wangi orang-orang kota. Bukan juga aroma misik dari pasar tradisional. Bukan juga aroma pabrik. Ini surge. Ya, ini jelas-jelas aroma surga!
Dengan cepat aku langsung mencari pohon berukuran besar. Berharap mudah dipanjat, tidak licin dan nyaman bersandar di atasnya. Huff…, benar-benar tidak mudah. Tidak semudah laki-laki dalam memanjat. Cukup menguras tenaga untuk bisa sampai ke tengah batang yang menghimpit.
Kini, aku sudah berada di tengah batang berukuran besar yang membentuk huruf Y. bersandar di sini seperti bersndar di langit. Aku dengan leluasa bisa memandangi negeri bernama : Indonesia.
Kesejukan mulai merayap di sekujur tubuhku. Menembus pori-pori dan mulai menguasai jiwa. Oh, Rabb, betapa nikmatnya kesejukan ini. Aku merasa nyaman di ketinggian ini. Ketinggian memberi pesan penting dalam hidup. Bahwa, setinggi apapun kita kelak, tidak boleh lupa dengan yang di bawah. Inilah yang akan memangkas kesombongan dari setiap diri.
Zzz…zzz…zzz…
Ops, sudah jam berapa ini?
Kesejukan ini meninabobokanku. Hari ini benar-benar merasakan tidur di atas pohon. Seperti memeluk gumpalan-gumpalan awan sebagai bantal dan langit sebagai selimut. Sampai lupa, perut sudah mulai keroncong. Aku bergegas turun dari pohon. Sesampai di akar pohon, terdengar suara benda jatuh. Ternyata, buah dari pohon ini ada yang jatuh. Bergegas aku berpikir untuk memakannya.
“Tapi, kalau aku memakannya, apakah akan disebut pencuri? Pohon, milik siapakah engkau ini? Sesungguhnya aku lapar sekali.”
“Ambil dan makanlah, wahai sahabatku,” jawab pohon.
“Aku tidak bisa, sahabat.”
“Ambil dan makanlah. Aku ikhlas. Maafkan, aku hanya bisa memberumu buah ini saja sebagai tanda terima kasih.”
“Tidak. Akulah yang berterima kasih. Hanya engkau yang memberikan perhatian padaku. Ketika ada ranting yang tua di tubuhku, engkau yang memangkasnya karena takut ranting itu jatuh mengenai orang lain. Ketika aku merasa layu, engkau memberiku air.  Ketika aku butuh hidup, engkau memberiku pupuk. Ketika aku butuh menjaga kerindangan, engkau memberiku perawatan. Ketika aku kesepian, engkau datang menemani dan kita saling berbagi cerita. Semua yang telah kau berikan padaku sangat mahal, wahai sahabatku. Tidak ternilai, meski dengan ucapan terima kasih. Tapi, aku hanya bisa memberikan buahku sebagai wujud terima kasihku.”
“Oke. Oke. Kalau begitu, kita impas. Kita sama-sama berterima kasih.”
“Oke. Sepakat!”
“Sahabat, aku pulang dulu. Waktu sudah sore. Umi dan abi pasti sudah menunggu. Aku tidak ingin membuat mereka cemas.”
“Oke. Hati-hati di jalan, sahabat.”
Aku peluk sahabatku. Kedua tanganku nyaris tidak bisa melingkari badannya yang besar. Aku berikan usapan sebagai tanda kasih sayang. Aku melangkah pergi, makin menjauh.  Di ujung jalan yang berkelok, aku kembali menoleh ke belakang. Aku melihat ia menangis. Daun-daun muda yang berada di ujung menari-nari seperti melambaikan tangan.
Akku tahu, ia sedih karena kesepian. Tapi, biarlah. Kesepian juga bagian dari hidup yang patut kita nikmati. Bahkan, dalam kesepian ada banyak manfaat. Salah satunya, menulis serita pendek ini. Aku langsung lari pulang ke rumah. Di jalan, aku selalu berdoa agar umi dan abi tidak marah. Soal buah, ops iya, bagaimana soal buah kalau nanti ditanya?
“Assalamu’alaikum….”
“Alaikumsalam,” jawab umi yang sedang menyapu pelantara rumah.
Selesai mengecup tangannya, aku mengucap, “Umi, maafkan aku kalau aku agak telat pulangnya.” Umi tidak langsung menjawab. Matanya tajam seperti mata para polisi penyelidik. Ya, pastinya, umi sedang menyelidik. Kedua bola matanya menukik tajam ke bawah, lalu naik ke tengah lalu ke atas.
Nyaris semua bagian tubuhku tidak ada yang terlewatkan diselidikinya. Ia berjalan mengeliling, sambil terus menyelidik. Sesekali ia mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku merasa, umi sedang coba menajamkan penciumannya untuk mnguatkan hasil penyelidikan. Aku hanya diam pada satu arah; terpaku. Layaknya patung dalam pajangan pameran seni rupa di Taman Ismail Marzuki. Lalu, umi berhenti di depanku. Tersenyum. Alhamdulillah, syukurlah, aku puas dan lega melihat Umi tersenyum.
“Apa yang kamu bawa, Nak?”
“Buah, Umi.”
“Dari mana kamu dapatkan buah itu?”
“Pemberian seorang sahabat, Umi.”
“Sahabat! Sahabat…?”
Umi menekankan kata itu dua kali. Sudah pasti, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya dan butuh jawaban segera. Ini artinya, babak penyelidikan telah memasuki babak penyelidikan. Satu tingkat lebih maju seperti dalam proses verbal di kepolisian. Lebih seru, pastinya! Bisa lebih panas kalau nanti aku salah bicara.
“Ya, Umi. Dari sahabat.”
“Sahabat baru atau sahabat lama, Nak?”
“Lama, Umi.”
“Sudah berapa lama kamu mengenalnya?”
“Aku lupa, Umi. Yang pasti…”
“Lupa?”
Pertanyaan umi makin memburu. Panas. Panas. Pastinya, umi sudah bersiap-siap untuk mulai melancarkan serangan-serangan mematikan. Skak mat!
“Maaf, Umi, aku lupa. Seingatku, ya sekitar setahun lalu.”
“Setahun?! S e t a h u n. waktu yang cukup lama untuk anak sebelia kamu, Nak. Apakah umi mengenal sahabatmu itu?”
“Sepertinya belum…”
“Dan, apakah kamu pernah  membawanya kemari?”
“Belum…”
“Apakah kamu rela mengajak umi bertemu dan berkenalan dengannya?”
“Baik…”
“Apakah dia teman sekolahmu atau teman main?”
“Bukan…”
“Bagaimana kalian bisa berkenalan dan di mana kalian berkenalan?”
“Kami…”
“Apakah dia laki-laki?”
“Dia…”
“Jelaskan pada umi, Nak. Jelaskan dan jangan pernah takut.”
Umi menarik nafas panjang yang berat. Kemudian membuangnya dengan perlahan. Seolah, gumpalan nafas itu telah menggunung di dalam dada. Matanya menuding tajam, mengarah ke bola mataku. Sesekali aku berani menatapnya, sesekali aku menunduk. Tapi, aku lebih memilih menunduk sebagai rasa kasih dan hormat padanya. Aku yakin, ia sangat menyintaiku sekalipun aku masih seperti patung pajangan di Museum Gajah.
“Namany, Rindang. Aku kenal kira-kira setahun lebih. Aku senang kalau selalu dekat dengannya. Dia selalu mengajaku. Dia sangat sederhana,apa adanya. Jujur. Gagah. Berwibawa. Bersih. Dan,menyejukkan hari . aku selalu dipeluknya. Kami hanya butuh waktu dua jam untuk bersama,  tidak lebih dan itu sudah lebih dari cukup. Kadang,kalau berada di dekatnya , aku selalu merasa ngantuk sampai tertidur pulas. Aku benar-benar merasa nyaman bersamanya. Aku punya kewajiban untuk selalu menjaga dan memeliharanya .’’
Dari jarak sekitar dua jengkal telapak tangan gadis belia , Aku lihat badan umi gemeteran. Wajahnya memerah. Bibirnya bergetaran, saling beradu seperti tidak kuat mengucapkan sepatah katapun. Kedua bola matanya yang menusuk tajam mulai berkaca-kaca dan membendung air.
Air yang semakin banyak membuat pipinya basah. Pelan-pelan air it uterus meleleh. Umi masih berdiri di hadapanku. Kami sama-sama terpaku. Diam. Tak bergerak sama sekali, sekalipun ada seekor nyamuk yang hinggap atau ulat bulu yang mulai mendekati kaki. Kami, saling memandang. Saling mengurai rasa welas asih. Saling menerka-nerka. Saling menyelidik dan mulai menyelidik. Dengan cepat, umi memelukku.
“Apa yang dia lakukan padamu, Nak. Ceritakan pada umi. Ceritakan. Jangan takut, Nak. Jangan takut.”
“Dia hanya memberi kenyamanan saja, Umi. Kalau bertemu, kami saling curhat saja. Tidak lebih. Baru kali ini saja saya berani memeluknya. Pelukan itu saya berikan tadi saat kami mau berpisah.”
“Maafkan umi, Nak. Maafkan umi jika umi bersalah sampai tak bisa memberikan kenyamanan dan perhatian padamu. Maafkan umi, Nak.”
Pelukan umi semakin kuat. Tangisannya semakin menjadi-jadi. Air matanya telah membasahi kerudung yang aku kenakan. Badan umi makin gemetaran. Sesenggukan hebat yang baru aku saksikan dari seorang ibu. Aku ikut larut dalam keadaan itu. Aku pun menangis.
Memeluknya dengan sangat erat. Aku merasa bersalah telah bercerita apa adanya. Di lain sisi, aku benar-benar bingung akan jalan cerita ini dan aku masih bertanya-tanya dalam hati perihal apa yang salah dari kejujuran ceritaku ini. Aneh.
“Apalagi yang dia lakukan padamu, Nak. Apalagi?!”
Kedua telapak tangan umi yang sangat lembut menekan kedua pipiku. Matanya menancap tajam ke kedua bola mataku yang terus melelehkan air mata.
Sebuah tatapan yang makin menyidik untuk dan menanti sebuah jawaban yang sesingkat-singkatnya dan secepat-cepatnya. Hatinya benar-benar sedang dalam kegundahan yang amat sangat. Was-was. Menduga-duga. Menyimpan banyak asumsi-asumsi. Cemas. Bersiap-siap melakukan tindakan selanjutnya jika terjadi ini atau terjadi itu.
“Hanya saling bercerita, curhat, memeluk, dan aku tiduran dan aku menyayanginya. Dia pun melakukan hal yang sama, Umi.” Umi melepaskan kedua tangannya. Ia menjauh sejarak satu meter, tapi tetap berdiri di hadapanku.
“Ya Allah. Ya Allah, ya Rabb. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Anakku, anakku. Apa yang telah kau lakukan? Apa yang kalian lakukan? Allah melihat semua tindakan kita, Nak. Allah mendengar, Nak. Apakah kalian tidak takut pada azab Allah yang sangat pedih dan perih? Ya, Allah, ampuni aku sebagai ibunya. Ampuni aku, ya Allah. Ampuni anakku ya Allah. Ampuni.”
“Ya, Allah. Umi, umi. Umi kenapa? Ada apa, Umi?”
“Aku yang seharusnya bertanya padamu, Nak. Kenapa kau melakukan itu semua?”
“Melakukan apa, Umi?”
Astaghfirullah. Apakah kau tidak menyadari apa yang telah kau ceritakan tadi?”
“Ya Allah, Umi. Maafkan aku. Aku akan menjelaskan kembali pada umi. Sebenarnya…”
“Penjelasan apalagi, Nak. Penjelasan apalagi yang akan kau berikan, atau, jangan-jangan kau ingin melakukan pembelaan, bukan penjelasan. Semua penjelasan yang tadi kamu sampaikan sudah sangat cukup. Lebih dari cukup. Aku tidak kuat lagi untuk mendengarkan penjelasan-penjelasan lainnya.”
 “Umi, tolong. Dengarkan aku dulu!”
“Cukup! Cukup! Umi sudah tidak kuat lagi mendengarnya. Umi akan menelepon abi dan berharap kamu mau bekerja sama untuk menemukan lelaki itu.”
“Lelaki? Lelaki mana, Umi? Lelaki yang mana? Siapa, Umi?”
“Umi sudah menduga kuat kalau kamu bukan akan memberikan penjelasan melainkan pembelaan. Umi tidak akan terpengaruh. Omongan pertama itu adalah yang paling jujur. Umi akan menelepon abi sekarang!”
Umi bergerak cepat meraih handphone di atas meja computer. Dengan kondisi tangan gemetaran, jari-jarinya memijit nomor.  Jari-jari itu Nampak tegang dan kaku. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemetaran hebat sambil menunggu nada sambung. Sesekali bibir itu dilipat kuat-kuat, sesekali dibiarkan gemetaran. Posisi tubuhnya tidak menentu. Kadang berjalan, kadang diam, kadang berputar ke kiri, kanan dan kadang duduk lalu berdiri lagi. Sebuah kecemasan-kecemasan yang juga membuat aku cemas.
Ini tidak biasanya terjadi. Dan, ini tidak boleh terjadi. Pasti ada yang salah dari ceritaku. Pasti! Tapi, kalau sudah dalam kondisi menegangkan seperti ini,  bagaimana aku bisa mengembalikan ke semula? Ya Allah, bagaimana caranya?
Sepertinya, telepon sudah tersambung. Umi berlari masuk ke kamar. Ini bagian dari upaya untuk menghindari percakapannya dengan abi diketahui olehku. Umi benar-benar sedang cemas. Bahkan, sampai level ketakutan. Aku bisa menangkap gelagat itu dan mengetahuinya, karena dia ibuku. Kasihan umi. Kasihan.
Aku masih berdiri di balik daun pintu yang terbuka setengah. Udara sore hari mulai membalut badan. Ops, lupa, salat asar! Cepat-cepat aku menuju kamar. Mandi dang anti pakaian. Pakaian kotor yang tadi aku kenakan diletakkan di keranjang dekat kamar. Ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari pendidikan kedisiplinan dan kebersihan. Selesai mandi dan wudhu, aku langsung salat. Aku berdoa dengan doa-doa yang panjang.
Salah satunya, berharap agar umi dan abi baik-baik saja. Terlebih, tidak ada salah persepsi dari ceritaku tadi. Terlebih, tidak ada kekeliruan dalam tafsir umajinasi. Di lain sisi, kalaupun terjadi kekeliruan dalam tafsir imajinasi, itu artinya aku telah sukses. Ya, sukse!
Sukses dalam merangkai imajinasi yang kemudian dituangkan menjadi tulisan-tulisan pendek, puisi atau novel. Maklum, aku sedang belajar menjadi seoranng penulis. Guru yang mengajariku mengatakan, pentingnya untuk menjaga imajinasi. Sebuah tulisan harus memiliki daya imajinasi yang jujur.
Daya imajinasi yang jujur akan melahirkan energy yang luar biasa hebatnya. Dengan begitu, pembaca bisa terhipnotis oleh tulisan-tulisan kita. Kalau sudah terhipnotis, pembaca akan melakukan apa saja yang kita inginkan melalui pesan dalam tulisan.
Jika pembaca sudah candu, itulah tanda-tandanya menjadi penulis sukses.  Kalau ini terjadi daan dialami oleh umi, di lain sisi, aku telah sukses. Paling tidak, sukses dalam bercerita jujur.
Jujur dalam sisi yang berbeda karena ada daya imajinasi yang mampu menghipnotis orang yang mendengarnya. Ini sebenarnya tidak disadari. Refleks, begitu kata ahli beladiri! Kalau itu terjadi, maafkan aku, Umi. Maafkan.
Benar saja. Tepat jam setengah enam. Pintu kamarku diketuk. Aku membuka. Ow, rupanya abi dan, Nampak umi berdiri di belakangnya.
“Assalamu’alaikum.”
“Alaikumsalam,” jawabku.
Abi selalu saja sama. Dengan wajah teduhnya, ia menebar senyum. Ada pesan teramat dalam yang hendak disampaikannya. Pesan yang masih rahasia, entahlah apa isinya. Aku menyilahkan keduanya masuk. Kami duduk berhadap-hadapan beralaskan kasur lantai. Abi belum membuka percakapan. Umi sudah menampakan kegundahannya. Abi menatapku terus, ddengan tatapan penuh kearifan dan welas asih.
Ia masih saja tersenyum damai. Senyuman yang begitu indah seperti bulan purnama. Matanya menyipit seperti coba menyelidik dengan selidikan yang sangat halus.
Gaya penyelidikansekelas seorang jenderal intelejen.orang yang tidak peka tentunya tidak akan tahu bahwa abi sedang menyelidik, membaca situasi psikologis lawan bicaranya dan coba meneropong lebih jauh batin dari lawan bicaranya. Benar! Benar kata guru jurnalistikku. Rupanya, ini yang dinakmakan komunikasi interpersonal. Bernar sekali.
“Apa yang kau ketahui tentang Allah, anakku?”
Gila! Ini pertanyaan bersayap  yang sangat luar biasa dalamnya. Pertanyaan seharusnya diajukan oleh seorang filsuf sebelum masa renaissance. Sebagai calon jurnalis dan penulis muda, aku menyebut ini kalimat bersayap. Sebuah pertanyaan dasar yang ujungnya dapat menjebak. Ini biasanya dilakukan oleh jurnalis investigasi dalam menguak sebuah data yang sulit diungkap.
Tapi, dari mana abi bisa tahu gaya pertanyaan seperti ini. Setahuku, abi bukan mantan wartawan. Ah, sudahlah. Ikuti saja alurnya maka, akan ketemu bagaimana akhir ceritanya. Itu kunci menjadi pembaca yang baik, begitu kata guruku.
“Allah segalanya, Abi. Begitu dekat bahkan, lebih dekat dari urat leher kita. Sebaik-baiknya saksi dalam setiap muamalah dan perniagaan. Maha melihat dan maha mendengar.”
“Apa yang kau ketahui tentang islam, anakku?”
“Agama yang benar. Diridhai. Jalan hidup. Hokum hidup dan kehidupan.”
“Apa yang kau ketahui tentang nama baik keluarga, anakku?”
Benar saja! Ini dia yang kumaksud. Dengan ujung menjebak itu. Aku perhatikan, abi selalu tenang dan selalu menahan senyumannya dalam kontur bibir yang tetap sama. Bibir itu tidak bergerak sama sekali. Terkatup. Aku perhatikan, umi terus melelehkan air matanya. Berkali-kali coba menarik nafas panjang yang berat dan menghempaskannya perlahan-lahan seperti mengatur ritme nafas dalam Tai chi.
Di depan umi, tergeletak pakaian kotor yang tadi aku taruh ke dalam keranjang. Aku menduga kuat, pakaian kotorku menjadi barang bukti penyelidikan umi dan abi.
“Aku harus menjaganya. Sebaik-baiknya. Sejujurnya. Keluarga adalah madrasah pertama. Keluarga menjadi cermin keberhasilan mengajarkan ajaran agama.”
“Apa yang kamu ketahui tentang dirimu saat ini, tentang umi dan abi terhadapmu?”
100 persen benar-benar terjadi. Ujung yang menjebak! Kini, saatnya aku mengambil alih kemudi dari alur cerita ini. Agar tidak terlalu jauh dalam menafsirkannya. Saatnya.
“Abi, Alhamdulillah, diriku baik-baik saja. Tidak kurang satu apapun, tidak rusak satu apapun, tidak luka satu apapun. Tentang abi dan umi, insya Allah aku sangat mengetahuinya. Abi dan umi saat ini sedang menantikan penjelasan dariku terkait tadi sore. Sebelumnya, aku minta maaf sebesar-besarnya pada abi dan umi jika aku berbuat salah baik dalam sikap maupun ucapan…”
Tiba-tiba umi berdiri dan pergi meninggalkan kamar. Entah kenapa da nada apa. Semula, aku mengira kalau umi meninggalkan kamar karena tidak kuat jika mendengar penjelasanku. Ini artinya, umi telah memiliki asumsi kuat kalau anaknya sedang dalam masalah pelik.
Tapi tak lama, pintu terbuka lagi. Umi masuk ke dalam dan mengatakan dengan nada lirih, “Abi, ada Pak Lurah datang berkunjung. Mau silaturahmi dengan abi, katanya.”
“Baik. Terima kasih, Umi. Abi akan menemuinya.”
Abi menarik nafas panjang yang berat, lalu tidak namapak ia menghempaskannya kembali. Aneh. Ini jarang terjadi. Ini artinya, ada banyak gumpalan masalah berkecamuk dalam pikirannya. Ada banyak susunan pertanyaan-pertanyaan yang belum dilontarkan. Belum menemukan kepuasan dalam mencari solusi dari masalah yang diduganya pelik.
“Abi…”
“Maaf, nanti kita sambung lagi, anakku,” sela abi sambil menyelipkan senyum meneduhkan.
“Ya, Abi. Terima kasih.”
Abi dan umi pergi meningalkan kamar. Terselip rasa berdosa di hati ini pada keduanya. Aku seolah seperti sedang mempermainkan perasaan mereka. Aku lupa bahwa kekacawan pikiran dan kegundahan hati tentulah sangat berpengaruh pada kondisi fisik seseorang. Apapun alasannya, aku merasa bersalah pada keduanya. Aku memliki tugas berat kali ini, baik pada umi dan abi juga para pembaca, yaitu : meleruskan ide cerita ini dan menjelaskannya di bulan depan.
THE END



0 comments:

Post a Comment

 
;