Tuesday, November 25, 2014

cerepen _ Terus lurus!


“Kak, apa engkau yakin tidak mau lagi tinggal bersama orang tua kita?”
“De, kakak sudah tak bisa lagi hidup bersama di sini. Sekarang….”
“Sekarang kenapa?”
“Ya, apa kamu tak menyadarinya? Kamu tidak sadar, sekarang kasih sayang ibu telah berpaling kepada kepada suaminya dan saudara tiri kita?”
“Aku tahu, Kak. Tapi, apakah engkau tak bisa bersabar?”
“De, jika kamu mau ikut kakak cepat kemasi barangMu! Tapi, jika tidak…, up to you, De.”
“Kak. Jika kita pergi bagaimana dengan Ibu?”
“Kamu sudah tahu kan, kalau ibu sekarang sudah punya suami? Ya, sudah biarkan Ibu bahagia bersamanya! Aku tak lagi ingin merepotkan mereka. Apa lagi ayah, yang sok baik di hadapan Ibu aja.”
“Maksud kakak?”
“De,dulu  kalo kamu sekolah dan kakak sudah pulang kuliah, ayah itu seperti bukan layaknya seorang ayah. Melainkan pacar. Dia itu genit! Bahkan sampai sekarang pun ia masih seperti itu. Aku tak mau hidup bersama orang seperti itu.”
“Aku masih enggak ngerti, Kak.”
“De, kamu jangan Tanya apa-apa lagi! Jika kamu mau ikut kakak, cepat segera kemasi barangMu!”
“Tapi, apa kakak yakin?”
“De, kita hudup dalam pengawasan sang pencipta. Jadi ngapain kita khawatir atau apa lah. Lagian kakak sudah dewasa, dan jika kakak butuh uang untuk kebutuhan  pribadi, kakak bisa kerja sendiri dengan gelar kakak yang sekarang.”
“Kak, lalu bagaimana dengan adik kita?”
“Dia kan masih bayi. Terus dia juga anak dari Ibu dan Ayah tiri kita kan? Ya, biarlah. Pasti dia hidupnya akan lebih bahagia.”
“Kak, meskipun kakak sudah dewasa, tapi aku tak tega jika kakak harus pergi tanpa tujuan sendiri.”
“Lalu?”
“Ya, masa aku sebagai laki-laki tak bisa menjaga wanita, sih.”
“Waduh, bahasamu boleh juga, De.”
✲✲✲
 Aku memang wanita, tapi aku tidak suka di perlakukan atau dianggap seperti wanita peminim. Jangan karena fisik dan wujudku wanita, jadi kalian pikir aku tak bisa pergi berkelana. Oh, tidak!
Aku pergi dari rumah tanpa pamit sedikit pun, melainkan aku hanya menyimpan selembaran kertas putih yang telah kunodai dengan tinta hitam. Tidak banyak pesan yang kusampaikan selain kata maaf.
Aku tak tahu kemana aku harus pergi. Aku sangat khawatir pada adikku. Meskipun dia laki-laki, tapi tetap saja rasa khawatir ini tak kunjung padam juga.
“Kak, kita mau kemana? Ada tikungan?”
“Kita ikuti saja jalur jalan yang lurus!”
“Kok lurus terus?”
“Karena, aku pernah membaca terjemahan surat al-fatihah, lalu telah dibahas di dalamnya ‘mengenai jalan yang lurus’.”
“Tapi, apa kakak yakin?”
“De, jangan menjatuhkan keyakinanku!”
“Aku tidak bermaksud, Kak. Ya sudah, kendarai saja motor ini dengan santai!”
Aku terus melintasi arus jalan yang lurus. Meskipun aku tak tahu apakah ini jalan yang benar. BISMILLAH…, semoga ini jalan yang benar.
Kami hanya membawa perbekalan makan untuk setengah hari saja. Karena kami pikir untuk makan malam, kami bisa membeli di warteg atau sejenisnya.
Kampung menuju desa. Mungkin itulah jalan yang sedang kulalui bersama adikku. Panas karena sinar pancaran matahari. Dingin yang membalut tubuh ini karena derasnya air hujan yang mengguyur kami. Semakin tak tega aku membawanya pergi.
“De, kamu beneran mau ikut terus?”
“Iya, kakak. Kak, sebenarnya ini daerah mana?”
“Entahlah. Kita pergi tanpa tujuan.”
“….”
Adikku tak berkata apa-apa lagi, melainkan aku melihat dengan sangat jelas, kalau matanya sedang berbinar-binar. Tak tahan aku melihatnya. Aku hanya terdiam dan menunggu hujan reda. Setelah reda, aku dan adikku melanjutkan perjalanan kami lagi.
Kebun dan sawah telah kami lalui. Panas dan dingin pun sudah. Apa lagi demo. Demo dalam perut maksudnya. Cacing dalam perutku dan adikku mungkin, sudah protes untuk makan. Tapi, di tempat seperti ini apa aku bisa makan? Entahlah.
Karena hari sudah mulai tidak terang lagi, akhirnya kami memutuskan untuk ikut bermalam di rumah salah satu warga di sekitar sini.
“Assalamualaikum?”
“Walaikumsalam. Cari siapa, ya ?”
“Maaf, mengganggu,Bu. Kami datang dari jauh-jauh tempat, dan kami sekarang sangat butuh tempat berteduh dan bermalam.”
“Maaf, bukannya saya melarang atau apa, taapi di sini tidak ada suami saya. Jadi saya tidak berani memutuskan pilihan.”
“Baiklah. Terima kasih, Ya, Bu.”
“Sama-sama. Coba kamu ke depan sana aja! Dari sini kamu hanya tinggal lurus terus hingga terlihat pagar besar. Di situ, kamu pasti boleh istirahat.”
Aku langsung melanjutkan perjalanku dengan arah yang telah di tunjuki seorang ibu-ibu separuh baya. Namun sayang, aku tak tahu apa benar yang dikatakan wanita tadi? Tapi jika benar, mengapa dari tadi aku tak menemukan satu pun rumah lagi.
✲✲✲
Setelah kami terus mengikuti arus jalan yang lurus, akhirnya kami pun menemukan sebuah gubuk. Gubuk yang menyendiri dari rumah warga.
Gubuk itu sederhana sekali. Sepi. Hening. Seperti tak ada kehidupan. Dengan lancang, aku langsung memarkirkan motorku di samping gubuk itu dan menguncinya.
Kami mencoba masuk dengan salam. Berkali-kali kami mengucapkan salam, tapi tak ada jawaban. Dan akhirnya, kami memilih beristirahat sejenak dahulu di sini meskipun tanpa kami ketahui pemilik gubuk ini.
Sungguh sangat nyaman, nyenyak dan rasanya beristirahat di sini enak. Tapi, rasa lapar ini telah menghilangkan semua kenyamanan ini. Uuh, nyari makan kemana jam segini? Apa lagi di sini jauh dari rumah warga.
Kutatap adikku yang sudah mulai dewasa. Ia sangat manis dan sungguh aku semakin tak tega membawanya pergi bersamaku. Tapi, ya sudahlah. Yang terjadi biarlah terjadi.
Kegelapan telah mulai sirna, cahaya pagi yang masih sejuk membuatku semangat untuk melngkahkan tujuanku yang tanpa arah ini bersama adikku,Rahul.
“De, ayo bangun! Kita harus berangkat sekarang.”
“Mmm…, apa sih, Kak? Masih ngantuk!”
“Ayolah, cepat!”
Dari pada menunggu dia kelamaan, lebih baik aku menghidupkan mesin motorku supaya mesin-mesinnya merasa hangat.
“Kak, aku laper?”
“Bangun juga dirimu, Dek. Ya sudah, kita cari makan dulu sekaligus mencari…”
“Mencari apa, Kak?”
“Sudah, tak penting. Ayo naik!” kataku sambil bersiap mengendarai motorku.
Aku selalu mengikuti pendirianku. Lurus dan lurus tanpa mengarah kiri dan menoleh ke belakang.
Selama aku mengendarai motorku bersama adikku, aku belum sekali melihat ada satu rumah pun di kawasan yang telah kulalui. Oh, Tuhan, bisakah engaku berikan petunjukmu? Semoga jalan yang kutempuh ini benar.
Hampir satu jam aku mencari rumah warga, namun, tetap saja tak kutemukan. Aku sudah lelah dan sangat lapar. Selama di perjalanan, adikku selalu menanyakan, “Sudah sampaikah kita?”. Aku sudah tak menyimpan lagi karbohidrat sedikitpun. Yang kusimpan hanyalah uang. Namun, uang itu tak akan berarti jika aku tak juga menemukan tempat makan.
Kutatap kapasitas bensin pada motorku. Astaga! Sudah hampir menuju pada warna merah. Pertanda aku harus segera isi bensin. Tapi, dimana aku bisa membeli bensin? Ya sudahlah, aku pun tak memikirkannya melainkan terus berjalan lurus.
Sepanjang jalan, aku hanya bisa berdikir di dalam hati. Aku tak tahu apa adikku juga sama sepertiku? Entahlah, aku semakin tak kuasa berkelana bersamanya. Ia tak punya dosa, tapi mengapa ia harus terbawa ke dalam emosiku.
“Kak, perutku sudah mulai sakit,” ujar adikku yang semakin kelaparan.
“Kamu tidur aja dulu!”
Aku pun langsung menarik tangannya, agar ia memelukku dan aku tak perlu khawatir ia jatuh ketika ia mulai tidur.
Semakin dan semakin lapar. Aku tak kuat lagi menahannya. Aku pun sudah mulai pegal dan lelah. Kepalaku sudah mulai berbayang-bayang. Bayangan-bayangan yang tak kukenali. Sungguh sangat tidak jelas. Kumelihat, dan aku sudah mulai tahu kalau aku sudah mulai dekat dengan rumah warga. Semakin semangat untuk kumengemudi motorku dengan cepat.
Braaak…
Aaaa…
Aku menjerit dengan amat sangat kencang, ketika aku mulai terjatuh dan terguling ke jalan aspal.
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku tak tahu bagaimana dengan adikku. Aku tak tahu apakah aku masih hidup atau tidak. Begitupun pada adikku. Jika itu terjadi…, sungguh aku adalah seorang kakak yang amat sangat kejam.
Aku tak bisa mendengar suara apapun. Aku tak bisa melihat bagaimana suasana saat itu. Semuanya gelap. Hening. Seperti tak ada kehidupan. Apa ini…, sudahlah! Aku tak ingin pergi dulu sebelum dosaku terhapuskan.
✲✲✲
“Kak, bangun!”
“Ayo cepat, Kak. Ayo bangun!”
Suara itu sangat jelas dan kukenali. Adikku. Ya, dia. Dimana dia sekarang? Aku merindukannya. Tapi mengapa aku masih belum bisa menatapnya? Mengapa?
Harum. Hangat. Menyentuh hingga sukmaku. Aroma minyak telon dan kehangatannya membuatku kembali sadar. Siuman. Dengan perlahan, aku coba membuka mataku, remang-remang, tapi semakin dekat, dekat dan dekat. Aku pun sudah mulai bisa melihatnya meskipun sakit kepalaku masih terus membara.
“Kak…,” ujar adikku sambil memelukku.
Aku hanya tersenyum dan heran. Siapa di samping adikku? Mengapa dia ada bersama kami? Dan ada dimana aku? Apa dia penjahat? Atau….
Tapi, jika dia penjahat, mengapa dia memberiku segelas minum? Astghfirullah…, ternyata ia orang baik yang telah menolongku.
“Minum air ini, Mbak!” ujar seorang lelaki yang me-nyugguh-kan minumnya padaku.
Aku pun langsung mengambilnya, “Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Ini tempat apa? Dan di kawasan apa saya berada sekarang?”
“Maaf, sekarang anda sedang berada di pondok Darussalam.”
“Pondok? Kenapa saya bisa di sini?”
“Tadi sewaktu saya sedang mengitari kawasan pondok, saya mendengar jeritan. Dengan segera, saya langsung mencari dari mana lokasi jeritan itu.”
“Owh. Maaf aku dan adikku telah merepotkanmu.”
“Dengan senang hati saya akan membantu siapapun yang kesulitan. Karena Allah sangat menganjurkan kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.”
“Apa di daerah sini ada tempat makan atau sejenisnya? Saya dan adik saya butuh karbohidrat,”
“Oh iya, saya hampir lupa. Tadi Pak kiyai meminta saya untuk memberikan makan, karena kalian belum makan selama beberapa hari.”
Aku hanya tersenyum sipu dan malu. Akhirnya ketahuan juga rahasiaku yang belum makan ini.
Aku pun lanagsung disuguhinya makanan yang sangat enak bagiku. Pasti lah enak bagi orang baru ketemu lagi sama namanya karbohidrat seperti aku ini. Jadi malu aku.
Aku makan dengan sangat amat lahap. Tanpa memikirkan laki-laki itu yang masih berada di hadapanku.
“Mbak, maaf, tadi Kiyai kami bilang kalo kalian harus istirahat sejenak di sini. Nanti aka nada salah satu santriwati yang akan menjagamu dan beberapa santri akan merawat adikmu.”
Aku hanya tersenyum sambil menikmati lezatnya makanan itu.
“Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamualaikum.”
“Walaikumussalam. Terima kasih, ya.”
Ia pun pergi meninggalkan kami sebelum aku ketahui namanya. Tapi, tak pentinglah. Suatu saat aku pun pasti akan tahu namanya.
“Aauu…,” 
Sangat terasa sakit pada tubuhku ini ketika aku ingin berjalan. Kakiku sedikit pincang dan tulang-tulang tanganku sepertinya sama.
“Assalamualaikum, ya ukhti,” sapa seorang wanita separuh baya yang di dampingi beberapa wanita cantik.
“Walaikumsalam. Maaf siapakah gerangan?”
“Saya Umi Mastiah, dan ini santri-santri saya. Saya istri dari Kiyai pondok ini, dan saya di berikan amanah untuk menjaga kalian sampai kalian mulai benar-benar sembuh.”
“Sembuh?”
“Maksud saya, sampai kalian sehat. Tidak seperti sekarang ini. Otot kalian butuh pijatan, dan nanti kalian akan dipijit di sini. Oh ya, untuk laki-laki tidak boleh bersama wanita, jadi nanti kamu akan di antar ke tempat khusus ikhwan,” jelasnya sambil mengarah pada adikku.
“U… Um… Umi, kalau boleh saya tahu, apa kah di seberang sana taka da kehidupan warga sama sekali?”
“Sebrang? Maksudmu…, oh iya saya tahu. Di sana tak ada warga satu pun karena di sana tempat angker, dan sampai sekarang tidak ada yang ingin bertempat tinggal di sana. Dahulu, ada sepasang keluarga dari pesantren ini untuk tinggal dan menetap di sana, tapi sampai sekarang keluarga mereka tak pernaha ada, bahkan gubuk yang mereka buat pun tak ada.”
Aku terkejut mendengarnya. Apa yang kutemui beberapa hari lalu itu…, makhluk gaib. Mungkin. Tapi, jika benar…. Sudah! Sudah! Aku jadi merinding membayangkan hal itu.
“Kenapa memangnya?”
“Mmm…,  beberapa hari lalu saya bertemu dengan seorang wanita, dan ketika saya ingin menginap di rumahnya, ia malah menolak karena di rumahnya tidak ada suaminya. Lalu dia juga bilang, kalau aku harus terus lurus, dan nanti aku akan menemukan tempat yang aku maksud.”
“….”
Umi itu seperti tengah memikirkan sesuatu yang tak boleh kuketahui. Umi membuatkusedikit kepo. Tapi biarlah, mungkin suatu saat aku pun akan tahu. Semoga.
“Kamu datang dari mana? Dan sedang ingin pergi kemana?”
“….”
“Maaf, jika kamu tak mau menjawabnya juga tidak apa-apa.”
“Eee…, sebenarnya, aku kabur dari rumah.”
“Kabur? Kenapa?” jawabnya dengan terkejut.
“Aku bosan tinggal bersama ayah tiriku. Ia selalu jahat padaku. Dulu, sepulang kuliah ia selalu menggodaku. Dan aku sangat takut. Aku khawatir,” jelasku tanpa koma dan titik.
“Owh, umi paham. Sekarang kamu ingin pergi kemana?”
“Saya tidak tahu, Umi. Bahkan saya pun tidak tahu bagaimana dengan adikku. Aku sangat menyesal untuk membawanya pergi bersamaku.”
Umi Mastiah, itu diam sejenak lalu berkata, “Kalau kamu ingin dan bersedia tinggal di sini, silahkan. Saya pasti akan sangat senang.”
“Aku bingung, umi. Tapi bagaimana dengan adik saya?”
“Di sini, pondok untuk wanita dan laki-laki, jadi kalian boleh tinggal di sini.”
“Umi, saya hanya punya sedikit uang lagi. Dan saya haru bekerja dulu.”
“Untuk apa, anakKu?”
Begitu tersentuh hatiku. Ketika Umi Mastiah, memanggilku dengan kata ‘anakku’. Ingin aku menangis tapi sungguh snagat amat malu. Tapi, sungguh aku sangat tersentuh dan ingin sekali aku menjadi anaknya.
“Untuk pembayaran di pondok ini, Umi.”
“Tak perlu. Umi akan bilang ke Abi, kalau kalian di sini tak perlu membayar apaun.”
“Terima kasih, Umi. Tapi, saya merasa sungkan. Apa di sini saya juga boleh membantu, Umi?”
“Sama-sama. Dengan sangat senang hati. Boleh.”
Alhamdulillah. Apa mungkin ini jalan yang Tuhan berikan untukku? Terima kasih, ya Allah. Aku sungguh sangat bahagia dan entah sampai mana kapasitas kebahagianku saat ini.
Dan setelah itu hingga saat ini, aku pun hidup sangat amat bahagia di pondok ini. Begitu pun pada adikku yang sudah semakin beranjak dewasa dan semakin bertambah ilmu agamanya.
The End



0 comments:

Post a Comment

 
;