Tak terasa, sekian lama
aku sekolah di pondok Ar-rahman Rabani ini.kini telah tiba saat-saat terakhir
untuk aku dan teman-teman seangkatanku. Mencari ilmu di pondok yang sangat
ramai dengan aktifitas para santriwati.
Kebetulan di pondok
yang aku singgahi ini, hanya untuk para santri putri saja. Dan untuk santri
putra berbeda pondok dengan kami.
Dari ribuan santri dan
santriwati yang berpondok di pesantren ini, banyak sekali komentar mereka
mengenai pondok ini. Akan tetapi , yang lebih popular adalah “ Pondok ini
sangatlah bermakna bagi kami. Karena di pondok ini, yang tadinya tidak memiliki
tujuan, kini ia memilikinya. Dan yang telah memiliki tujuan, kini mereka sudah
mahir pemahamannya”. Begitulah komentar dari para santri.
Sangat sedih rasanya,
ketika aku harus berpisah dengan kawan-kawan seperjuanganku. Memang sangat
menyenangkan ketika aku akan menjadi calon alumnus. Tapi, ketika aku harus
berpisah dengan para santri, itulah mimpi terburukku.
Namun, mau tidak mau inilah takdir hidupku. Karena, dibalik
perjumpaan pasti aka nada kata perpisahan.
Waktu yang aku muliki
sangatlah berarti, setelah aku tahu bagaimana rasanya kehidupan di pondok ini
bersama para santri dari beerbagai daerah. Dan itu sangat membahagiakan sekali
rasanya.
Huuuh…! Memikirkan hari
terakhir di pondok ini sangatlah menyedihkan. Apa lagi harus terpisah dalam
kebersamaan yang telah lama ini. Rasa haru membuat cairan bening terjatuh
secara perlahan dari bola mataku.
Bagi kami, tempat yang
sangat berkesan dan bermakna di pondok ini adalah kamar, yang biasa kami
panggil dengan kata Hujroh. Hujroh, bagi kami bukan lah lagi sebagai tempat
peristirahatan saja. Melainkan sebagai
tempat belajar kembali, setelah belajar di Gurfatul maktab atau ruang belajar.
Untuk sharing to sharing. Dan juga
sebagai tempat pelampiasan rasa sedih para santriwati juga.
Dan itu juga sudah
menjadi keseharian santi-santri di sini setelah belajar.
“Mahad itu bukanlah
tempat untuk bermain, melainkan tempat belajar dan berlomba-lomba dalam kebenaran,
terutama ilmu. Karena setiap hamba di
wajibkan menuntut ilmu itu untuk mengetahui mana yang buruk dan mana yang
salah.” Begitulah ucap Ustadzah pada
setaip para santri yang baru hadir di pondok ini.
Oleh sebab itu jugalah
para ustad dan ustadzah yang mendidik setiap santri di mahad ini harus lebih
tegas dan serius. Agar para santri bisa dengan sunguh-sungguh dalam pencarian
pemahaman ilmunya.
⎕⎕⎕
Sore itu, aku dan
beberapa temanku sedang berada di hujroh, untuk mendiskusikan acara untuk di hari
perpisahan nanti, sekaligus acara hiburan untuk para santri di mahad ini.
Tetapi, kami belum tahu
apakah perencanaan kami bisa mendapat persetujuan dari ustadzah.
Dari banyaknya suara
dalam ruang diskusi ini. Lintang tiba-tiba membuat ruangan itu menjadi
menghilang dari keramaian suara diskusi. Dengan pertanyaannya.
“Bagaimana kalau nanti
kita bahas di acara Liqo saja?”
“Mmm…, mungkin itu ide
yang bagus. Dari pada kita membahas sengketa yang belum kelar dari tadi.” Jawab ismi.
“Tunggu…, tunggu ! aku
setuju dengan pendapat kalian, tapi aku punya usulan nih.” Jelasku.
“Usulan apa lagi,
Syifa?” Tanya Maya.
“Kebetulan aku dan
ikhwan di mahad putra, sering melakukan liqo di rumahku, kalau kami pulang ke
kampung. Dan dia juga ingin seperti yang kita harapkan. Tapi dia ingin ada koor
di season terakhirnya sebagai
penghibur saja.” Jelasku.
Dengan mimik wajah yang
mencurigakan, Maya langsung bertanya padaku. “tunggu deh! tadi kamu bilang
kalau kamu sering liqo di rumahmu”.
“Uuh.., kalian tidak
boleh salah paham dulu ! kalian sudah tahu kan, kalau bapakku seorang ustad di
kampungku.” Jelasku.
“Terus…?”
“Kok nanya terus ? ya, masa kalian gak ngerti juga. Dulu dia
adalah murid bapaku di Madrasah Diniyah.” Jelasku untuk menghindari fitnah.
Sebelum Maya balik bertanya
padaku, Salma langsung memberiku pertanyaan.
“Siapa ikhwan itu, Syif ?”
“Siapa ikhwan itu, Syif ?”
“Namanya Mudas, Ma.”
“Oh, Mudas anak MI
Tarbiyatul Ulum ?”
“Iya. Kok kamu bisa
tahu, Ma?” Tanyaku pada Salma dengan heran.
“Dia saudara Ana kali,
Syifa.”
“Sungguh?”
Maya pun langsung
mengelak pembicaraanku dengan Salma, sebelum Salma menjawab pertanyaanku.
“Sudah.., sudah !
memangnya kalau dia murid Bapakmu, dia mau apa dating ke rumahmu?”
“Ya ampun Maya. Mudas
itu hanya mengikuti orangtuanya saja yang ingin bersilaturrahim dengan bapakku.
Lagian dia tidak sendiri, dan kami juga jaga jarak kok, May.” Jelsku dengan
penuh kesal dan sabar.
“Oh, kirain ana….”
Aku langsung memotong
pembicaraannya.”Ya sudahlah ! never mind.”
“Sudahlah, terus dia
punya ide apa?” Tanya Maya kepadaku.
“Kalian tahu kan kalau
di pondok selalu mengdakan acara perpisahan untuk pelepasan calon alumni? Dan
di acara itu juga akhwat dan ikhwannya tergabung dalam satu ruangan, dimana
rungan itu tempat serbaguna. Dan itu bisa di jadikan kesempatan untuk kita
semua bernyanyi bersama atau koor bersama akhwat dan ikhwan.” Jelasku.
“Memangnya mau koor
tentang apa,Syif ?” Tanya Maya.
“Kalau kami
berharapnya, nanti koor tentang lagu yang memotivasi para santri. Yaah, untuk
membangun semangat juang santri pondok saja.” Jelasku.
Dengan sangat kompak,
beberapa santri di hujroh langsung berkata, “ Saya sangat setuju dengan ide
itu.”
Betapa senangnya ketika
sohib-sohibku setuju dengan rencana aku dan mudas harapkan.
“Baiklah, aku sangat
berterimakasih pada kalian semua. Berarti nanti ana harus bilang ustadzah,
untuk membicarakan ini semua.” Ujarku.
“Bagaimana kalau kita
tambahkan drama yang islami yang bermakna di acara itu.” Saran Minha.
“Boleh juga,Minha.
Nanti kita gabung saja dengan lagu koor dalam dramanya.” Jawabku.
⎕⎕⎕
Tepat di jarum jam yang pas, pada pukul 17.00 WIB. Dimana
seluruh santri harus berada di dalam masjid, dan tidak boleh ada yang di luar
pondok. Karena semua santri harus membaca Alquran, buku pelajaran mahad,
sekaligus menunggu adan menjelang malam.
Dan barang siapa yang telat atau tidak hadir, ustadzah akan
memberikan hukuman pada santri itu.
Di setiap bada isa, ustad yang menjadi imam di masjid
pondok Ar-rahman Rabani ini, selalu memberi kesempatan kepada calon-calon
alumni untuk mengisi muhadoroh atau berpidato di hadapan para santri pondok,
dengan menggunakan bahasa asing seperti bahasa arab dan inggris.
Kebetulan jadwal di mala mini adalah Widad. Dan dengan
segera setelah anak-anak tahu pembawa isi pidato kali ini adalah Widad, mereka
langsung berbaris dengan barisan yang sangat rapid an membuat ruangan hening
seperti taka da kehidupan sedikit pun. Karena selain ia anak seorang ustadzah
di pondok ini, dia juga termasuk anak yang sangat berprestasi dan juga baik
hati.
Oleh sebab itulah kami semua tidak ingin menyia-nyiakan
ilmu yang disampaikannya. Karena juga setiap ilmu yang di sampaikannya itu
sangat bermanfaat bagi kami dan setiap perkataannya selalu mengandung motivasi
untuk kami.
Tema yang dismapailan oleh Widad adalah hubungan
persaudaraan dengan perpisahan.
“Mungkin karena sebentar lagi Widad dan kawan
seperjuangannya terutama aku, akan menjadi alumnus kali ya? Makanya dia memahas
tema ini.” pikirku dalam hati.
Tiga jam telah berlalu, untuk para santri berdiam diri di
dalam masjid. Dari membaca al-quran, melaksanakan salat bahkan sampai
muhadoroh.
Tiga jam hanya duduk dan melaksanakan gerakan salat, itu
bukanlah hal yang biasa bagi yang lain. Tapi, bagi kami ini adalah hal yang
sangat biasa dan sudah menjadi buadaya di pondok ini.
Setelah itu biasanya
para Ustadzah memberikan waktu kosong untuk para calon alumnus. Dan biasanya
hanya satu jam saja. Sedangkan para santri lain dipersilahkan untuk masuk ke
ruang atau kamar masing-masing untuk mengulang pelajaran.
Satu jam itu selalu
digunakan oleh calon alumni untuk berdiskusi. Baik itu berdiskusi untuk
perpisahan ataupun yang lainnya yang menyangkut para santri dan pondok.
Karena kami sudah
menyelesaikan rencana kami, akhirnya kami telah memutuskan untuk menggynakan
waktu yang kosong ini untuk bertemu dan bercakap dengan Pembina kami. Tapi,
karena kami belum berani dan belum siap untuk bertemu beliau jadinya kami
meminta Ustadzah Zian mengntarkan salah satu di antara kami.
“Lalu siapa yang
berani?” Tanya Widad.
Dan dan kami semua
hanya saling bertata muka saja.
“Jadi atau tidak? Cepat
sebelum saya berubah pikiran!” ucap Ustadzah Zian.
“Baiklah, Ustadzah. Ana
siap.” Kataku.
Ustadzah hanya
tersenyum dan langsung pergi. Sedangkan aku mengikuti beliau dari samping.
Setelah kami sampai di
ruang Ustadzah Mina. Kami langsung mengetuk pintu kamarnya.
“Assalamualaikum, ya
Ustadzah?” sapa kami.
“Walaikumsalam, ya
Ukhti. Ada yang bisa Ana bantu?” Tanya santri yang bersama Ustadzah Mina.
“Maaf, Kami bisa
bertemu denngan Ustadzah Mina?” Tanya Ustadzah Zian.
“Baiklah. Tunggu
sebentar !” katanay sambil menutup pintu.
Selang waktu satu
menit, Ustadzah Mina pun dating dan bertanya. “Ada yang bisa di bantu?”
“Ada, ya Ustadzah.”
Jawab Ustadzah Zian.
“Mari silahkan masuk!”
pinta Ustadzah Mina.
Dan kami pun akhirnya
masuk ke dalam ruangan Ustadzah Mina yang sedang di temani oleh salah satu
santri.
“silahkan duduk!” ucap
Ustadzah Mina.
“Terimakasih.” Jawab
kami.
Lalu Ustzdah Mina pun
bertanya, “Ada yang harus kita bahas?”
“Benar, ya Ustadzah.
Ini salah satu santri yang akan menjadi calon alumni. Ia memiliki usulan
mengenai perpisahannya.” Jelas,Ustadzah Zian.
“Oh, terus bagaimana
hasilnya?” Tanya Ustadzah Mina padaku.
“Jadi kami berharap di
acara perpisahan nanti ada tambahan acara dan tidak hanya seperti yang
dilakukan kakak alumni dulu.” Jelasku.
“Koor-nya seperti apa?”
“Kami rencananya nanti
koor-nya bersama antara akhwat dan ikhwan.”
“Kenapa harus bersama
ikhwan juga?”
“Ya,Ustadzah. Setiap
perpishan kan selalu di gabungkan antara ikhwan dan akhwat, jadi kami antara
akhwat dan ikhwan ingin memberikan kenangan dan hiburan untuk para santi dan
para pembimbing kami.” Jelasku.
“Baiklah, tapi Ana
harus membicarakan ini bersama Ustadzah lain.” Kata Ustadzah Zian.
Aku hanya terdiam dan
hanya menjawab, “Ya, baiklah, Ustadzah.”
“baiklah kalau begitu,
Ustadzah. Kami mohon pamit dan semoga kami bisa segera menerima
persetujuannya.” Ucap Ustadzah Zian.
“Assalamualiakum.”
Salam kami sambil pergi menutup pintu ruang Ustadzah Mina.
“Walaikumsalam.”
Kami langsung pergi dan
menuju kamar masing-masing. Ustadzah Zian menuju kamar khusus Ustadzah
sedangkan aku langsung menuju kamarku dan beberapa santri. Karena di masjid
sudah tidak ada santri-santi calon alumni lagi.
“Kreek” suara pintu
kayu tua yang sedang kubuka.
“Assalamulaikum.”
Sapaku pada teman sekamarku.
“Walaikumsalam.
Bagaimana hasilnya?” Tanya Minha.
“Belum ada kepastian.”
Jawabku sambil melihat teman-temanku yang sudah istirahat.
“Maksudnya?” Tanya
Minha bingung.
“Ya, Ustadzah harus
membicarakan ini dulu bersama Ustadzah lainnya.
“Oh ya, jadi lagunya
apa buat nanti?” Tanya Minha.
“Judulnya,
Sarung,guling dan tikar.” Jawabku santai.
Dengan perasaan yang
mengherankan, Minha pun bertanya, “Maksud dari lagu ini?”
“Apa ya?” jawabku
“Kok ndak tahu?”
“kata siapa aku ndak
tahu? Mau tahu liriknya ndak?”
Dengan mimik tak
percaya ia bertanya, “Memang kamu hapal?”
“Semoga saja hapal.
Tapi aku punya catatan kecilnya kok.”
“Mana? Boleh aku
melihatnya?” Tanya Minha
“Tentu.”
Dan aku pun langsung
menghampiri lemariku yang terbuat dari kayu tebal, berwarna coklat tua dan tidk
terlalu panjang serta lebar. Dan aku pun langsung membuka lmari tua itu secara
perlahan untu mengambil catatan kecilku.
“Ini catatannya.”
Ucapku sambil mengulurkan tanganku.
“Nadanya?”
“Kamu ikutin aku
nyanyi, ya !”
“Tapi, Syifa…”
“Ya kalau kamu tidak
mau taka pa-apa.” Ucapku sambil perlahan menjauh dari, Minha.
Dengan pasrah, Minha
menjawab, “Baiklah.”
“Min, tapi pelan-pelan
ya! Takut yang lain pada bangun.” Pintaku.
Minha hanya tersenyum
saja.
“1…2…3”
“Kasih saying bagai kepompong emas
Memberi kehangatan saat badai
dating
Menjaga benih saat musim panas yang
ganas
Laksana sarung menyelimuti dengan
kasih sayang
Itulah yang kami rindukan…
Denga guling mimpi hidup kami
tapaki
Cahaya dan inspirsi kami miliki
Tolong jangan dipadamkan
Tolong jangan diredupkan
Mimpi-mimpi kami
Itulah yang kami inginkan…
Hoo… hoo… hoo… ooo
Hoo… hoo… hoo.. ooo
Beralas tikar kami bermain
Beralas tikar kami belajar
Beralas tikar kami makan dan minum
Walau sulit kami tetap brjuang
Demi masa depan menjadi emas
Itulah yang kami butuhkan…
Ayoo… membnagun mimpi bersama kami
Ayoo… menciptakan masa depan emas
Ayoo… ayoo… ayoo !!
Ayo… membangun mimpi bersama kami
Ayo… menciptkan generasi gemilang…”
Huuh.. hamper lebih
dari tiga kali kami mengulang lagu ini, sehingga Minha pun hapal dengan lirik
lagu ini.
“Sudah jam 22.05, Min.
kita haru tidur!” ajakku.
“Oh ya! Kok ndaj terasa
ya?” Tanya, Minha.
“Mungkin kamu senang
dengan lagu ini.” Jawabku.
“Bisa jadi. Hehehh.”
“Sudah kita tidur yuk
!”
“Baiklah. Selamt
tidur,Syifa.”
Aku hanya membaas
senyum saja sambil menarik selimut di ranjangku. Dan kami pun langsung
membaringkan tbuh kami dan membiarkannya istirahat dahulu.
⎕⎕⎕
Yaah, karena aku dan
teman-teman se-angkatanku adalah calon alumni. Kami di beri tugas untuk bangun
sendiri dan harus membangunkan para santri. Jadinya terpaksa deh harus bangun
jam 02.30 pagi, untuk membangunkan para santri supaya melaksanakan salat malam
dan memepriapkan diri untuk menunggu adan subuh.
Pagi itu aku mendapat
giliran membangunkan santri yang tidur di lantai dua, khusus kamar F. sedangkan
beberapa temanku berada di lantai pertama.
Setelah aku
membangunkan santri di kamar F, aku melihat Ustadzah Mina sedang berjalan
menuju tangga lantai dasar. Dengan segera aku langsung berlari menghampiri
beliau unuk menanyakan perizinan “koor”.
“Assalamualaikum, ya
Ustadzah.” Sapaku
“Walaikumsalam.” Jawab
Usadzah Mina.
“Maaf, saya mau
menanyakan mengenai perizinan saya tadi malam?”
“Oh, ya ! menurut beberapa
Ustadzah dan Pemimpin pondok ini,kalian diperizinkan menambahkan acara
perpisahan dengan koor.”
“Sungguh, Ustadzah?
Alhamdulillah.” Ucapku bahagia.
“Kamu harus sudah mulai
belajar dari sekarang?”
“Insya Allah ya,
Ustadzah.”
“Dan jangan lupa untuk
kostumnya ya !”
“Insya Allah. Maaf saya
boleh bertemu dengan Mudas, saudara Salma?”
“Untuk apa?” jawab
Ustadzah dengan heran.
“Karena Mudas ketua
dalam acara ini, dan Ia juga yang tahu rencana koor nanti.”
“Baiklah, nanti saya
yang akan mengubunginya langsung.”
“Terimakasih.”
“Sama-sama. Ya sudah
Ustadzah duluan ya!”
“Silahkan, Ustadzah.”
Setelah Kami berpisah,
aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar untuk bertemu teman-teman.
“Assalamualaikum.”
Sapaku
“Walaikumsalam.” Jawab
teman-teman di kamarku.
“Hei… tadi aku sudah
bertemu Ustadzah Mina. Dan beliau telah memperizinkan rencana kita.”
“Alhamdulillah.” Jawab
Minha.
Selang waktu beberpa
detik tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu kamar kami. Setelah kulihat,
dan ternyata itu adalah Ustadzah Mina.
“Assalamualaikum.” Ucap
Ustadzah
“Walaikumsalam.” Jawab
kami semua
“Syifa, nanti Mudas
akan datang ke sini. Dan Ia akan segera datang kemari, jadi kamu harus
mempersiapkan dirimu untuk ikut hadir.”
“Dimana?” Tanyaku
“Tunggu saja. Nanti
saya akan memanggilmu.”
“Baiklah ya, Ustadzah.”
Dan Ustadzah pun
langsung pergi meninggalkan kamar kami.
Aku langsung
memeprsiapkan diriku dan merapikan kamarku. Sebelum Ustadzah datang untuk
memanggilku.
Sungguh ini hal yang
membuatku gerogi. Bertemu non muhrim bersama pemimpin pondok ini. Dan alangkah
baiknya jika aku meminta tolong pada temanu untuk menemaniku, supaya tidak ada
fitnah.
“Minha, kamu bisa
temani aku tidak untuk menemaniku
menemui Mudas.”
“Mmm… insya Allah.”
Jawab Minha.
Setelah aku tau bahwa
Minha bersedia menemaniku. Aku merasa senang sekali.
“Assalamualaikum.” Sapa
seorang wanita yang tak kami ketahui.
“Walaikumsalam.”
Jawabku sambil membuka pintu kamar.
“Ada Mbak Syifa?”
“Saya sendiri. Ada apa?
Apa Ustadzah meminta saya menemui tamu?”
“Ia, Mbak di tunggu di
ruangan beliau.”
“Baiklah. Nanti saya
akan datang. Terimaksih.”
Santri itu hanya
tersenyum dan menganggukan kepalanya saja. Dan langsung pergi dari kamarku.
“Minha, ayo kita menuju
ruang Ustadzah Mina. Kita sudah ditunggu disana.” Ajakku pada Minha.
“Memangnya Mudas sudah
datang?”
“Ia, Minha. “
Dan kami pun langsung
berjalan menuju ruangan Ustadzah Mina.
Sebelum kami mengetuk
pintu ruangan Ustadzah Mina. Terdengarlah dari arah timur, seorang perempuan
memanggil namaku dan Minha. Ku lihat, dan ternyata iyu adalah suara Ustadzah
Mina yang sedang bersama pemimpin pondok dan Mudas beserta Ustad nya.
Dan entah mengapa aku
merasa gerogi dan tak ingin menemuinya. Tapi, insya Allah dengan bismillah aku
dan temanku harus melangkahkan kaki ini menuju Ustadzah.
“Assalamualaiku.”
Sapaku dan Minha
“Walaikumsalam.” Jawab
Ustadzah dan para tamu.
“silahkan duduk.”
Perintah Ustadzah
Dan kami pun langsung
duduk. Dan kami juga langsung membicarakan rencana di acara perpisahan nanti.
Memperundingkan suatu
masalah tidaklah mudah, dan butuh waktu lama sampai bisa menemukan puncaknya.
Setelah satu jam
berlalu, kami pun menemukan jawaban sekaligus mendapatkan perizinan langsung
dari Pak Ustad selaku pemimpin pondok ini. Dan beliau memberi saran untuk tema
acara nanti adalah “ perpisahan dan pelepasan santri serta dorongan motivasi
dalam sebuah sarung, guling dan tikar.” Sesuai judul lagu kami selaku calon
alumni di pondok Ar-rahman rabani ini.
The End
0 comments:
Post a Comment