Im looking for your love
Pagi yang masih buta. Ketika
matahari masih terselimuti gelapnya sang surya. Embun masih bertebaran di
segala penjuru tumbuhan-tumbuhan. Suhu yang masih belum normal. Hah belum
normal? Maksudnya?
Ya, maksudnya aku juga enggak tahu.
Tapi intinya enggak semua orang suka dengan sjuknya di pagi hari yang masih
sangat buta.
Aku hidup dalam keluarga yang
sangat terjaga. Terjaga dengan aturan-aturan yang di ambil dari kitab suci
kami. Al-quran. Ya, bagi keluargaku, terutama orang tuaku. Bahwa al-quran itu
adalah semboyan dan undang-undang kami. Oleh sebab itulah kami semua hidup
penuh aturan. Dan mungkin bagiku ini semua seperti penjara dunia. Ya, penjara
dunia. Sok pasti lah. Tapi kalian jangan salah kaprah untuk menilai pribahasa
‘penjara’.
Maksudku penjara itu,ya… pengikat
hidupku dari kemaksiatan dan keindahan dunia yag akan membawaku untuk
terjerumus ke dalam gejolak api yang tak ada tandingannya. Neraka.
Oh iya, aku ingat kalau hari ini
aku ada janji bersama teman-tamanku untuk kerja kelompok. Karena lokasi tujuan
yang sudah disepakati oleh teman-temanku cukup sangat jauh, dengan hati sedikit
kecewa aku harus berangkat pagi-pagi sekali. L
Waktu itu jam mungil yang selalu
kutata dan kusimpan di atas meja, telah menunjukan pukul enam. Heemm…, dengan
sedikit rasa malas aku mencoba memaksakan diri untuk masuk kedalam kamar mandi.
Jujur lho, jarang-jarang aku jam segini mau buat mandi. Aku biasanya mandi
setengah jam lagi, tapi karena aku ada janji jadinya aku harus mengalami
dinginnya mandi di pagi hari.
“Khanza…, ini ada telepon dari
temanmu,” teriak mamah.
“Apa, mah? Aku lagi mau mandi.”
“Ada telepon dari temanmu.”
“Mana? Mah, aku lagi enggak pake
baju panjang, jadi boleh mamah ke kamarku?”
“Nih,” ujar mamah sambil
memberikan hapenya padaku.
“Siapa, Mah?”
“Tanya aja sama kamu sendiri!
Mamah mau masak dulu.”
“Makasih ya, Mah.”
Mamah pun pergi meninggalkan dan
kembali lagi ke dapur untuk melanjutkan masaknya.
“Hallo, Assalamualaiku?”
“Walaikumsalam. Kamu lagi apa,
Za?”
“Lagi mau mandi. Ini siapa?
Kenapa telepon ke nomor mamah?”
“Aku Syahrmi. Oh, mau mandi. Ya
udah kalau begitu, nanti kamu bareng aku ya berangkatnya!”
“Bareng? Aku lagi di rumah
mamahku kali. Aku enggak lagi di kos-san.”
“Ya makanya dari itu aku ngajak
kamu bareng.”
“Emang kamu dimana?”
“Aku lagi di bogor. Aku lagi OTW
nih ke rumah, Mamahmu.”
“Apa? Cepat sekali kau datang. Ya
udah aku mandi dulu, ya.”
“Oke. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
✲✲✲
Hampir
setengah jam aku menunggu jemputanku. Rasa kesal, sudah mulai merasuk pada
jiwaku. Tapi, untung aja aku ingat pesan Ayah, ‘sabar’, kalo enggak sabar aku
pasti udah pergi ninggalin dia.
Tiiiit… tiii…tt…
Terdengarlah bunyi kelakson motor
yang tak aku kenali. Aku sedikit heran dengan suara motor yang asing bagiku
itu, tapi aku yakin itu bukan Syahrmi.
“Khanza. Sudah lama kamu
nungguin? Sorry tadi isi bensin dulu.”
“Syahrmi…, hiraukanlah! Sekarang
aja berangkat yuk?”
“Ayo naik!”
“Mana motornya?”
“Noh di depan. Emangnya dari tadi
di kelakson enggak denger?”
“Denger, tapi aku pikir itu bukan
kamu.”
“Ayo berangkat! Tapi maaf aku
enggak bisa sungkem sama orang tua kamu.”
“Kenapa?”
“Malu tingkat dewa.”
“Oh, oke deh.”
Aku dan temanku akhirnya langsung
bergkat menuju lokasi tujuan kami. Sevel tangerang atau ciputat.
Waktu yang kami tempuh hanya satu
jam saja. Ya itu juga karena kami menggunakan kendaraan roda dua. J
Baru saja aku sampai di parung,
tiba-tiba hapeku bergetar. Aku yakin ada pesan masuk. Awalnya aku malas untuk
membukanya, tapi enggak tahu kenapa tanganku malah membuka isi pesan masuk itu.
Kubaca, dan ternyata pesan baru
dari Hanaya.
“Khanza, sorry banget nih, bocah pada ngebatalin janjinya.”
Dengan sepontan aku langsung
terkejut kalo anak-anak ngebatalin janjinya. Uuh, cape-cape aku datang dari
bogor.
“Syahrmi, kata Hanaya, janjinya batal.”
“Batal?”
“Iya, bocah katanya pada
ngebatalin.”
“Ah, sial banget. Cape-cape
datang dari bogor.”
“Sabar! Mungkin mereka ada acara
yang enggak bisa mereka tunda.”
“Kamu itu dari dulu selalu bilang
begitu. Enggak pernah berubah.”
Aku hanya tersenyum dan sedikit
malu.
“Dari pada percuma, mending kita
cari makan.”
“Makan?”
“Yap. Mau enggak?”
“Ok, please.”
Karena posisi kami tepat di
perbatasan bogor – depok, akhirnya kami memilih makan di Ramayana Depok.
“Kamu mau makan apa?”
“Sama aja kayak kamu deh.”
“Mbak. Aku pesan lemon tea, dua. Dan ayam bakarnya juga
dua porsi ya!”
“Baiklah. Silahkan menunggu
tuan!”
Syahrmi, hanya membalasnya dengan
senyum saja. Manis. Tampan. Dan… menarik juga kalau di tersenyum.
“Khanza, kamu udah renacan marry?”
“Belum. Kok nanya itu?”
“Enggak apa-apa sih.”
“Oh,” jawabku simpel.
Hanya hitungan detik, kami
langsung terdiam. Dan aku tak pernah berpikir akan hal yang akan terjadi saat
itu. Dengan lantang, Syahrmi mengatakan cintanya padaku.
“Im looking for your love, Khanza.”
“What?”
“I love you. Do you want marry with me?”
Dengan hati ragu aku menjawabnya.
“Maaf, aku tahu jawaban yang pasti untukmu. Tapi alangkah lebih baiknya kamu
mengatakan hal ini pada orang tuaku.”
“Baiklah. Tapi untuk jawabanmu?”
“Kau tak perlu tahu. Karena aku
sekarang juga sedang mencari cinta.”
“Mencarinya?”
“Yap. Aku mencari cintanya Allah.
Jadi aku harap kamu mengatakan hal ini langsung pada orang tuaku saja?”
“Insya Allah. Setelah ini.”
“Cepat sekali?
“Lebih cepat lebih baik,”
jelasnya santai.
Seketika aku langsung SKAK MAT
mendengar pernyataannya.
“Yang kutahu kamu itu enggak
pernah pacaran kan? Dan aku sangat suka dengan wanita seperti itu,” lanjutnya.
“Iya, aku tak pernah pacaran
karena Ayah, selalu mengingatkanku bahwa pacaran itu perbuatan zina dan dosa.”
“You are right!”
Aku hanya menjawabnya dengan
senyum saja.
“Kmau tuh enggak pernah beda.
Dari dulu masih aja sama.”
“Maksudmu?”
“Ya, kamu tuh enggak pernah jauh
dari senyuman. Mentang-mentang senyum itu sebagian dari iman,” ledeknya
bercanda.
“Mungkin opinimu benar. Tapi aku
enggak tahu apa alsanku untuk selalu tersenyum.”
“Oh…, nanti pulang bareng lagi
ya! “
“Kan jauh…”
“Ya, kan sekalian kertemu orang
tuamu.”
“Aku malu!”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa.”
“Sekian lama aku mencari dan mengharapkan
cintamu. Dan sekarang aku ingin meminangmu dengaan sejuta kata bismillah karena
sang pencipta, Allah.”
Setelah mendengar pernyataannya,
aku sedikit bahagia dan malu sih yang sebenarnya. Tapi aku harus tetap menjaga
imej aku di hadapan seseorang yang tengah mencintaiku dari dulu tanpa aku
sadari.
Tapi, insya Allah dengan hati
ikhlas dan karena Allah aku juga ingin menyayanginya juga.
The End
0 comments:
Post a Comment