Antara cinta dan kasih sayang
Semua
mata terkesima menatap sosok yang yang berdiri seperti magnet di depan daun
pintu rumah milik salah seorang pengusaha. Dia cantik, wajahnya selalu
memancarkan pesona yang sempurna. “Deris” ya semua orang yang mengenal ayahnya
pasti akan mengenal gadis polos berhati anggun ini. Selain dia anak yang baik
hati, dia juga rajin dalam SPIRITUAL-nya.
Ya,
seperti itulah orang mengenalku. Dan semua orang yang mengenalku selalu mengira
bahwa hidupku selalu BAHAGIA. Ya, memang aku hidup bahagia, saaaangat bahagia,
tapi tanpa CINTA dan KASIH SAYANG.
Hidup
tanpa cinta bagaikan sop tanpa sayuran. Begitupun hidup tanpa kasih sayang
bagaikan sayur sop tanpa bumbu. Itulah hidupku. Hidupku terasa hampa. Dan hanya
seperti benalu saja. Benalu yang tak penting dan alangkah baiknya dimusnahkan.
Karena benalu itu pada faktanya memang hidup menumpang seperti parsit pada
inangnya dan tak banyak gunanya.
Orang
tuaku sangat baik padaku, tapi aku tak butuh kebaikan itu!! Untuk apa kasih sayang
dan cinta kedua orang tuaku dialihkan kepada Bibi? Simbok yang sangat amat
lebih baik padaku. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Simbok, tapi
di sisi lain aku sangat membutuhkan juga kasih sayang dari orang tuaku.
Aku
terlahir karena kedua orang tuaku telah menanam bibit cinta dan kasih sayang
yang setia. Tapi, kenapa aku terlahir tanpa kelengkapan. Orang tuaku memang
mencintaiku, tapi apa guna tanpa sebuah kasih dan sayang.
Mamah,
ia selalu patuh pada aturan Ayah. Ayah, selalu AROGAN pada pendiriannya. Egois.
Ia selalu mementingkan dirinya tanpa memikirkan perasaan anaknya.
✲✲✲
“Deris, kamu harus pindah sekolah
minggu ini juga!” ucap Ayah, tegas.
Dengan terkejut aku berkata, “Apa?”
“Ya, kamu harus pindah sekolah
minggu ini. Ayah tak ingin kamu di kejuruan.”
“Ayah, kenapa ayah harus melarang
aku? bukan kah aku yang menjalaninya?”
“Ayah tahu, tapi kamu sebagai anak
seorang pengusaha seharusnya sekolah di tempat yang berbasis dong.”
“Keterlaluan! Ayah itu selalu
egois, semua sekolah sama saja, Ayah.”
“Pokonya ayah enggak mau tahu, minggu depan kamu sudah tidak sekolah
di sekolah kejuruan itu. Kamu haus sekolah di bidang pengetahuan alam!”
“IPA? Apa ayah enggak salah? Aku
anak kejuruan, dan enggak mungkin bisa pindah ke sekolah yang berbasis dengan
bidang itu, Ayah.”
“Kamu tak perlu memikirkan hal itu,
Ayah akan mengurusnya.”
“Bukan ayah tapi asisten ayah,
kan?” jawabku sedikit meledek.
“Kenapa enggak suka?”
“Ayah hanya bisa mengandalkan saja.
Ayah tak pernah mementingkan perasaan anaknya,” Ucapku sambil berlari
meninggalkan ruang kerja Ayah.
“Deris…,” teriaknya.
Aku tak mementingkan panggilannya,
karena itu hanya akan membuatku hancur.
Aku berlari tanpa memikirkan
karyawan ayahku yang sepanjang jalan menyambutku dengan senyuman mereka. Aku tak
tahu apakah itu keikhlasan atau … paksaan? Tapi biarlah! Aku yakin pasti mereka
ikhlas.
Hingga di penghujung pintu dapur,
aku langsung mencari Simbok.
“Bibi… dimana? Aku sedih.”
“Bibi… Bibi dimana?” panggilku
semakin kencang.
“Non, Simbok lagi masak. Maaf ya,” jawab simbok dengan penuh lelah.
“Bi, kenapa sih aku terlahir dari
keluarga yang membuat iri orang lain?”
“Maksudnya apa toh, Non?”
“Orang selalu berkata bahwa hidupku
itu enak banget. Tapi mana buktinya? Bukankah mereka yang hidup lebih bahagia?”
“Non, ketika jari tangan terluka,
apa semua akan merasakan sakitnya luka jari tangan itu?”
“Tidak,” jawabku sambil
menggelengkan kepala.
“Ya mereka juga seperti itu. Mereka
bisa melihat, Non sepertinya bahagia tapi mereka tak bisa merasakan betapa
perihnya perjalanan hidup Non,” jelas Simbok.
“Bi, minggu depan aku harus sudah
pindah sekolah. Ayah yang memintaku, tapi aku tidak mau, Bi.”
“Kenapa tidak mau? Bukankah sebagai
anak itu harus patuh pada orang tua.”
“Ya, aku tahu akan hal itu. Tapi
aku sudah cape dan MUUUAK mendengar kata-kata ayah. Dia hanya bisa
nyuruh-nyuruh-nyuruh dan nyuruh kerjaannya. Dia itu enggak bisa ngertiin apa
yang anaknya harapkan. Dia juga egois.”
“Sssuut…!! Tak boleh kita berbicara
seperti itu, apa lagi pake kata DIA. Itu tidak sopan, Non.”
“Biarlah! Aku sudah tak
mementingkan dia lagi. Aku bagaikan sayur sop tanpa bumbu. Enggak enak.
Hambar.”
“....”
✲✲✲
Jam kukuk di kamarku baru saja
berhenti dari teriakannya yang berualang kali tanpa henti selama lima menit.
Aku masih bengong di atas ranjangku. Tiba-tiba aku kaget ketika daun pintu
kamarku terdengar seperti di ketuk oleh seseorang. Dan emang di ketuk sih sama
simbok.
Tok… tok… tok
Engan hati yakin pasti itu simbok.
Siapa lagi yang akan mengetuk pintu kamarku selain Simbok. Mamah… enggak
mungkin. Ayah… idih mana mau masuk ke kamarku.
“Iya, masuk aja, Bi!” jawabku.
“Non, ini seragam sekolah barunya,”
ucap simbok sambil menyodorkan tangannya padaku sambil membawa seragam sekolah
baruku.
“Hah.. sekolah baru? No no no!!! can’t believe at all.”
“Mau gimana lagi sih, kita harus
nurut aja. Mungkin di balik semua ini aka nada hikmah untukmu atau…”
“Kedua orangtuaku? Enggak mungkin!
Ya sudah simpan saja baju itu di meja, aku mau mandi dulu.”
“Baiklah. Nanti Pak Parjo yang
anter kamu.”
“Pak Parjo, Pak Parjo dan Pak Parjo
kerjaannya.”
“Simbok keluar ya, simbok mau
lanjutin masak buat sarapan.”
“Baiklah, makasih Simbok.”
Setengah jam telah berlalu,
waktunya OTW alias berangkat sekolah. Sebelum berangkat sekolah aku pasti harus
selalu ketemu namanya My Father yang
sok banget. Ya Tuhan… kenapa semua ini harus terjadi padaku?
Sebelum aku melihat kedua
orangtuaku stand by di meja makan, aku
langsung mengambil dua potong roti sobek
tanpa selai, dan langsung go! Lariii
naik mobil yang sudah dari pagi di sediakan oleh Pak Parjo.
“Pak, ayo berangkat!”
“Kok tumben cepet? Udah sarapan
belum sama cipika-cipiki ke your parent?”
Tanya Pak Parjo yang sok bahasa inggris.
“Udah cepetan Pak, aku bisa telat
nih kalo enggak berangkat sekarang.”
“Laksanakan tuan putri,” candanya.
✲✲✲
Sekitar satu jam mungkin waktu yang
telah aku tempuh bersama supir pribadiku
yang sengaja ayah suruh untuk menjagaku.
Kukira aku tak akan terlambat, tapi
ternyata kebalikannya. Aku terlambat 20 menit. Memalukan. Aku langsung menuju
ruang kantor untuk di tunjukan dan di antarkan masuk kedalam kelas baruku.
Kutatap di atas daun pintu kelas
yang bertuliskan “kelas XI IPA 1”. Wow… amazing!! Aku mendapat kelas tingkat
atas. Tapi ini karena aku atau karena ayahku
yang meminta? Tapi biarlah, ini
pintu utamaku untuk lebih rajin lagi dalam belajar.
“Baiklah anak-anak, hari ini kita
kedatangan tamu baru yang pindahan dari kelas kejuruan,” ucap guru yang sedang
mengajar murid-murid yang akan menjadi sahabatku.
“Siapa namanya,Bu?” Tanya salah
satu murid laki-laki.
“Boleh kamu memperkenalkan diri?”
Tanya guru itu.
Tanpa basa-basi lagi aku langsung
memperkenalkan diriku.
Nama saya Deris Dost Khan, kalian bisa memanggil saya Deris
atau DK yang berarti Dost Khan. Saya
pindahan dari kelas kejuruan. Alasan saya pindah kesini karena orang tua saya yang memintanya.
Saya sangat berharap kalian bisa bekerja sama dalam masalah belajar. Dan saya
berharap kita semua bisa menjadi satu team yang kompak. Mungkin itu saja
perkenalan saya. Dan jika ada yang ingin di tanyakan mungkin bisa nanti saja
secara pribadi. Terimaksih.
“Terimakasih Deris.”
“Sama-sama.”
“Kamu bisa langsung duduk di tempat
yang kamu suka.”
Aku pun langsung duduk di kursi
yang yang sekiranya kosong dan bisa aku
gunakan.
“Boleh aku duduk di sini?”
“Duduk saja,” jawab laki-laki yang
akan duduk bersamaku dengan dingin.
“Oh iya, kalian tak boleh berlaku jahat atau membuat teman baru kalian merasa tak nyaman!”
lanjut Bu Guru.
“Kenapa?” Tanya murid perempuan
yang duduk tepat di hadapan meja Bu Guru.
“Kalian kenal dengan pengusaha yang
bernama Salman Dost Khan?”
Seisi kelas menjawab, “Yap.”
“Bagus. Deris adalah putri dari
beliau.”
“Maaf, Bu. Saya berharap ibu tidak
perlu melanjutkan identitas
saya!”
“Baiklah.”
✲✲✲
Hampir dua minggu aku bersekolah
disini, tapi entah kenapa aku hanya bisa dekat dengan Davy, yang duduk
disebelahku. Itu juga enggak pernah ngobrol. Sedih.
Tanggal 23 adalah tanggal
kesayanganku. Mungkin itu karena aku lahir pada tanggal 23. Mungkin. Di tanggal
ini aku ingin bertanya pada Dav mengenai alas an mereka yang tak dekat
denganku.
Deangan ragu aku mulai bertanya,
“Dav, ada yang mau aku tanyain ke kamu.”
“Apa?” jawabnya simpel.
“Aku heran deh kenapa anak-anak
enggak pada deket sama aku? dan kenapa mereka seperti aneh sama aku?”
“….”
“Dav…”
“Karena kamu anak pengusaha yang
sangat menyebalkan.”
“Menyebalkan?”
“Enggak, aku bercanda. Mereka kalau
berteman denganmu takut akan membuatmu kecewa. Dan kalau kamu kecewa, nanti
bisa-bisa orang tua kamu bawa grombolan petir ke kelas ini.”
“Ada-ada ajah kamu ini.”
“Serius.”
“Dav, aku udah dewasa, dan jika
kalian membuat akunkecewa untuk apa aku ngadu ke ayah toh dia enggak akan
peduli sama anaknya sendiri.”
“Kok enggak peduli gitu?” tanyanya
penuh heran.
“kamu bisa lihat enggak ketika jari
tangnku terluka?”
“Bisa.”
“Tapi kmau bisa rasakan enggak
seberapa perihnya luka itu?”
“Enggak.”
“Ya, itulah aku. setiap orang yang
mengenalku atau ayahku pasti selalu berkata bahwa hidupku itu enak. Kalian
berkata seperti itu karena hanya melihat dari sisi luarnya saja. Tanpa
merasakan perihnya luka di hidupku.”
“…”
“Ayahku egois, karena kekayaan dan
derajat ia menjadi lupa akan diri orang lain. Setiap orang pasti akan hidup
bersama cinta dan kasih sayang. Tapi aku tidak. Aku hidup diantara cinta dan
kasih sayang. Cinta dari orangtuaku dan kasih sayang dari simbok yang kuanggap
bagian dari keluargaku,” jelasku yang tanpa sadar meneteskan butiran-butiran
iar mata.
“Ris, maaf aku enggak bermaksud
bikin kamu sedih. Nanti aku bilang deh sama temen-temen buat deketin kamu.”
“Enggak usah. Aku sudah tak perlu
akan hal itu. Yang kubutuhkan kasih sayang. Untuk apa aku hidup yang hanya
dilihat dari luar saja oleh semua orang.”
“Ris, kamu bisa tergolong egois
kalau kayak gini. Lagian kamu juga belum tentu bisa merasakan atau tahu
bagaimana perasaan orang lain. Please,
hidup kamu yang jalanin, tapi kamu bukanlah milik siapa-siapa selain
penciptamu. Berserahlah padanya,” ucap Dav yang mencoba memelukku.
Aku tebalut dalam kehangatan Dav
yang terasa sangat Ikhlas memberikan pelukan itu. Tapi apa karena dia kasian
juga sama aku. tapi sudahlah. Dav
berdiri sambil memelukku dan berkata,
“Hei, kawan. Kita sebagai sahabat
dan kita disini adalah satu tubuh,
seharusnya kita tak perlu menjauh dari gadis ini, ia tak bersalah. Dan kita pun
tak bersalah oleh sebab itu musnahkanlah pikiran negatif kalian tentang Deris!”
Jujur aku sangat malu sekali. Baru
kali ini ada orang yang berani menyentuhku. Dav, ini mungkin akan menjadi sahabat terbaikku atau….
“Dav…”
panggilku. “Kenapa kamu lakukan hal itu? Aku kan jadi malu!”
“Malu
kenapa? Ngapain malu, kamu kan anak pengusaha yang pastinya di hormati semua
orang. Apa lagi kebaikanmu.”
“Masalahnya…
ma… salahnya… masalahnya kamu sambil meluk aku.”
“Der,
sebenarnya dari awal aku lihat kamu, aku udah mulai ada rasa sama kamu. Tapi
aku gengsi lah, masa anak yang lahir dari keluarga sederhana sukanya sama anak
yang terlahir dari tingkat atas.”
“Dav,
aku paling gak suka sama orang yang selalu memandang hal martabat! Kamu cinta
atau sayang sama aku?”
“Der,
aku hanya sekedar suka ajah kok.”
Kutatap
matanya yang sedikit berbinar. Wajahnya yang sudah mulai merah seakan-akan
memberitahukan bahwa, Dav lagi nerves.
“Oh,
makasih ya Dav, kamu baik banget sama aku,”jawabku manis.
“Sama-sama.”
Percakapan
kami pun terhenti ketika serentakan satu kelas tertuju pada percakapan kami.
“Ciee….
Cie…”
Uuh
sebenarnya ini memalukan tapi… ya sudahlah! Ini pengalaman terbaruku yang
sangat menyenangkan dari pada di rumah, BETE banget rasanya.
The End
0 comments:
Post a Comment