Tuesday, November 25, 2014

cerpen _ SARUNG, GULING DAN TIKAR


Tak terasa, sekian lama aku sekolah di pondok Ar-rahman Rabani ini.kini telah tiba saat-saat terakhir untuk aku dan teman-teman seangkatanku. Mencari ilmu di pondok yang sangat ramai dengan aktifitas para santriwati.
Kebetulan di pondok yang aku singgahi ini, hanya untuk para santri putri saja. Dan untuk santri putra berbeda pondok dengan kami.
Dari ribuan santri dan santriwati yang berpondok di pesantren ini, banyak sekali komentar mereka mengenai pondok ini. Akan tetapi , yang lebih popular adalah “ Pondok ini sangatlah bermakna bagi kami. Karena di pondok ini, yang tadinya tidak memiliki tujuan, kini ia memilikinya. Dan yang telah memiliki tujuan, kini mereka sudah mahir pemahamannya”. Begitulah komentar dari para santri.
Sangat sedih rasanya, ketika aku harus berpisah dengan kawan-kawan seperjuanganku. Memang sangat menyenangkan ketika aku akan menjadi calon alumnus. Tapi, ketika aku harus berpisah dengan para santri, itulah mimpi terburukku.
Namun, mau tidak mau  inilah takdir hidupku. Karena, dibalik perjumpaan pasti aka nada kata perpisahan.
Waktu yang aku muliki sangatlah berarti, setelah aku tahu bagaimana rasanya kehidupan di pondok ini bersama para santri dari beerbagai daerah. Dan itu sangat membahagiakan sekali rasanya.
Huuuh…! Memikirkan hari terakhir di pondok ini sangatlah menyedihkan. Apa lagi harus terpisah dalam kebersamaan yang telah lama ini. Rasa haru membuat cairan bening terjatuh secara perlahan dari bola mataku.
Bagi kami, tempat yang sangat berkesan dan bermakna di pondok ini adalah kamar, yang biasa kami panggil dengan kata Hujroh. Hujroh, bagi kami bukan lah lagi sebagai tempat peristirahatan saja.  Melainkan sebagai tempat belajar kembali, setelah belajar di Gurfatul maktab atau ruang belajar. Untuk sharing to sharing. Dan juga sebagai tempat pelampiasan rasa sedih para santriwati juga.
Dan itu juga sudah menjadi keseharian santi-santri di sini setelah belajar.
“Mahad itu bukanlah tempat untuk bermain, melainkan tempat belajar dan berlomba-lomba dalam kebenaran, terutama ilmu.  Karena setiap hamba di wajibkan menuntut ilmu itu untuk mengetahui mana yang buruk dan mana yang salah.”  Begitulah ucap Ustadzah pada setaip para santri yang baru hadir di pondok ini.
Oleh sebab itu jugalah para ustad dan ustadzah yang mendidik setiap santri di mahad ini harus lebih tegas dan serius. Agar para santri bisa dengan sunguh-sungguh dalam pencarian pemahaman ilmunya.
⎕⎕⎕   
Sore itu, aku dan beberapa temanku sedang berada di hujroh, untuk mendiskusikan acara untuk di hari perpisahan nanti, sekaligus acara hiburan untuk para santri di mahad ini.
Tetapi, kami belum tahu apakah perencanaan kami bisa mendapat persetujuan dari ustadzah.
Dari banyaknya suara dalam ruang diskusi ini. Lintang tiba-tiba membuat ruangan itu menjadi menghilang dari keramaian suara diskusi. Dengan pertanyaannya.
“Bagaimana kalau nanti kita bahas di acara Liqo saja?”
“Mmm…, mungkin itu ide yang bagus. Dari pada kita membahas sengketa yang belum kelar dari tadi.”  Jawab ismi.
“Tunggu…, tunggu ! aku setuju dengan pendapat kalian, tapi aku punya usulan nih.” Jelasku.
“Usulan apa lagi, Syifa?” Tanya Maya.
“Kebetulan aku dan ikhwan di mahad putra, sering melakukan liqo di rumahku, kalau kami pulang ke kampung. Dan dia juga ingin seperti yang kita harapkan. Tapi dia ingin ada koor di season terakhirnya sebagai penghibur saja.” Jelasku.
Dengan mimik wajah yang mencurigakan, Maya langsung bertanya padaku. “tunggu deh! tadi kamu bilang kalau kamu sering liqo di rumahmu”.
“Uuh.., kalian tidak boleh salah paham dulu ! kalian sudah tahu kan, kalau bapakku seorang ustad di kampungku.” Jelasku.
“Terus…?”
“Kok nanya terus ?  ya, masa kalian gak ngerti juga. Dulu dia adalah murid bapaku di Madrasah Diniyah.” Jelasku untuk menghindari fitnah.
Sebelum Maya balik bertanya padaku, Salma langsung memberiku pertanyaan.
“Siapa ikhwan itu, Syif ?”
“Namanya Mudas, Ma.”
“Oh, Mudas anak MI Tarbiyatul Ulum ?”
“Iya. Kok kamu bisa tahu, Ma?” Tanyaku pada Salma dengan heran.
“Dia saudara Ana kali, Syifa.”
“Sungguh?”
Maya pun langsung mengelak pembicaraanku dengan Salma, sebelum Salma menjawab pertanyaanku.
“Sudah.., sudah ! memangnya kalau dia murid Bapakmu, dia mau apa dating ke rumahmu?”
“Ya ampun Maya. Mudas itu hanya mengikuti orangtuanya saja yang ingin bersilaturrahim dengan bapakku. Lagian dia tidak sendiri, dan kami juga jaga jarak kok, May.” Jelsku dengan penuh kesal dan sabar.
“Oh, kirain ana….”
Aku langsung memotong pembicaraannya.”Ya sudahlah ! never mind.”
“Sudahlah, terus dia punya ide apa?” Tanya Maya kepadaku.
“Kalian tahu kan kalau di pondok selalu mengdakan acara perpisahan untuk pelepasan calon alumni? Dan di acara itu juga akhwat dan ikhwannya tergabung dalam satu ruangan, dimana rungan itu tempat serbaguna. Dan itu bisa di jadikan kesempatan untuk kita semua bernyanyi bersama atau koor bersama akhwat dan ikhwan.” Jelasku.
“Memangnya mau koor tentang apa,Syif ?” Tanya Maya.
“Kalau kami berharapnya, nanti koor tentang lagu yang memotivasi para santri. Yaah, untuk membangun semangat juang santri pondok saja.” Jelasku.
Dengan sangat kompak, beberapa santri di hujroh langsung berkata, “ Saya sangat setuju dengan ide itu.”
Betapa senangnya ketika sohib-sohibku setuju dengan rencana aku dan mudas harapkan.
“Baiklah, aku sangat berterimakasih pada kalian semua. Berarti nanti ana harus bilang ustadzah, untuk membicarakan ini semua.” Ujarku.
“Bagaimana kalau kita tambahkan drama yang islami yang bermakna di acara itu.” Saran Minha.
“Boleh juga,Minha. Nanti kita gabung saja dengan lagu koor dalam dramanya.”  Jawabku.
⎕⎕⎕
Tepat di jarum jam yang pas, pada pukul 17.00 WIB. Dimana seluruh santri harus berada di dalam masjid, dan tidak boleh ada yang di luar pondok. Karena semua santri harus membaca Alquran, buku pelajaran mahad, sekaligus menunggu adan menjelang malam.
Dan barang siapa yang telat atau tidak hadir, ustadzah akan memberikan hukuman pada santri itu.
Di setiap bada isa, ustad yang menjadi imam di masjid pondok Ar-rahman Rabani ini, selalu memberi kesempatan kepada calon-calon alumni untuk mengisi muhadoroh atau berpidato di hadapan para santri pondok, dengan menggunakan bahasa asing seperti bahasa arab dan inggris.
Kebetulan jadwal di mala mini adalah Widad. Dan dengan segera setelah anak-anak tahu pembawa isi pidato kali ini adalah Widad, mereka langsung berbaris dengan barisan yang sangat rapid an membuat ruangan hening seperti taka da kehidupan sedikit pun. Karena selain ia anak seorang ustadzah di pondok ini, dia juga termasuk anak yang sangat berprestasi dan juga baik hati.
Oleh sebab itulah kami semua tidak ingin menyia-nyiakan ilmu yang disampaikannya. Karena juga setiap ilmu yang di sampaikannya itu sangat bermanfaat bagi kami dan setiap perkataannya selalu mengandung motivasi untuk kami.
Tema yang dismapailan oleh Widad adalah hubungan persaudaraan dengan perpisahan.
“Mungkin karena sebentar lagi Widad dan kawan seperjuangannya terutama aku, akan menjadi alumnus kali ya? Makanya dia memahas tema ini.” pikirku dalam hati.
Tiga jam telah berlalu, untuk para santri berdiam diri di dalam masjid. Dari membaca al-quran, melaksanakan salat bahkan sampai muhadoroh.
Tiga jam hanya duduk dan melaksanakan gerakan salat, itu bukanlah hal yang biasa bagi yang lain. Tapi, bagi kami ini adalah hal yang sangat biasa dan sudah menjadi buadaya di pondok ini.
Setelah itu biasanya para Ustadzah memberikan waktu kosong untuk para calon alumnus. Dan biasanya hanya satu jam saja. Sedangkan para santri lain dipersilahkan untuk masuk ke ruang atau kamar masing-masing untuk mengulang pelajaran.
Satu jam itu selalu digunakan oleh calon alumni untuk berdiskusi. Baik itu berdiskusi untuk perpisahan ataupun yang lainnya yang menyangkut para santri dan pondok.
Karena kami sudah menyelesaikan rencana kami, akhirnya kami telah memutuskan untuk menggynakan waktu yang kosong ini untuk bertemu dan bercakap dengan Pembina kami. Tapi, karena kami belum berani dan belum siap untuk bertemu beliau jadinya kami meminta Ustadzah Zian mengntarkan salah satu di antara kami.
“Lalu siapa yang berani?” Tanya Widad.
Dan dan kami semua hanya saling bertata muka saja.
“Jadi atau tidak? Cepat sebelum saya berubah pikiran!” ucap Ustadzah Zian.
“Baiklah, Ustadzah. Ana siap.” Kataku.
Ustadzah hanya tersenyum dan langsung pergi. Sedangkan aku mengikuti beliau dari samping.
Setelah kami sampai di ruang Ustadzah Mina. Kami langsung mengetuk pintu kamarnya.
“Assalamualaikum, ya Ustadzah?” sapa kami.
“Walaikumsalam, ya Ukhti. Ada yang bisa Ana bantu?” Tanya santri yang bersama Ustadzah Mina.
“Maaf, Kami bisa bertemu denngan Ustadzah Mina?” Tanya Ustadzah Zian.
“Baiklah. Tunggu sebentar !” katanay sambil menutup pintu.
Selang waktu satu menit, Ustadzah Mina pun dating dan bertanya. “Ada yang bisa di bantu?”
“Ada, ya Ustadzah.” Jawab Ustadzah Zian.
“Mari silahkan masuk!” pinta Ustadzah Mina.
Dan kami pun akhirnya masuk ke dalam ruangan Ustadzah Mina yang sedang di temani oleh salah satu santri.
“silahkan duduk!” ucap Ustadzah Mina.
“Terimakasih.” Jawab kami.
Lalu Ustzdah Mina pun bertanya, “Ada yang harus kita bahas?”
“Benar, ya Ustadzah. Ini salah satu santri yang akan menjadi calon alumni. Ia memiliki usulan mengenai perpisahannya.” Jelas,Ustadzah Zian.
“Oh, terus bagaimana hasilnya?” Tanya Ustadzah Mina padaku.
“Jadi kami berharap di acara perpisahan nanti ada tambahan acara dan tidak hanya seperti yang dilakukan kakak alumni dulu.” Jelasku.
“Koor-nya  seperti apa?”
“Kami rencananya nanti koor-nya bersama antara akhwat dan ikhwan.”
“Kenapa harus bersama ikhwan juga?”
“Ya,Ustadzah. Setiap perpishan kan selalu di gabungkan antara ikhwan dan akhwat, jadi kami antara akhwat dan ikhwan ingin memberikan kenangan dan hiburan untuk para santi dan para pembimbing kami.” Jelasku.
“Baiklah, tapi Ana harus membicarakan ini bersama Ustadzah lain.” Kata Ustadzah Zian.
Aku hanya terdiam dan hanya menjawab, “Ya, baiklah, Ustadzah.”
“baiklah kalau begitu, Ustadzah. Kami mohon pamit dan semoga kami bisa segera menerima persetujuannya.” Ucap Ustadzah Zian.
“Assalamualiakum.” Salam kami sambil pergi menutup pintu ruang Ustadzah Mina.
“Walaikumsalam.”
Kami langsung pergi dan menuju kamar masing-masing. Ustadzah Zian menuju kamar khusus Ustadzah sedangkan aku langsung menuju kamarku dan beberapa santri. Karena di masjid sudah tidak ada santri-santi calon alumni lagi.
“Kreek” suara pintu kayu tua yang sedang kubuka.
“Assalamulaikum.” Sapaku pada teman sekamarku.
“Walaikumsalam. Bagaimana hasilnya?” Tanya Minha.
“Belum ada kepastian.” Jawabku sambil melihat teman-temanku yang sudah istirahat.
“Maksudnya?” Tanya Minha bingung.
“Ya, Ustadzah harus membicarakan ini dulu bersama Ustadzah lainnya.
“Oh ya, jadi lagunya apa buat nanti?” Tanya Minha.
“Judulnya, Sarung,guling dan tikar.” Jawabku santai.
Dengan perasaan yang mengherankan, Minha pun bertanya, “Maksud dari lagu ini?”
“Apa ya?” jawabku
“Kok ndak tahu?”
“kata siapa aku ndak tahu? Mau tahu liriknya ndak?”
Dengan mimik tak percaya ia bertanya, “Memang kamu hapal?”
“Semoga saja hapal. Tapi aku punya catatan kecilnya kok.”
“Mana? Boleh aku melihatnya?” Tanya Minha
“Tentu.”
Dan aku pun langsung menghampiri lemariku yang terbuat dari kayu tebal, berwarna coklat tua dan tidk terlalu panjang serta lebar. Dan aku pun langsung membuka lmari tua itu secara perlahan untu mengambil catatan kecilku.
“Ini catatannya.” Ucapku sambil mengulurkan tanganku.
“Nadanya?”
“Kamu ikutin aku nyanyi, ya !”
“Tapi, Syifa…”
“Ya kalau kamu tidak mau taka pa-apa.” Ucapku sambil perlahan menjauh dari, Minha.
Dengan pasrah, Minha menjawab, “Baiklah.”
“Min, tapi pelan-pelan ya! Takut yang lain pada bangun.” Pintaku.
Minha hanya tersenyum saja.
“1…2…3”
“Kasih saying bagai kepompong emas
Memberi kehangatan saat badai dating
Menjaga benih saat musim panas yang ganas
Laksana sarung menyelimuti dengan kasih sayang
Itulah yang kami rindukan…
Denga guling mimpi hidup kami tapaki
Cahaya dan inspirsi kami miliki
Tolong jangan dipadamkan
Tolong jangan diredupkan
Mimpi-mimpi kami
Itulah yang kami inginkan…
Hoo… hoo… hoo… ooo
Hoo… hoo… hoo.. ooo
Beralas tikar kami bermain
Beralas tikar kami belajar
Beralas tikar kami makan dan minum
Walau sulit kami tetap brjuang
Demi masa depan menjadi emas
Itulah yang kami butuhkan…
Ayoo… membnagun mimpi bersama kami
Ayoo… menciptakan masa depan emas
Ayoo… ayoo… ayoo !!
Ayo… membangun mimpi bersama kami
Ayo… menciptkan generasi gemilang…”
Huuh.. hamper lebih dari tiga kali kami mengulang lagu ini, sehingga Minha pun hapal dengan lirik lagu ini.
“Sudah jam 22.05, Min. kita haru tidur!” ajakku.
“Oh ya! Kok ndaj terasa ya?” Tanya, Minha.
“Mungkin kamu senang dengan lagu ini.” Jawabku.
“Bisa jadi. Hehehh.”
“Sudah kita tidur yuk !”
“Baiklah. Selamt tidur,Syifa.”
Aku hanya membaas senyum saja sambil menarik selimut di ranjangku. Dan kami pun langsung membaringkan tbuh kami dan membiarkannya istirahat dahulu.
⎕⎕⎕
Yaah, karena aku dan teman-teman se-angkatanku adalah calon alumni. Kami di beri tugas untuk bangun sendiri dan harus membangunkan para santri. Jadinya terpaksa deh harus bangun jam 02.30 pagi, untuk membangunkan para santri supaya melaksanakan salat malam dan memepriapkan diri untuk menunggu adan subuh.
Pagi itu aku mendapat giliran membangunkan santri yang tidur di lantai dua, khusus kamar F. sedangkan beberapa temanku berada di lantai pertama.
Setelah aku membangunkan santri di kamar F, aku melihat Ustadzah Mina sedang berjalan menuju tangga lantai dasar. Dengan segera aku langsung berlari menghampiri beliau unuk menanyakan perizinan “koor”.
“Assalamualaikum, ya Ustadzah.” Sapaku
“Walaikumsalam.” Jawab Usadzah Mina.
“Maaf, saya mau menanyakan mengenai perizinan saya tadi malam?”
“Oh, ya ! menurut beberapa Ustadzah dan Pemimpin pondok ini,kalian diperizinkan menambahkan acara perpisahan dengan koor.”
“Sungguh, Ustadzah? Alhamdulillah.” Ucapku bahagia.
“Kamu harus sudah mulai belajar dari sekarang?”
“Insya Allah ya, Ustadzah.”
“Dan jangan lupa untuk kostumnya ya !”
“Insya Allah. Maaf saya boleh bertemu dengan Mudas, saudara Salma?”
“Untuk apa?” jawab Ustadzah dengan heran.
“Karena Mudas ketua dalam acara ini, dan Ia juga yang tahu rencana koor nanti.”
“Baiklah, nanti saya yang akan mengubunginya langsung.”
“Terimakasih.”
“Sama-sama. Ya sudah Ustadzah duluan ya!”
“Silahkan, Ustadzah.”
Setelah Kami berpisah, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar untuk bertemu teman-teman.
“Assalamualaikum.” Sapaku
“Walaikumsalam.” Jawab teman-teman di kamarku.
“Hei… tadi aku sudah bertemu Ustadzah Mina. Dan beliau telah memperizinkan rencana kita.”
“Alhamdulillah.” Jawab Minha.
Selang waktu beberpa detik tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu kamar kami. Setelah kulihat, dan ternyata itu adalah Ustadzah Mina.
“Assalamualaikum.” Ucap Ustadzah
“Walaikumsalam.” Jawab kami semua
“Syifa, nanti Mudas akan datang ke sini. Dan Ia akan segera datang kemari, jadi kamu harus mempersiapkan dirimu untuk ikut hadir.”
“Dimana?” Tanyaku
“Tunggu saja. Nanti saya akan memanggilmu.”
“Baiklah ya, Ustadzah.”
Dan Ustadzah pun langsung pergi meninggalkan kamar kami.
Aku langsung memeprsiapkan diriku dan merapikan kamarku. Sebelum Ustadzah datang untuk memanggilku.
Sungguh ini hal yang membuatku gerogi. Bertemu non muhrim bersama pemimpin pondok ini. Dan alangkah baiknya jika aku meminta tolong pada temanu untuk menemaniku, supaya tidak ada fitnah.
“Minha, kamu bisa temani aku  tidak untuk menemaniku menemui Mudas.”
“Mmm… insya Allah.” Jawab Minha.
Setelah aku tau bahwa Minha bersedia menemaniku. Aku merasa senang sekali.
“Assalamualaikum.” Sapa seorang wanita yang tak kami ketahui.
“Walaikumsalam.” Jawabku sambil membuka pintu kamar.
“Ada Mbak Syifa?”
“Saya sendiri. Ada apa? Apa Ustadzah meminta saya menemui tamu?”
“Ia, Mbak di tunggu di ruangan beliau.”
“Baiklah. Nanti saya akan datang. Terimaksih.”
Santri itu hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya saja. Dan langsung pergi dari kamarku.
“Minha, ayo kita menuju ruang Ustadzah Mina. Kita sudah ditunggu disana.” Ajakku pada Minha.
“Memangnya Mudas sudah datang?”
“Ia, Minha. “
Dan kami pun langsung berjalan menuju ruangan Ustadzah Mina.
Sebelum kami mengetuk pintu ruangan Ustadzah Mina. Terdengarlah dari arah timur, seorang perempuan memanggil namaku dan Minha. Ku lihat, dan ternyata iyu adalah suara Ustadzah Mina yang sedang bersama pemimpin pondok dan Mudas beserta Ustad nya.
Dan entah mengapa aku merasa gerogi dan tak ingin menemuinya. Tapi, insya Allah dengan bismillah aku dan temanku harus melangkahkan kaki ini menuju Ustadzah.
“Assalamualaiku.” Sapaku dan Minha
“Walaikumsalam.” Jawab Ustadzah dan para tamu.
“silahkan duduk.” Perintah Ustadzah
Dan kami pun langsung duduk. Dan kami juga langsung membicarakan rencana di acara perpisahan nanti.
Memperundingkan suatu masalah tidaklah mudah, dan butuh waktu lama sampai bisa menemukan puncaknya.
Setelah satu jam berlalu, kami pun menemukan jawaban sekaligus mendapatkan perizinan langsung dari Pak Ustad selaku pemimpin pondok ini. Dan beliau memberi saran untuk tema acara nanti adalah “ perpisahan dan pelepasan santri serta dorongan motivasi dalam sebuah sarung, guling dan tikar.” Sesuai judul lagu kami selaku calon alumni di pondok Ar-rahman rabani ini.
The End


0 comments:

Post a Comment

 
;