Wednesday, June 3, 2015

cerpen judul "Antara cinta dan kasih sayang"

Antara cinta dan kasih sayang
Semua mata terkesima menatap sosok yang yang berdiri seperti magnet di depan daun pintu rumah milik salah seorang pengusaha. Dia cantik, wajahnya selalu memancarkan pesona yang sempurna. “Deris” ya semua orang yang mengenal ayahnya pasti akan mengenal gadis polos berhati anggun ini. Selain dia anak yang baik hati, dia juga rajin dalam SPIRITUAL-nya.
Ya, seperti itulah orang mengenalku. Dan semua orang yang mengenalku selalu mengira bahwa hidupku selalu BAHAGIA. Ya, memang aku hidup bahagia, saaaangat bahagia, tapi tanpa CINTA dan KASIH SAYANG.
Hidup tanpa cinta bagaikan sop tanpa sayuran. Begitupun hidup tanpa kasih sayang bagaikan sayur sop tanpa bumbu. Itulah hidupku. Hidupku terasa hampa. Dan hanya seperti benalu saja. Benalu yang tak penting dan alangkah baiknya dimusnahkan. Karena benalu itu pada faktanya memang hidup menumpang seperti parsit pada inangnya dan tak banyak gunanya.
Orang tuaku sangat baik padaku, tapi aku tak butuh kebaikan itu!! Untuk apa kasih sayang dan cinta kedua orang tuaku dialihkan kepada Bibi? Simbok yang sangat amat lebih baik padaku. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Simbok, tapi di sisi lain aku sangat membutuhkan juga kasih sayang dari orang tuaku.
Aku terlahir karena kedua orang tuaku telah menanam bibit cinta dan kasih sayang yang setia. Tapi, kenapa aku terlahir tanpa kelengkapan. Orang tuaku memang mencintaiku, tapi apa guna tanpa sebuah kasih dan sayang.
Mamah, ia selalu patuh pada aturan Ayah. Ayah, selalu AROGAN pada pendiriannya. Egois. Ia selalu mementingkan dirinya tanpa memikirkan perasaan anaknya.
✲✲✲
“Deris, kamu harus pindah sekolah minggu ini juga!” ucap Ayah, tegas.
Dengan terkejut aku berkata, “Apa?”
“Ya, kamu harus pindah sekolah minggu ini. Ayah tak ingin kamu di kejuruan.”
“Ayah, kenapa ayah harus melarang aku? bukan kah aku yang menjalaninya?”
“Ayah tahu, tapi kamu sebagai anak seorang pengusaha seharusnya sekolah di tempat yang berbasis dong.”
“Keterlaluan! Ayah itu selalu egois, semua sekolah sama saja, Ayah.”
“Pokonya ayah enggak mau  tahu, minggu depan kamu sudah tidak sekolah di sekolah kejuruan itu. Kamu haus sekolah di bidang pengetahuan alam!”
“IPA? Apa ayah enggak salah? Aku anak kejuruan, dan enggak mungkin bisa pindah ke sekolah yang berbasis dengan bidang itu, Ayah.”
“Kamu tak perlu memikirkan hal itu, Ayah akan  mengurusnya.”
“Bukan ayah tapi asisten ayah, kan?” jawabku sedikit meledek.
“Kenapa enggak suka?”
“Ayah hanya bisa mengandalkan saja. Ayah tak pernah mementingkan perasaan anaknya,” Ucapku sambil berlari meninggalkan ruang kerja Ayah.
“Deris…,” teriaknya.
Aku tak mementingkan panggilannya, karena itu hanya akan membuatku hancur.
Aku berlari tanpa memikirkan karyawan ayahku yang sepanjang jalan menyambutku dengan senyuman mereka. Aku tak tahu apakah itu keikhlasan atau … paksaan? Tapi biarlah! Aku yakin pasti mereka ikhlas.
Hingga di penghujung pintu dapur, aku langsung mencari Simbok.
“Bibi… dimana? Aku sedih.”
“Bibi… Bibi dimana?” panggilku semakin kencang.
“Non, Simbok lagi masak. Maaf  ya,” jawab simbok dengan  penuh lelah.
“Bi, kenapa sih aku terlahir dari keluarga yang membuat iri orang lain?”
“Maksudnya apa toh, Non?”
“Orang selalu berkata bahwa hidupku itu enak banget. Tapi mana buktinya? Bukankah mereka yang hidup lebih bahagia?”
“Non, ketika jari tangan terluka, apa semua akan merasakan sakitnya luka jari tangan itu?”
“Tidak,” jawabku sambil menggelengkan kepala.
“Ya mereka juga seperti itu. Mereka bisa melihat, Non sepertinya bahagia tapi mereka tak bisa merasakan betapa perihnya perjalanan hidup Non,” jelas Simbok.
“Bi, minggu depan aku harus sudah pindah sekolah. Ayah yang memintaku, tapi aku tidak mau, Bi.”
“Kenapa tidak mau? Bukankah sebagai anak itu harus patuh  pada orang tua.”
“Ya, aku tahu akan hal itu. Tapi aku sudah cape dan MUUUAK mendengar kata-kata ayah. Dia hanya bisa nyuruh-nyuruh-nyuruh dan nyuruh kerjaannya. Dia itu enggak bisa ngertiin apa yang anaknya harapkan. Dia juga egois.”
“Sssuut…!! Tak boleh kita berbicara seperti itu, apa lagi pake kata DIA. Itu tidak sopan, Non.”
“Biarlah! Aku sudah tak mementingkan dia lagi. Aku bagaikan sayur sop tanpa bumbu. Enggak enak. Hambar.”
“....”
✲✲✲
Jam kukuk di kamarku baru saja berhenti dari teriakannya yang berualang kali tanpa henti selama lima menit. Aku masih bengong di atas ranjangku. Tiba-tiba aku kaget ketika daun pintu kamarku terdengar seperti di ketuk oleh seseorang. Dan emang di ketuk sih sama simbok.
Tok… tok… tok
Engan hati yakin pasti itu simbok. Siapa lagi yang akan mengetuk pintu kamarku selain Simbok. Mamah… enggak mungkin. Ayah… idih mana mau masuk ke kamarku.
“Iya, masuk aja, Bi!” jawabku.
“Non, ini seragam sekolah barunya,” ucap simbok sambil menyodorkan tangannya padaku sambil membawa seragam sekolah baruku.
“Hah.. sekolah baru? No no no!!! can’t believe at all.”
“Mau gimana lagi sih, kita harus nurut aja. Mungkin di balik semua ini aka nada hikmah untukmu atau…”
“Kedua orangtuaku? Enggak mungkin! Ya sudah simpan saja baju itu di meja, aku mau mandi dulu.”
“Baiklah. Nanti Pak Parjo yang anter kamu.”
“Pak Parjo, Pak Parjo dan Pak Parjo kerjaannya.”
“Simbok keluar ya, simbok mau lanjutin masak buat sarapan.”
“Baiklah, makasih Simbok.”
Setengah jam telah berlalu, waktunya OTW alias berangkat sekolah. Sebelum berangkat sekolah aku pasti harus selalu ketemu namanya My Father yang sok banget. Ya Tuhan… kenapa semua ini harus terjadi padaku?
Sebelum aku melihat kedua orangtuaku  stand  by di meja makan, aku langsung mengambil  dua potong roti sobek tanpa selai, dan langsung go! Lariii naik mobil yang sudah dari pagi di sediakan oleh Pak Parjo.
“Pak, ayo berangkat!”
“Kok tumben cepet? Udah sarapan belum sama cipika-cipiki ke your parent?” Tanya Pak Parjo yang sok bahasa inggris.
“Udah cepetan Pak, aku bisa telat nih kalo enggak berangkat sekarang.”
“Laksanakan tuan putri,” candanya.
✲✲✲
Sekitar satu jam mungkin waktu yang telah aku tempuh bersama supir pribadiku  yang sengaja ayah suruh untuk menjagaku.
Kukira aku tak akan terlambat, tapi ternyata kebalikannya. Aku terlambat 20 menit. Memalukan. Aku langsung menuju ruang kantor untuk di tunjukan dan di antarkan masuk kedalam  kelas baruku.
Kutatap di atas daun pintu kelas yang  bertuliskan “kelas XI IPA 1”. Wow… amazing!! Aku mendapat kelas tingkat atas. Tapi ini karena aku atau karena ayahku  yang  meminta? Tapi biarlah, ini pintu utamaku untuk lebih rajin lagi dalam belajar.
“Baiklah anak-anak, hari ini kita kedatangan tamu baru yang pindahan dari kelas kejuruan,” ucap guru yang sedang mengajar murid-murid yang akan menjadi sahabatku.
“Siapa namanya,Bu?” Tanya salah satu murid laki-laki.
“Boleh kamu memperkenalkan diri?” Tanya guru itu.
Tanpa basa-basi lagi aku langsung memperkenalkan diriku.
Nama saya Deris Dost Khan, kalian bisa memanggil saya Deris atau DK yang berarti Dost Khan.  Saya pindahan dari kelas kejuruan. Alasan saya pindah  kesini karena orang tua saya yang memintanya. Saya sangat berharap kalian bisa bekerja sama dalam masalah belajar. Dan saya berharap kita semua bisa menjadi satu team yang kompak. Mungkin itu saja perkenalan saya. Dan jika ada yang ingin di tanyakan mungkin bisa nanti saja secara pribadi. Terimaksih.
 “Terimakasih Deris.”
“Sama-sama.”
“Kamu bisa langsung duduk di tempat yang kamu suka.”
Aku pun langsung duduk di kursi yang  yang sekiranya kosong dan bisa aku gunakan.
“Boleh aku duduk di sini?”
“Duduk saja,” jawab laki-laki yang akan duduk bersamaku dengan dingin.
“Oh iya, kalian  tak boleh berlaku jahat atau  membuat teman baru kalian merasa tak nyaman!” lanjut Bu Guru.
“Kenapa?” Tanya murid perempuan yang duduk tepat di hadapan meja Bu Guru.
“Kalian kenal dengan pengusaha yang bernama Salman Dost Khan?”
Seisi kelas menjawab, “Yap.”
“Bagus. Deris adalah putri dari beliau.”
“Maaf, Bu. Saya berharap ibu tidak perlu  melanjutkan  identitas  saya!”
“Baiklah.”
✲✲✲
Hampir dua minggu aku bersekolah disini, tapi entah kenapa aku hanya bisa dekat dengan Davy, yang duduk disebelahku. Itu juga enggak pernah ngobrol. Sedih.
Tanggal 23 adalah tanggal kesayanganku. Mungkin itu karena aku lahir pada tanggal 23. Mungkin. Di tanggal ini aku ingin bertanya pada Dav mengenai alas an mereka yang tak dekat denganku.
Deangan ragu aku mulai bertanya, “Dav, ada yang mau aku tanyain ke kamu.”
“Apa?” jawabnya simpel.
“Aku heran deh kenapa anak-anak enggak pada deket sama aku? dan kenapa mereka seperti aneh sama aku?”
“….”
“Dav…”
“Karena kamu anak pengusaha yang sangat menyebalkan.”
“Menyebalkan?”
“Enggak, aku bercanda. Mereka kalau berteman denganmu takut akan membuatmu kecewa. Dan kalau kamu kecewa, nanti bisa-bisa orang tua kamu bawa grombolan petir ke kelas ini.”
“Ada-ada ajah kamu ini.”
“Serius.”
“Dav, aku udah dewasa, dan jika kalian membuat akunkecewa untuk apa aku ngadu ke ayah toh dia enggak akan peduli sama anaknya sendiri.”
“Kok enggak peduli gitu?” tanyanya penuh heran.
“kamu bisa lihat enggak ketika jari tangnku terluka?”
“Bisa.”
“Tapi kmau bisa rasakan enggak seberapa perihnya luka itu?”
“Enggak.”
“Ya, itulah aku. setiap orang yang mengenalku atau ayahku pasti selalu berkata bahwa hidupku itu enak. Kalian berkata seperti itu karena hanya melihat dari sisi luarnya saja. Tanpa merasakan perihnya luka di hidupku.”
“…”
“Ayahku egois, karena kekayaan dan derajat ia menjadi lupa akan diri orang lain. Setiap orang pasti akan hidup bersama cinta dan kasih sayang. Tapi aku tidak. Aku hidup diantara cinta dan kasih sayang. Cinta dari orangtuaku dan kasih sayang dari simbok yang kuanggap bagian dari keluargaku,” jelasku yang tanpa sadar meneteskan butiran-butiran iar mata.
“Ris, maaf aku enggak bermaksud bikin kamu sedih. Nanti aku bilang deh sama temen-temen buat deketin kamu.”
“Enggak usah. Aku sudah tak perlu akan hal itu. Yang kubutuhkan kasih sayang. Untuk apa aku hidup yang hanya dilihat dari luar saja oleh semua orang.”
“Ris, kamu bisa tergolong egois kalau kayak gini. Lagian kamu juga belum tentu bisa merasakan atau tahu bagaimana perasaan orang lain. Please, hidup kamu yang jalanin, tapi kamu bukanlah milik siapa-siapa selain penciptamu. Berserahlah padanya,” ucap Dav yang mencoba memelukku.
Aku tebalut dalam kehangatan Dav yang terasa sangat Ikhlas memberikan pelukan itu. Tapi apa karena dia kasian juga sama aku. tapi sudahlah. Dav  berdiri sambil memelukku dan berkata,
“Hei, kawan. Kita sebagai sahabat dan kita disini adalah satu  tubuh, seharusnya kita tak perlu menjauh dari gadis ini, ia tak bersalah. Dan kita pun tak bersalah oleh sebab itu musnahkanlah pikiran negatif  kalian tentang Deris!”
Jujur aku sangat malu sekali. Baru kali ini ada orang yang berani menyentuhku. Dav, ini  mungkin akan menjadi sahabat terbaikku  atau….
“Dav…” panggilku. “Kenapa kamu lakukan hal itu? Aku kan jadi malu!”
“Malu kenapa? Ngapain malu, kamu kan anak pengusaha yang pastinya di hormati semua orang. Apa lagi kebaikanmu.”
“Masalahnya… ma… salahnya… masalahnya kamu sambil meluk aku.”
“Der, sebenarnya dari awal aku lihat kamu, aku udah mulai ada rasa sama kamu. Tapi aku gengsi lah, masa anak yang lahir dari keluarga sederhana sukanya sama anak yang terlahir dari tingkat atas.”
“Dav, aku paling gak suka sama orang yang selalu memandang hal martabat! Kamu cinta atau sayang sama aku?”
“Der, aku hanya sekedar suka ajah kok.”
Kutatap matanya yang sedikit berbinar. Wajahnya yang sudah mulai merah seakan-akan memberitahukan bahwa, Dav lagi nerves.
“Oh, makasih ya Dav, kamu baik banget sama aku,”jawabku manis.
“Sama-sama.”
Percakapan kami pun terhenti ketika serentakan satu kelas tertuju pada percakapan kami.
“Ciee…. Cie…”
Uuh sebenarnya ini memalukan tapi… ya sudahlah! Ini pengalaman terbaruku yang sangat menyenangkan dari pada di rumah, BETE banget rasanya.

The End

0 comments:

Post a Comment

 
;