Inikah
takdirku, TUHAN ?
Rabu itu hari sudah mulai senja.
Langit yang sudah mulai bersih dihiasi oleh mega si warna kesenjaan dan
ditemani oleh berbagai bentuk awan yang sudah mulai gelap. Matahari yang datang
dari arah timur, kini sudah mulai menghilang menuju pelepasan barart. Suara
yang hening disertai angsuran-angsuran hawa yang sangat menyejukan dan
menyentuh jiwa.
Sungguh, ini suatu kebahagiaan
terindah untukku. Aku masih bisa merasakan keindahan alam perkampungan dan
melihat keagungan Tuhan. Sekian lama aku tidak menghampiri kampungku, dan
sekarang aku baru merasakan dan menyadari atas kerinduanku pada kampung tenpat
lahirku.
Kuhayati dan kuratapi suasana
sekitar rumahku, yang terlindungi oleh tanaman hias, pohon-pohon yang rindang
dan kicauan burung milik Kakakku.
Dibalik sandaran pohon manga, aku
duduk sendiri bersama laptop-ku yang
sudah seperti sahabatku sendiri. Karena bagiku laptop adalah penolongku dalam
hobi dan keterampilanku, oleh sebab itulah aku tak akan jauh darinya.
Jarak dari tempat kubersandar
menuju rumahku tidak terlalu jauh, jadi laptop-ku
bisa langsung terhubung dengan wifi-nya.
Dan aku juga bisa ngetik cerpen sambil chatting-an.
Hehehe, biasalah anak muda, pasti selalu chat.
“Ting”. Bunyi pertanda ada pesan
masuk atau pemberitahuan pada Facebook-ku.
Kubuka, dan ternyata satu pesan baru dari Omku.
“Hei, ibu RT, apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, kalau,Om?”
“Tentunya akan selalu baik. Kamu
lagi ngapain?”
“Amin. Lagi ngetik cerpen, om.”
“Waduh, Ibu Rt masih rajin juga,
ya.”
“Masih jaman, Ibu Rt?”
“Tentu bagi,Om. Semangat, ya!”
“Insya Allah.”
“Jangan salah ketik,ya! Hehehe ”
“Ia,om…. Om tawa?”
“Nggak tawa. Orang nangis. Maaf ya, Om nggak tahu cerpen kamu masih bisa
di publikasikan lagi apa tidak di
majalah teman, om.”
“Kenapa?” tanyaku sedih.
Kulanjutkan mengetikku sambil
menunggu jawaban dari,Om. Namun sayang sekali, taka da jawaban satu pun
darinya.
Hampir lima menit aku menunggu
jawaban, tetap saja taka ada satu jawaban satu pun yang masuk.
Kulihat account,Omku, dan ternyata masih ‘on’. Tapi kenapa taka da jawaban,
ya? Apa ada yang di sembunyikannya?
Kucoba ulangi pertanyaanku itu
berkali-kali. Tetap saja, semua itu percuma.
“Imah…, kamu di mana? ”
Aku tak menjawab panggilan
dari,Ibu. Karena entah mengapa badanku serasa lemas.
Dan akhirnya aku pun mematikan laptop-ku. Dan langsung masuk ke dalam
rumah. Sesampai di depan rumah, ibu berantanya lagi padaku.
“Kamu dari mana? Sudah mandi
belum?”
“Dari depan,Bu. Aku sudah mandi
tadi.”
Karena ibu melihatku sedang
membawa laptop, akhirnya Ibu pun tahu
kalau aku habis ngetik cerpen.
“Kenapa kamu? Biasanya kalau
habis ngetik cerpen raut wajahmu seneng banget.”
“Tidak apa-apa, Bu.”
“Kenapa? Kamu harus bilang
sama,Ibu!”
“Jujur,Bu. Aku tidak apa-apa.
Mungkin aku lagi bête aja.”
Karena aku tak mau Ibu banyak
bertanya padaku. Akhirnya aku mengalihkan pembicaraanku pada burung peliharaan
Kakak-Ku. Ali Prahmana.
“Bu, sebentar lagi magrib, dan di
luar ada burung, Kak Ali yang belum dibawa masuk.’’
“Ya sudah suruh kakamu aja yang
ngambil. Kebiasaan dia itu.”
“Baiklah,bu.”
Dengan segera aku langsung
menyimpan laptop-ku di atas meja
raung tengah. Dan aku berlari menuju kakak-ku yang sedang asyik di kamarnya.
Sebelum aku melangkahkan kakiku
ke anak tangga pertama, kulihat di atas anak tangga terakhir, sedang terpajang
sosok laki-laki yang berdiri dan ingin melangkahkan kakinya pada anak tangga.
“Kak, ibu nyuruh kakak masukin
Burungnya,” kataku sambil meranik napas.
“Iya, ini juga mau bawel.”
“Kok bilang bawel? Untng-untung
di kasih tahu, bilang makaih aja apa susahnya,” cetusku.
“Biasa aja kali. Gak usah di
masukin hati, tapi kalau bisa jantung juga boleh!”
“Udah ngatain malah bilang gitu.”
“Kenapa,marah?”
“Kak, ucapan itu doa. Dan kalau
ngomong sama yang kecil itu harus mencontohkan yang baik.”
“Terus apa hubungannya?”
“Emang susah, ya. Mending gak
usah di ladenin orang kaya begini mah, dari pada gondok!”
Sungguh senja itu bagaikan hari
yang sangat menyebalkan bagiku. Di balik kegelisahanku, kakakku malah bikin aku
emosi tingkat tinggi.
“Braak”
Kututup pintu kamarkku tanpa
perasaan sedikit pun.
Di dalam kamar aku hanya
menggerutu sendiri. Seperti orang yang lagi sakit jiwa. Sampai-sampai salat
magrib pun aku melalaikannya, dan melaksanakannya di waktu isa.
Sebenarnya ini hal yang tak wajar
dan tak baik bagiku.
“Astaghfirullah,” keluhku
menyesal.
Setelah aku merasa menyesal tiba-tiba aku teringat pada
Om yang belum menjawab pertanyaanku tadi sore.
Dengan hati pasrah, kucoba buka facebook-ku di hape. Sayang, dengan hati
yang mulai bertambah kesal setelah melihat taka da satu pun kata-kata yang di
jawab. Padahal sudah terlihat sebuah nama’ Muhammad Riza’ yang sedang online juga.
Namun rasa sedih semakin tak
padam untuk membakar perasaanku, setelah aku tahu bahwa, Om tetap tak membalas
pertanyaanku.
Ini menjadi sebuah pertanyaan
yang teramat besar bagiku. Entah kapan,om akan membalasnya. Tapi ya sudahlah,
mungkin jika kucoba menanyakannya melalui SMS, akan dibalas olehnya.
Secara perlahan kumulai tumbuhkan
kesabaran dalam jiwaku, hanya untuk menunggu jawabannya. Tapi, sayang sekali
taka da pesan masuk lagi.
Huuhh…, akhirnya dengan hati yang
sangat terpaksa aku pun memilih istirahat saja meskipun rasa lapar sudah
menghadangku.
Ritual dalam keluargaku untuk
makan malam, pastinya selalu pukul 20.05 WIB. Dan seharusnya sekarang sudah
waktunya makan malam. Tapi aku nggak mood
buat makan malam. Apa lagi kalau ngeliat kakakKu yang nyebelin itu. Rasanya
nafsu makanku bakal hilang di telan ombak lautan bali Jakarta.
“Imah…,” panggil ibu, “Cepat
keluar dan makan bersama!” lanjutnya.
Aku tak menjawabnya, karena aku
yakin di kursi meja makan tepatnya di samping mamah, pasti ada kakakku. Ali
Prahmana.
“Tok… tok… tok…”
Terdengarlah nada bunyi
ketukan pada pintu kamarku yang berwarna
putih,terbuat dari kayu jati, yang menujukan adanya seseorang yang ingin masuk.
“Siapa?”
“Ayo makan bersama kami!” ucap
ibu.
“Iya, nanti saja,Bu.”
“Jangan terlambat,ya!”
“Ya.”
Aku hanya memurungkan diriku
saja, karena aku tak bisa menghilangkan kesalku pada, Kak Ali.
15 menit telah beerlalu. Aku tak
keluar juga. Dan sungguh sangat
menyebalkan. Sosok wajah yang kukesali
itu membuka pintu kamarku tanpa izin.
“Uuh…,” keluhku sambil berlari ke
ranjang dan langsung menutup tubuhku dengan selimut merah, bergambar Thomas.
“De, ayo makan dulu!”
“….”
“De, cepetan makan! Nanti kamu
sakit.”
“Biarin. Apa peduliu padaku?
Pergi aja sana! Ke kamar orang tanpa izin. Gak sopan tau.”
“Oh, masih marah?”
“Kalau iya, kenapa? Ya sudah
pergi sana! Lagian ngapain makan kalau ada…”
“Kalau ada siapa? Kakak?”
“kalau iya?”
“Ya sudah kalau begitu.”
Aku tertipu oleh perkataan
kakakku sendiri. Aku kira setelah kakakku bilang seperti itu, ia akan keluar
dari kamarku. Akhirnya secara perlahan aku membuka selimutku.
“Daar…”
“Yah, kamu ngintip-ngintip. Pasti
mau cari udara, ya?” lanjutnya.
“Kalau sudah tahu, ya sudah.
Nggak usah nanya lagi! Lagian aku gak butuh ditanya sama orang sombong dan gak
sopan kaya kakak.”
✲✲✲
Malam
itu aku terbangun dengan sangat memalukan. Kantung mataku semuanya menggelayut
seperti terkena gigitan serangga.
Karena
masih kepikiran dengan jawaban,Om Reza, aku akhirnya langsung mengaktifkn
hapeku dan langsung membuka facebook.
Ya semoga saja ada balasan. Semoga.
Uu…h,
ingin rasanya aku menjerit sekarang juga. Tapi aku sadar kalau aku menjerit
pasti akan mengganggu orang lain. Mungkin karena aku termasuh anak cengeng,
jadinya aku langsung menangis.
Entah
seberapa besar kapasitas frekuensiku dalam menangis, sampai-sampai aku telah
membuat kakakku masuk ke dalam kamarku.
“De…”
Dengan
segera aku langsung menutup badanku kembali dengan selimut.
Perlahan-demi
perlahan, kurasakan lembutnya belaian tangan yang sedikit kasar dan besar itu.
“De,
kamu kenapa? Kok kakak dengar seperti lagi nangis?”
Awalnya
aku hanya terdiam, tapi aku rasa aku butuh teman curhat.
“Kak…,”
kataku lirih dengan suara yang tersedu-sedu.
“Kenapa?”
Aku
langsung memeluk kakakku,”Kak, aku sedih banget. Pertama, masalah cepen. Kedua,
di tambah kakak lagi yang udah bikin aku kesel.”
“Yah…,
kan kakak gak tau kalau kamu lagi kesel atau sedih. Tadi kan kakak niatnya
bercanda aja. De, memangnya ada apa dengan cerpenMu?”
“Tadi,
om bilang kalau cerpenku enggak tau masih bisa di publikasikan lagi atau tidak
di majalah.”
“Oh,
itu. De, mungkin itulah takdirmu dari tuhan yang harus kau terima. Karena tuhan
itu maha tahu atas segala sesuatunya.”
“Tapi,
apa inikah takdiku?”
“De,
Allah itu maha tahu dan maha teliti.”
“Yess, I know.”
“Kalau
kamu tahu ngapain masih sedih? Teruslah semangat dalam hobimu yang harus kamu
kembangkan menjadi karier-mu. Terus
berusaha dan doa. Kalau kita sungguh-sungguh pasti Allah akan menolong kita.
Lagian Allah kan maha penolong.”
Aku
hanya tersenyum dan melepaskan pelukankku dari badan, Kak Ali.
“Cie…
yang udah mulai senyum. Tapi kamu makin cantik aja.”
“Apa
sih, Kak.”
“Kamu
udah enggak sedih lagi, kan? Kalau begitu langsung istirahat aja, ya!”
“Baiklah.
Good night.”
✲✲✲
Pagi yang masih mentah, ketika
matahari masih terlelap dan langit terselimuti kegelapan. Aku terbangun dari
tidurku setelah aku bermimpi, bahwa om telah menjawab pertanyaanku. Huuh…,
memang menyebalkan sekali. Akhirnya, aku langsung segera mengakatktifkan facebookku. Ya, hanya untuk memastikan
saja.
Sayang beribu sayang, semuanya
nihil bagiku. Tak ada pesan yang masuk.
“Mungkin ini yang terbaik
untukku. Baiklah dari pada aku susah payah bikin, mending aku publikasikan
sendiri di facebookku dan blog-ku. Ya
supaya orang lain bisa melihat karyaku dan bisa mereka kritik tata letak
salahku.”
Azan mulai berkumandang, dengan
lantunan-lantunan yang sangat merdu dan menggoda hati untuk bergetar. Ibu sudah
mulai bangun dan mengetuk pintu kamarku, agar aku tidak salat terlambat.
“Imah…, bangun,Nak!”
“Iya,Bu. Aku sudah bangun.”
Aku pun langsung melaksanakan
ritual seorang muslim yang tak boleh ditinggalkan, salat. Ya, salat.
Setelah aku salat subuh, aku
langsung mempublikasikan delapan cerita pendekku dari 40 judul yang telah
kuselsaikan. Kebetulan aku punya banyak teman dumay, ya walaupun aku tak mengenal semuanya tapi aku sangat bangga
pada mereka yang telah memberi apresiasinya untukku walau hanya me-like karyaku.
Baru dua menit saja, sudah ada
2000 orang yang telah menyukainya. Belum lagi di ceritaku yang lainnya.
“Tok…Tok…Tok….”
“Siapa? Masuk saja, tak kukunci
kok!”
“De, kamu habis ngepubilkasiin
apa?”
“Memangnya mengapa? Aku habis
ngepublikasiin cerpenku beberapa menit lalu.”
“Kamu tahu enggak? Tadi teman
kakak telepon, terus dia bilang ‘ apakah Fatimah Dalillah Saukia itu adikmu?’
terus pas kakak bilang ‘ya’, dia langsung minta ketemu kamu di perusahaannya.”
“Kapan,kak?”
“Sekarang, Cantik!”
“Kak, memangnya harus di
kantornya? Enggak bisa di tempat lain?”
“Oh, kamu enggak mau ke Jakarta?”
“Bukannya tidak mau, kak. Tapi
aku kalau lihat Jakarta itu BOSAN banget.”
“Jadi mau enggak? Kalau mau nanti
kakak anterin naik motor, sama jangan lupa data-data karyamu di simpan di flashdisk!”
“Baiklah,kak.”
Aku dan kakakku pun langsung prepare sebelum berangkat ke Jakarta.
Cukup waktu 15 menit untuk bersiap-siap. Dan sebelum aku keluar kamar, kakakku
sudah meminta izin pada ibuku untuk mengantarkanku ke Jakarta.
Setelah , kaka li sudah stand by di motornya, aku langsung pamit
dan mecium punggung tangan ibu. Serta berjanji mala mini juga akan segera
sampai di rumah.
“Ayo naik cepetan!”
Aku langsung duduk di belakang
kakakku yang akan mengendarai motor ninjanya yang berwarnah merah cerah.
Seperti kilat yang menyambar
dengan kecepatan tinggi. Atau seperti waktu yang sangat bergerak dengan cepat.
Bisa jadi sih…. Sumpah, rasanya seperti terbang dan melayang jauh ke udara. Apa
mungkin karena dia lelaki yang selalu membawa motor dengan kecepatan tinggi.
Mungkin juga.
Entahlah, yang penting sekarang
aku merasa senang dan khawatir. Kupegang erat tubuh, Kak Ali yang sedikit
membungkuk ke depan. Kusandarkan kepalaku pada punggungnya, sehingga aku merasa
lebih nyaman.
Jarak dari Tasik menuju Jakarta,
hanya kami tempuh dengan kurang lebih tiga jam. Dan seharusnya membutuhkan
wkatu empat atau lima jam, untuk pengguna motor. Mungkin karena kakakku
membawanya ngebut, jadinya agak lebih cepat. Tapi, ya sudahlah. Cepat lebih
baik.
Setelah kami sampai di darerah
Jakarta, kakak mendapat SMS dari temannya, bahwa kami harus menuju rumahnya
saja, tak perlu ke kantornya.
“De, tapi kamu udah bawa
data-datanya,kan?”
“Tentu, dong!”
“Ya sudah, kalo begitu kita
langsung ke rumah, Kak Lita aja, ya!”
“Siapa?”
“Ya, teman kakak yang mau ketemu
kamu.”
Kami langsung melanjutkan
perjalanan kami menuju rumah, Kak Lita. Yaah…, lumayan deket juga rumahnya.
Dengan waktu sepuluh menit setelah kami istirahat sejenak karena tadi mendapat
pesan dari kak Lita.
Sesampai di rumahnya Kak Lita,
kami langsung di persilahkan masuk sebelum kami menekan tombol bel. Karena tuan
rumah sudah menanti kami beberapa menit lalu.
“Hai, ini adikmu yang namanya,
Imah?”
“Iya, Lit. Dia, Imah yang tadi
pagi habis nge-publikasiin karyanya.”
“Hai, Imah. Namaku, Lita
Pangestu. Biasa di panggil Lita.”
“Hai juga, Kak.”
“”Oh, iya. Karya kamu bagus
banget lho! Tapi maaf aku belum baca semua puisi kamu. Tapi baru satu yang aku
baca, dan itu sangat menjiwai banget. Jujur keren banget kamu, De.”
“Terimakasih,Kak. Aku bahagia
mendengarnya.”
“Boleh aku lihat data-datanya?
Kamu bawa datanya, kan?”
“Tentu, Kak. Ini data-data karyaku.”
“berarti ada puisi juga?”
“Insya Allah…, di situ ada 40
cerita pendekku yang sudah aku ketik.”
Dan aku pun langsung memberikan
data-datanya pada, Kak Lita. Kak Lita, tidak membaca dataku melainkan
menyalinnya. Ya, menyalin agar kami tidak membuang waktu yang lama di sini.
Karena ia juga khawatir nanti kami pulang terlalu malam.
“De, datanya sudah aku salin. Dan
ini flashdisk-nya. Nanti kalau kakak
sudah baca semua dan hasilnya memuaskan, nanti kakak kabarin kamu lagi, ya!
Semoga saja nanti karyamu bisa di bukukan.”
Dengan ekspresi wajah terkejut
aku pun berkata, “ Di bukuksn, Kak?”
“Iya! Kenapa, tidak boleh?”
“Bukan, Kak. Tapi aku bahagia
sekali.”
“Iy, Lit. dia sedih banget
kemarin. Makanya sekarang dia senengnya melebihi.”
“Oh, sedih kenapa?”
“Biasanya kan dia ngirim karyanya
ke majalah Om kami. Tapi sekarang sudah tidak lagi.”
“oh, ya sudah. Semoga karyamu
bisa di bukukan, ya!”
“Lit, kami harus cepat segera
pulang kembali, soalnya kami sudah janji sama ibu, kalau malam ini kami akan
sampai di rumah,” jelas kakakku.
“Oh, ya sudah kalo begitu.
Terimakasih atas kedatangan kalian dan maaf telah membuat kalian lelah.”
“Never mind,” jawab Kak Ali.”Ya sudah, kami pamit, ya!”
“Silahkan. Hati-hati di jalan,
ya!”
“Tentu….”
✲✲✲
Karena
kami main dulu di puncak, jadinya kami pulang sedikit larut malam. Yah, jadinya
kami pulang dalam keadaan terkunci dan kami hampir tidak bisa masuk ke dalam
rumah.tapi…, untungnya kakakku punya kunci cadangan, jadinya kami pun bisa
masuk.
“Mah,
Pah….”
Kupanggil-panggil
orangtuaku. Tapi sepertinya mereka sudah tertidur. karena kami terlalu cape,
jadinya kami langsung tertidur di sofa ruang keluarga.
“Ali,Imah…, cepetan bangun!”
Mmm…, mataku masih terasa berat
untuk kubuka. Begitupun ,Kak Ali yang
sangat sulit di bangunkan. Biasalah namanya juga cowok. Jadi harus di katakana
wajar meski tak baik.
Mungin kali, ya? Kami kebablasan
tidur lagi gara-gara Mamah banguninnya hanya sebentar saja, tak sampai nyawaku
kumpul semua. Tapi entahlah, tak boleh nyalahin orang lain.
Aku terbangun gara-gara mendengar
nada ponselku yang menandakan satu panggilan masuk.
L
is for the way you look at me
O
is for only one I see
V
is very very extraordinary
E
is even more then…
Sebelum lagu Love yang
dinyanyikan oleh, Natalie Cole itu berhenti aku langsung mengangkat dan
menerima panggilan masuk itu.
Nomor yang tak kukenali.
“Hallo, ini siapa?”
“Ini,Kak Lita.”
“Kok,Kakak tahu nomorku?”
“Dari facebookmu. Oh ya, buku karyamu sudah aku baca 20 judul. Itu semua
menarik sekali bagiku, dan semoga saja menarik juga bagi orang lain. Insya
Allah, hari ini akan dibukukan.”
“Sungguh,kak?”
“Iya dong, nanti kalo sudah laris
dan banyak yang minat, aku kirim ke rumahmu.”
“Baiklah. Terimakasih, kak!”
“Iya. Kalo gitu udah dulu ya!
Kakak mau ngelanjutin tugas. Dadaaah….”
Sebelum aku membalas jawabannya,
sayang sekali panggilan sudah di akhiri.
Masya
Allah! Aku
sangat bahagia sekali. Memang benar, ya. Allah itu maha tahu dan adil. Semoga
saja ini takdirku yang akan membawa kesuksesan menarik untukku.
✲✲✲
Setelah
satu bulan lamanya, buku hasil karyaku yang berjudul ‘karya Imah’ itu sudah
menjadi buku yang best seller, dan aku sudah mendapat kiriman buku yang telah
di janjikan teman kakakku itu, akhirnya aku mulai memberi tahu keberuntunganku
pada keluargaku.
Dan
Alhamdulillah sekali, mereka pun menerimanya dengan sangat amat bahagia.
Dan
setelah itu pula, banyak sekali kawan sebayaku yang datang ke rumahku da nada
yang ingin foto bareng, bahkan minta tanda tangan. Wow…, Amazing! Selain itu juga, kini banyak sekali wartawan pers dari
yang berstandar nasional smpai internasional, datang untuk mewawancaraiku.
Dan…,
kini aku menjadi semangat berkarya untuk dunia jurnalis, seperti catat-mencatat
ini.
The
End
0 comments:
Post a Comment