I will end my way with him
“Setelah lulus ini kamu mau
kuliah dimana, Say?”
“Aku?” jawabku haru.
“Kenapa kamu? Kok kayak enggak
ada tujuan?”
“Enggak apa-apa. Aku hanya….”
“Ya sudah, kita pergi aja yuk,”
lanjutku untuk mengalihkan tofik pembicaraan.
“Kamu kenapa sih? Kamu sakit?
Atau… kamu males jalan sama aku?”
“Enggak. Aku enggak apa-apa kok.”
“Yakin? Kalau ada masalah bilang
aku, ya!”
“Iya,” jawabku sambil tersenyum.
“Ya udah, let’s get something to eat, yuk!”
“Makan?”
“Iya. Sekarang udah jam makan
kali, masa kamu enggak laper?”
“Aku lapar.”
“Ayo, kita caw…,” ajak Kelvin.
“Vin,” kataku yang mencoba
merangkul punggung tangan kanannya.
“Kenapa?”
“Sebentar lagi kita lulus, ya?”
“Kamu ini kalau nanya itu yang
berbobot! Udah tahu mau lulus, malah ditanyain.”
“Vin, kalau aku dan kamu enggak
bisa bersama gimana?”
“Maksudmu?” Tanya Kelvin, yang
secara spontan langsung menghadapku.
“Ya enggak. Aku hanya ingin tahu
aja apa kamu bener suka sama aku atau enggak?”
“Kok kamu nanya itu sih? Emangnya
ada apa?”
“Vin, aku sempat mendengar
pembicaraan orang tuaku dengan teman arisannya. Mereka sempat bilang kalau aku
dan anak teman orang tuaku akan di jodohkan.”
“Apa?” kejut Kelvin, yang membuat
matanya melotot tingkat atas.
✲✲✲
Kicauan burung bernyanyi
meramaikan suasana pagi di warkon, Sukabumi. Aku terbangun dan membuka jendela.
Hawa dingin menyergapku dan membuatku mengetatkan pelukan tanganku di dada.
Masih pagi, kulihat jam dinding yang
masih menunjukkan pukul enam pagi. Sebenarnya aku sudah kesiangan, tapi
aku tetap menyempatkan diriku untuk menghirup asrinya udara di pagi hari
sebelum aku memulai rutinitas harianku.
Hal yang paling membahagiakan
dalam diriku adalah ketika kumulai merasakan kembali suasana di pagi hari. Pagi
itu adalah pembatas, pemisah, dan tanda bahwa hari kemarin telah sirna dan hari
yang baru telah tiba. Ngomong-ngomong hari baru, aku jadi inget waktu pertama
kali kenal Kelvin, dia itu nyebelin, lucu, baik, dan… dan dia juga perhatian.
Tiga tahun kurang lamanya aku
mengenal sosok yang menjadi inspirasiku di sekolah. Namun, kini sosok itu telah
pergi jauh dariku. Aku tak tahu apa sebabnya dia menjauhiku, bahkan kini dia
seolah-olah tak pernah mengenalku. Hari ini adalah hari wisudaku di SMAN
Sukabumi. Aku sangat berharap untuk bisa bertatap muka lagi dengan Kelvin, yang
menjauh dariku tanpa kata PUTUS!
Kebetulan wisudaku tidak di
laksanakan di sekolah, melainkan di Puncak, Cianjur. Karena acara ini
dilaksanakan selama satu hari satu malam, aku sangat berharap untuk bisa
mencari alas an kelvin yang mulai menjauh dariku.
Dekorasi saat itu sangatlah cocok
dengan suasana tempat yang kami gunakan untuk pelepasan Siswa-Siswi SMAN
Sukabumi. Dan semua angkatanku juga menikmati keindahan tempat itu. Kupikir ini
waktu yang tepat untuk aku bisa mencari jawaban dari Kelvin, sebelum ia pergi
semakin jauh dariku. Tapi, aku tak tahu dia ada dimana. Apa dia sedang di
bersama temannya di kolam, pikirku.
Aku terkejut ketika temanku,
Elis, mengejutkanku dari belakang badanku.
“Daaar…”
“Elis. Kamu ini bikin orang kaget
aja,” kesalku.
“Lagi apa disini? Kok sendirian.”
“Lagi… lagi mau turun.”
“Mau ngapain? Mau renang?”
“Kamu lihat Kelvin, enggak?”
“Ciiee… yang nyariin someone-nya. Hahaha,” ledeknya.
“Ih, aku seirus,” nadaku semakin
tinggi.
“Wow! Biasa aja kali bu. Dia ada
di taman.”
“Sama siapa?”
“Sendiri.”
“Makasih, ya,” ucapku. Mencoba
berlari menuju taman.
Kuterus mencari sosok yang tak
pernah kutemui lagi. Sulit. Ya, sulit untuk mencari satu sosok di bayaknya
sosok yang kukenali.
“Permisi. Kalian lihat Kelvin?”
“Kelvin, kayaknya dia lagi di
taman sana,” jawabnya yang menunjuk kea rah kiri.
“Oke, makasi ya.”
Kuterus melanjutkan pencarianku
tanpa lelah hanya demi sosok inspirasi itu.
“Kamu sedang apa di sini?” Tanya
seseorang dari belakangku.
“Kelvin,” jawabku terkejut.
“Kelvin, aku ingin bicara sama
kamu.”
“Tentang apa?” jawabnya yang sok
simpel.
“Vin, kok kamu jauh dari aku
tanpa alas an apa-apa? Kalau kamu mau menjauh dariku, aku enggak akan marah.
Asalkan kamu memberi alas an yang tepat dan mungkin kamu juga harus memutuskan
hubungan yang lalu,” jelasku.
“….”
“Viiin…, bisa enggak sih kamu
jawab? Aku butuh kepastian darimu! Oh, ya aku tahu. Pasti kamu udah punya pacar
baru yang nanti akan menjadi penemanmu setelah kelulusan ini. Selamat ya,
semoga pacar barumu lebih baik dari aku yang selalu egois. Terima kasih atas
pemberianmu selama aku menjadikanmu sosok inspirasiku,” ucapku yang terus
menahan air mataku.
“Oh iya, hampir aja aku lupa.
Tolong sampaikan pada Bundamu, aku tak bisa mampir atau bertemu lagi dengannya,
dan tolong sampaikan salam saya untuknya.”
Semakin kuat amarah dan kesedihan
yang kuterima, semakin tak kuasa menahan air mataku. Aku menangis deras di
hadapan Kelvin.
“Ket…”
“Sudahlah! Tak ada lagi yang
perlu kamu jelaskan. Aku sudah cukup kecewa,” jawabku.
Aku berlari meninggalkan Kelvin,
yang masih duduk di taman.
“Ket… Ketty…” jeritnya. Ia
mengejarku hingga mendapatkanku untuk berhenti dipelukannya.
Aku memberontak dari pelukan itu,
namun tak bisa! Pelukan itu begitu ketat.
“Lepas! Lepaskan aku!”
“Ket,” ujar Kelvin, yang mencoba
menghapus air mataku. “Andai semua isi hati ini kamu yang tahu, aku tak ingin
lagi menjelaskan semua ini. Jujur, aku sangat mencintaimu.”
“Alasan!”
“Kamu enggak percaya? Perlu
bukti?”
“Apa lagi yang akan kau jadikan
bukti, Vin? Aku sudah cukup lelah merasakan derita yang kau berikan padaku.
Kamu tak tahu seberapa kesal, kecewa, dan… sudahlah! Aku tak ingin lagi
membahas semua ini. Lepaskan aku! aku tak ingin berada dalam pelukan sosok yang
kini bukan milikku,” kataku yang semakin deras dalam tangis.
“Ket, bukankah kamu pernah bilang
bahwa orang tuamu akan menjodohkanmu? Aku tak ingin kau mengingatku nanti
setelah kau menjadi milik orang lain.” Jelasnya lembut.
“Oh, jadi hanya karena itu? Vin,
cinta itu tak akan ada yang bisa memisahkannya. Dan cinta itu akan seterusnya
terjadi dan tak akan berkurang. Aku ingin bahagia bersamamu! Tapi, sepertinya
kamu tak lagi menyimpan rasa apapun padaku.”
“Ket, hatiku hanya untukmu! Aku
tak ingin kau menjadi milik orang lain. Im
very love you!”
“I will end my way with you!
Jangan menolak pilihanku jika kau memang menyayangiku.”
“Ket, tapi…”
“Kamu enggak sayang sama aku. aku
kecewa, Vin.”
Air mataku semakin deras.
Amarahku semakin merasuk. Suhu tubuhku tak bisa terkalahkan lagi oleh dinginnya
suasana Puncak. Ingin rasanya aku
mengakhiri hidupku di hadapannya. Tapi tak mungkin!
“I will end my way with you too. Dan aku harap kau bisa selalu
bersamaku selamanya dan menjadi penyemangatku. Tapi, maslahnya apa orang tuamu
akan merstui hubungan ini? Sedangkan aku khawatir kamu akan dijodohkan denga
orang lain.”
“Vin, jika kau yakin aku akan
menjadi apa yang kau yakini.”
“Tapi, aku ingin kuliah dulu.”
“Lamarlah aku sebelum kamu pergi
ke Jawa, untuk kuliah. Karena aku pun akan kuliah di sana bersamamu dalam fakultas
yang berbeda.”
“Are you sure?”
“Aku sangat menyayangimu, Vin.
Aku tak ingin hubungan kita yang sudah hampir tiga tahun ini berakhir begitu
saja.”
“Ket, kamu jangan nangis lagi ya!
Aku berjanji akan mengakhiri jalan hidupku bersmamu.”
“Janji.”
The
End
0 comments:
Post a Comment