Wednesday, June 3, 2015

cerpen judul "Inikah takdirku, TUHAN ?"

Inikah  takdirku, TUHAN ?
Rabu itu hari sudah mulai senja. Langit yang sudah mulai bersih dihiasi oleh mega si warna kesenjaan dan ditemani oleh berbagai bentuk awan yang sudah mulai gelap. Matahari yang datang dari arah timur, kini sudah mulai menghilang menuju pelepasan barart. Suara yang hening disertai angsuran-angsuran hawa yang sangat menyejukan dan menyentuh jiwa.
Sungguh, ini suatu kebahagiaan terindah untukku. Aku masih bisa merasakan keindahan alam perkampungan dan melihat keagungan Tuhan. Sekian lama aku tidak menghampiri kampungku, dan sekarang aku baru merasakan dan menyadari atas kerinduanku pada kampung tenpat lahirku.
Kuhayati dan kuratapi suasana sekitar rumahku, yang terlindungi oleh tanaman hias, pohon-pohon yang rindang dan kicauan burung milik Kakakku.
Dibalik sandaran pohon manga, aku duduk sendiri bersama laptop-ku yang sudah seperti sahabatku sendiri. Karena bagiku laptop adalah penolongku dalam hobi dan keterampilanku, oleh sebab itulah aku tak akan jauh darinya.
Jarak dari tempat kubersandar menuju rumahku tidak terlalu jauh, jadi laptop-ku bisa langsung terhubung dengan wifi-nya. Dan aku juga bisa ngetik cerpen sambil chatting-an. Hehehe, biasalah anak muda, pasti selalu chat.
“Ting”. Bunyi pertanda ada pesan masuk atau pemberitahuan pada Facebook-ku. Kubuka, dan ternyata satu pesan baru dari Omku.
“Hei, ibu RT, apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, kalau,Om?”
“Tentunya akan selalu baik. Kamu lagi ngapain?”
“Amin. Lagi ngetik cerpen, om.”
“Waduh, Ibu Rt masih rajin juga, ya.”
“Masih jaman, Ibu Rt?”
“Tentu bagi,Om. Semangat, ya!”
“Insya Allah.”
“Jangan salah ketik,ya! Hehehe ”
“Ia,om…. Om tawa?”
“Nggak tawa. Orang nangis. Maaf ya, Om nggak tahu cerpen kamu masih bisa di publikasikan lagi apa tidak di  majalah teman, om.”
“Kenapa?” tanyaku sedih.
Kulanjutkan mengetikku sambil menunggu jawaban dari,Om. Namun sayang sekali, taka da jawaban satu pun darinya.
Hampir lima menit aku menunggu jawaban, tetap saja taka ada satu jawaban satu pun yang masuk.
Kulihat account,Omku, dan ternyata masih ‘on’. Tapi kenapa taka da jawaban, ya? Apa ada yang di sembunyikannya?
Kucoba ulangi pertanyaanku itu berkali-kali. Tetap saja, semua itu percuma.
“Imah…, kamu di mana? ”
Aku tak menjawab panggilan dari,Ibu. Karena entah mengapa badanku serasa lemas.
Dan akhirnya aku pun mematikan laptop-ku. Dan langsung masuk ke dalam rumah. Sesampai di depan rumah, ibu berantanya lagi padaku.
“Kamu dari mana? Sudah mandi belum?”
“Dari depan,Bu. Aku sudah mandi tadi.”
Karena ibu melihatku sedang membawa laptop, akhirnya Ibu pun tahu kalau aku habis ngetik cerpen.
“Kenapa kamu? Biasanya kalau habis ngetik cerpen raut wajahmu seneng banget.”
“Tidak apa-apa, Bu.”
“Kenapa? Kamu harus bilang sama,Ibu!”
“Jujur,Bu. Aku tidak apa-apa. Mungkin aku lagi bête aja.”
Karena aku tak mau Ibu banyak bertanya padaku. Akhirnya aku mengalihkan pembicaraanku pada burung peliharaan Kakak-Ku. Ali Prahmana.
“Bu, sebentar lagi magrib, dan di luar ada burung, Kak Ali yang belum dibawa masuk.’’
“Ya sudah suruh kakamu aja yang ngambil. Kebiasaan dia itu.”
“Baiklah,bu.”
Dengan segera aku langsung menyimpan laptop-ku di atas meja raung tengah. Dan aku berlari menuju kakak-ku yang sedang asyik di kamarnya.
Sebelum aku melangkahkan kakiku ke anak tangga pertama, kulihat di atas anak tangga terakhir, sedang terpajang sosok laki-laki yang berdiri dan ingin melangkahkan kakinya pada anak tangga.
“Kak, ibu nyuruh kakak masukin Burungnya,” kataku sambil meranik napas.
“Iya, ini juga mau bawel.”
“Kok bilang bawel? Untng-untung di kasih tahu, bilang makaih aja apa susahnya,” cetusku.
“Biasa aja kali. Gak usah di masukin hati, tapi kalau bisa jantung juga boleh!”
“Udah ngatain malah bilang gitu.”
“Kenapa,marah?”
“Kak, ucapan itu doa. Dan kalau ngomong sama yang kecil itu harus mencontohkan yang baik.”
“Terus apa hubungannya?”
“Emang susah, ya. Mending gak usah di ladenin orang kaya begini mah, dari pada gondok!”
Sungguh senja itu bagaikan hari yang sangat menyebalkan bagiku. Di balik kegelisahanku, kakakku malah bikin aku emosi tingkat tinggi.
“Braak”
Kututup pintu kamarkku tanpa perasaan sedikit pun.
Di dalam kamar aku hanya menggerutu sendiri. Seperti orang yang lagi sakit jiwa. Sampai-sampai salat magrib pun aku melalaikannya, dan melaksanakannya di waktu isa.
Sebenarnya ini hal yang tak wajar dan tak baik bagiku.
“Astaghfirullah,” keluhku menyesal.
Setelah aku  merasa menyesal tiba-tiba aku teringat pada Om yang belum menjawab pertanyaanku tadi sore.
Dengan hati pasrah, kucoba buka facebook-ku di hape. Sayang, dengan hati yang mulai bertambah kesal setelah melihat taka da satu pun kata-kata yang di jawab. Padahal sudah terlihat sebuah nama’ Muhammad Riza’ yang sedang online juga.
Namun rasa sedih semakin tak padam untuk membakar perasaanku, setelah aku tahu bahwa, Om tetap tak membalas pertanyaanku.
Ini menjadi sebuah pertanyaan yang teramat besar bagiku. Entah kapan,om akan membalasnya. Tapi ya sudahlah, mungkin jika kucoba menanyakannya melalui SMS, akan dibalas olehnya.
Secara perlahan kumulai tumbuhkan kesabaran dalam jiwaku, hanya untuk menunggu jawabannya. Tapi, sayang sekali taka da pesan masuk lagi.
Huuhh…, akhirnya dengan hati yang sangat terpaksa aku pun memilih istirahat saja meskipun rasa lapar sudah menghadangku.
Ritual dalam keluargaku untuk makan malam, pastinya selalu pukul 20.05 WIB. Dan seharusnya sekarang sudah waktunya makan malam. Tapi aku nggak mood buat makan malam. Apa lagi kalau ngeliat kakakKu yang nyebelin itu. Rasanya nafsu makanku bakal hilang di telan ombak lautan bali Jakarta.
“Imah…,” panggil ibu, “Cepat keluar dan makan bersama!” lanjutnya.
Aku tak menjawabnya, karena aku yakin di kursi meja makan tepatnya di samping mamah, pasti ada kakakku. Ali Prahmana.
“Tok… tok… tok…”
Terdengarlah nada bunyi ketukan  pada pintu kamarku yang berwarna putih,terbuat dari kayu jati, yang menujukan adanya seseorang yang ingin masuk.
“Siapa?”
“Ayo makan bersama kami!” ucap ibu.
“Iya, nanti saja,Bu.”
“Jangan terlambat,ya!”
“Ya.”
Aku hanya memurungkan diriku saja, karena aku tak bisa menghilangkan kesalku pada, Kak Ali.
15 menit telah beerlalu. Aku tak keluar juga.  Dan sungguh sangat menyebalkan.  Sosok wajah yang kukesali itu membuka pintu kamarku tanpa izin.
“Uuh…,” keluhku sambil berlari ke ranjang dan langsung menutup tubuhku dengan selimut merah, bergambar Thomas.
“De, ayo makan dulu!”
“….”
“De, cepetan makan! Nanti kamu sakit.”
“Biarin. Apa peduliu padaku? Pergi aja sana! Ke kamar orang tanpa izin. Gak sopan tau.”
“Oh, masih marah?”
“Kalau iya, kenapa? Ya sudah pergi sana! Lagian ngapain makan kalau ada…”
“Kalau ada siapa? Kakak?”
“kalau iya?”
“Ya sudah kalau begitu.”
Aku tertipu oleh perkataan kakakku sendiri. Aku kira setelah kakakku bilang seperti itu, ia akan keluar dari kamarku. Akhirnya secara perlahan aku membuka selimutku.
“Daar…”
“Yah, kamu ngintip-ngintip. Pasti mau cari udara, ya?” lanjutnya.
“Kalau sudah tahu, ya sudah. Nggak usah nanya lagi! Lagian aku gak butuh ditanya sama orang sombong dan gak sopan kaya kakak.”
✲✲✲
Malam itu aku terbangun dengan sangat memalukan. Kantung mataku semuanya menggelayut seperti terkena gigitan serangga.
Karena masih kepikiran dengan jawaban,Om Reza, aku akhirnya langsung mengaktifkn hapeku dan langsung membuka facebook. Ya semoga saja ada balasan. Semoga.
Uu…h, ingin rasanya aku menjerit sekarang juga. Tapi aku sadar kalau aku menjerit pasti akan mengganggu orang lain. Mungkin karena aku termasuh anak cengeng, jadinya aku langsung menangis.
Entah seberapa besar kapasitas frekuensiku dalam menangis, sampai-sampai aku telah membuat kakakku masuk ke dalam kamarku.
“De…”
Dengan segera aku langsung menutup badanku kembali dengan selimut.
Perlahan-demi perlahan, kurasakan lembutnya belaian tangan yang sedikit kasar dan besar itu.
“De, kamu kenapa? Kok kakak dengar seperti lagi nangis?”
Awalnya aku hanya terdiam, tapi aku rasa aku butuh teman curhat.
“Kak…,” kataku lirih dengan suara yang tersedu-sedu.
“Kenapa?”
Aku langsung memeluk kakakku,”Kak, aku sedih banget. Pertama, masalah cepen. Kedua, di tambah kakak lagi yang udah bikin aku kesel.”
“Yah…, kan kakak gak tau kalau kamu lagi kesel atau sedih. Tadi kan kakak niatnya bercanda aja. De, memangnya ada apa dengan cerpenMu?”
“Tadi, om bilang kalau cerpenku enggak tau masih bisa di publikasikan lagi atau tidak di majalah.”
“Oh, itu. De, mungkin itulah takdirmu dari tuhan yang harus kau terima. Karena tuhan itu maha tahu atas segala sesuatunya.”
“Tapi, apa inikah takdiku?”
“De, Allah itu maha tahu dan maha teliti.”
Yess, I know.”
“Kalau kamu tahu ngapain masih sedih? Teruslah semangat dalam hobimu yang harus kamu kembangkan menjadi karier-mu. Terus berusaha dan doa. Kalau kita sungguh-sungguh pasti Allah akan menolong kita. Lagian Allah kan maha penolong.”
Aku hanya tersenyum dan melepaskan pelukankku dari badan, Kak Ali.
“Cie… yang udah mulai senyum. Tapi kamu makin cantik aja.”
“Apa sih, Kak.”
“Kamu udah enggak sedih lagi, kan? Kalau begitu langsung istirahat aja, ya!”
“Baiklah. Good night.

✲✲✲
Pagi yang masih mentah, ketika matahari masih terlelap dan langit terselimuti kegelapan. Aku terbangun dari tidurku setelah aku bermimpi, bahwa om telah menjawab pertanyaanku. Huuh…, memang menyebalkan sekali. Akhirnya, aku langsung segera mengakatktifkan facebookku. Ya, hanya untuk memastikan saja.
Sayang beribu sayang, semuanya nihil bagiku. Tak ada pesan yang masuk.
“Mungkin ini yang terbaik untukku. Baiklah dari pada aku susah payah bikin, mending aku publikasikan sendiri di facebookku dan blog-ku. Ya supaya orang lain bisa melihat karyaku dan bisa mereka kritik tata letak salahku.”
Azan mulai berkumandang, dengan lantunan-lantunan yang sangat merdu dan menggoda hati untuk bergetar. Ibu sudah mulai bangun dan mengetuk pintu kamarku, agar aku tidak salat terlambat.
“Imah…, bangun,Nak!”
“Iya,Bu. Aku sudah bangun.”
Aku pun langsung melaksanakan ritual seorang muslim yang tak boleh ditinggalkan, salat. Ya, salat.
Setelah aku salat subuh, aku langsung mempublikasikan delapan cerita pendekku dari 40 judul yang telah kuselsaikan. Kebetulan aku punya banyak teman dumay, ya walaupun aku tak mengenal semuanya tapi aku sangat bangga pada mereka yang telah memberi apresiasinya untukku walau hanya me-like karyaku.
Baru dua menit saja, sudah ada 2000 orang yang telah menyukainya. Belum lagi di ceritaku yang lainnya.
“Tok…Tok…Tok….”
“Siapa? Masuk saja, tak kukunci kok!”
“De, kamu habis ngepubilkasiin apa?”
“Memangnya mengapa? Aku habis ngepublikasiin cerpenku beberapa menit lalu.”
“Kamu tahu enggak? Tadi teman kakak telepon, terus dia bilang ‘ apakah Fatimah Dalillah Saukia itu adikmu?’ terus pas kakak bilang ‘ya’, dia langsung minta ketemu kamu di perusahaannya.”
“Kapan,kak?”
“Sekarang, Cantik!”
“Kak, memangnya harus di kantornya? Enggak bisa di tempat lain?”
“Oh, kamu enggak mau ke Jakarta?”
“Bukannya tidak mau, kak. Tapi aku kalau lihat Jakarta itu BOSAN banget.”
“Jadi mau enggak? Kalau mau nanti kakak anterin naik motor, sama jangan lupa data-data karyamu di simpan di flashdisk!”
“Baiklah,kak.”
Aku dan kakakku pun langsung prepare sebelum berangkat ke Jakarta. Cukup waktu 15 menit untuk bersiap-siap. Dan sebelum aku keluar kamar, kakakku sudah meminta izin pada ibuku untuk mengantarkanku ke Jakarta.
Setelah , kaka li sudah stand by di motornya, aku langsung pamit dan mecium punggung tangan ibu. Serta berjanji mala mini juga akan segera sampai di rumah.
“Ayo naik cepetan!”
Aku langsung duduk di belakang kakakku yang akan mengendarai motor ninjanya yang berwarnah merah cerah.
Seperti kilat yang menyambar dengan kecepatan tinggi. Atau seperti waktu yang sangat bergerak dengan cepat. Bisa jadi sih…. Sumpah, rasanya seperti terbang dan melayang jauh ke udara. Apa mungkin karena dia lelaki yang selalu membawa motor dengan kecepatan tinggi. Mungkin juga.
Entahlah, yang penting sekarang aku merasa senang dan khawatir. Kupegang erat tubuh, Kak Ali yang sedikit membungkuk ke depan. Kusandarkan kepalaku pada punggungnya, sehingga aku merasa lebih nyaman.
Jarak dari Tasik menuju Jakarta, hanya kami tempuh dengan kurang lebih tiga jam. Dan seharusnya membutuhkan wkatu empat atau lima jam, untuk pengguna motor. Mungkin karena kakakku membawanya ngebut, jadinya agak lebih cepat. Tapi, ya sudahlah. Cepat lebih baik.
Setelah kami sampai di darerah Jakarta, kakak mendapat SMS dari temannya, bahwa kami harus menuju rumahnya saja, tak perlu ke kantornya.
“De, tapi kamu udah bawa data-datanya,kan?”
“Tentu, dong!”
“Ya sudah, kalo begitu kita langsung ke rumah, Kak Lita aja, ya!”
“Siapa?”
“Ya, teman kakak yang mau ketemu kamu.”
Kami langsung melanjutkan perjalanan kami menuju rumah, Kak Lita. Yaah…, lumayan deket juga rumahnya. Dengan waktu sepuluh menit setelah kami istirahat sejenak karena tadi mendapat pesan dari kak Lita.
Sesampai di rumahnya Kak Lita, kami langsung di persilahkan masuk sebelum kami menekan tombol bel. Karena tuan rumah sudah menanti kami beberapa menit lalu.
“Hai, ini adikmu yang namanya, Imah?”
“Iya, Lit. Dia, Imah yang tadi pagi habis nge-publikasiin karyanya.”
“Hai, Imah. Namaku, Lita Pangestu. Biasa di panggil Lita.”
“Hai juga, Kak.”
“”Oh, iya. Karya kamu bagus banget lho! Tapi maaf aku belum baca semua puisi kamu. Tapi baru satu yang aku baca, dan itu sangat menjiwai banget. Jujur keren banget kamu, De.”
“Terimakasih,Kak. Aku bahagia mendengarnya.”
“Boleh aku lihat data-datanya? Kamu bawa datanya, kan?”
“Tentu, Kak. Ini data-data karyaku.”
“berarti ada puisi juga?”
“Insya Allah…, di situ ada 40 cerita pendekku yang sudah aku ketik.”
Dan aku pun langsung memberikan data-datanya pada, Kak Lita. Kak Lita, tidak membaca dataku melainkan menyalinnya. Ya, menyalin agar kami tidak membuang waktu yang lama di sini. Karena ia juga khawatir nanti kami pulang terlalu malam.
“De, datanya sudah aku salin. Dan ini flashdisk-nya. Nanti kalau kakak sudah baca semua dan hasilnya memuaskan, nanti kakak kabarin kamu lagi, ya! Semoga saja nanti karyamu bisa di bukukan.”
Dengan ekspresi wajah terkejut aku pun berkata, “ Di bukuksn, Kak?”
“Iya! Kenapa, tidak boleh?”
“Bukan, Kak. Tapi aku bahagia sekali.”
“Iy, Lit. dia sedih banget kemarin. Makanya sekarang dia senengnya melebihi.”
“Oh, sedih kenapa?”
“Biasanya kan dia ngirim karyanya ke majalah Om kami. Tapi sekarang sudah tidak lagi.”
“oh, ya sudah. Semoga karyamu bisa di bukukan, ya!”
“Lit, kami harus cepat segera pulang kembali, soalnya kami sudah janji sama ibu, kalau malam ini kami akan sampai di rumah,” jelas kakakku.
“Oh, ya sudah kalo begitu. Terimakasih atas kedatangan kalian dan maaf telah membuat kalian lelah.”
Never mind,” jawab Kak Ali.”Ya sudah, kami pamit, ya!”
“Silahkan. Hati-hati di jalan, ya!”
“Tentu….”
✲✲✲          
Karena kami main dulu di puncak, jadinya kami pulang sedikit larut malam. Yah, jadinya kami pulang dalam keadaan terkunci dan kami hampir tidak bisa masuk ke dalam rumah.tapi…, untungnya kakakku punya kunci cadangan, jadinya kami pun bisa masuk.
“Mah, Pah….”
Kupanggil-panggil orangtuaku. Tapi sepertinya mereka sudah tertidur. karena kami terlalu cape, jadinya kami langsung tertidur di sofa ruang keluarga.
“Ali,Imah…, cepetan bangun!”
Mmm…, mataku masih terasa berat untuk kubuka.  Begitupun ,Kak Ali yang sangat sulit di bangunkan. Biasalah namanya juga cowok. Jadi harus di katakana wajar meski tak baik.
Mungin kali, ya? Kami kebablasan tidur lagi gara-gara Mamah banguninnya hanya sebentar saja, tak sampai nyawaku kumpul semua. Tapi entahlah, tak boleh nyalahin orang lain.
Aku terbangun gara-gara mendengar nada ponselku yang menandakan satu panggilan masuk.
L is for the way you look at me
O is for only one I see
V is very very extraordinary
E is even more then…
Sebelum lagu Love yang dinyanyikan oleh, Natalie Cole itu berhenti aku langsung mengangkat dan menerima panggilan masuk itu.
Nomor yang tak kukenali.
“Hallo, ini siapa?”
“Ini,Kak Lita.”
“Kok,Kakak tahu nomorku?”
“Dari facebookmu. Oh ya, buku karyamu sudah aku baca 20 judul. Itu semua menarik sekali bagiku, dan semoga saja menarik juga bagi orang lain. Insya Allah, hari ini akan dibukukan.”
“Sungguh,kak?”
“Iya dong, nanti kalo sudah laris dan banyak yang minat, aku kirim ke rumahmu.”
“Baiklah. Terimakasih, kak!”
“Iya. Kalo gitu udah dulu ya! Kakak mau ngelanjutin tugas. Dadaaah….”
Sebelum aku membalas jawabannya, sayang sekali panggilan sudah di akhiri.
Masya Allah! Aku sangat bahagia sekali. Memang benar, ya. Allah itu maha tahu dan adil. Semoga saja ini takdirku yang akan membawa kesuksesan menarik untukku.
✲✲✲
Setelah satu bulan lamanya, buku hasil karyaku yang berjudul ‘karya Imah’ itu sudah menjadi buku yang best seller, dan aku sudah mendapat kiriman buku yang telah di janjikan teman kakakku itu, akhirnya aku mulai memberi tahu keberuntunganku pada keluargaku.
Dan Alhamdulillah sekali, mereka pun menerimanya dengan sangat amat bahagia.
Dan setelah itu pula, banyak sekali kawan sebayaku yang datang ke rumahku da nada yang ingin foto bareng, bahkan minta tanda tangan. Wow…, Amazing! Selain itu juga, kini banyak sekali wartawan pers dari yang berstandar nasional smpai internasional, datang untuk mewawancaraiku.
Dan…, kini aku menjadi semangat berkarya untuk dunia jurnalis, seperti catat-mencatat ini.

The End

0 comments:

Post a Comment

 
;