Wednesday, June 3, 2015

cerpen judul "Im looking for your love"

Im looking for your love
Pagi yang masih buta. Ketika matahari masih terselimuti gelapnya sang surya. Embun masih bertebaran di segala penjuru tumbuhan-tumbuhan. Suhu yang masih belum normal. Hah belum normal? Maksudnya? 
Ya, maksudnya aku juga enggak tahu. Tapi intinya enggak semua orang suka dengan sjuknya di pagi hari yang masih sangat buta.
Aku hidup dalam keluarga yang sangat terjaga. Terjaga dengan aturan-aturan yang di ambil dari kitab suci kami. Al-quran. Ya, bagi keluargaku, terutama orang tuaku. Bahwa al-quran itu adalah semboyan dan undang-undang kami. Oleh sebab itulah kami semua hidup penuh aturan. Dan mungkin bagiku ini semua seperti penjara dunia. Ya, penjara dunia. Sok pasti lah. Tapi kalian jangan salah kaprah untuk menilai pribahasa ‘penjara’.
Maksudku penjara itu,ya… pengikat hidupku dari kemaksiatan dan keindahan dunia yag akan membawaku untuk terjerumus ke dalam gejolak api yang tak ada tandingannya. Neraka.
Oh iya, aku ingat kalau hari ini aku ada janji bersama teman-tamanku untuk kerja kelompok. Karena lokasi tujuan yang sudah disepakati oleh teman-temanku cukup sangat jauh, dengan hati sedikit kecewa aku harus berangkat pagi-pagi sekali. L
Waktu itu jam mungil yang selalu kutata dan kusimpan di atas meja, telah menunjukan pukul enam. Heemm…, dengan sedikit rasa malas aku mencoba memaksakan diri untuk masuk kedalam kamar mandi. Jujur lho, jarang-jarang aku jam segini mau buat mandi. Aku biasanya mandi setengah jam lagi, tapi karena aku ada janji jadinya aku harus mengalami dinginnya mandi di pagi hari.
“Khanza…, ini ada telepon dari temanmu,” teriak mamah.
“Apa, mah? Aku lagi mau mandi.”
“Ada telepon dari temanmu.”
“Mana? Mah, aku lagi enggak pake baju panjang, jadi boleh mamah ke kamarku?”
“Nih,” ujar mamah sambil memberikan hapenya padaku.
“Siapa, Mah?”
“Tanya aja sama kamu sendiri! Mamah mau masak dulu.”
“Makasih ya, Mah.”
Mamah pun pergi meninggalkan dan kembali lagi ke dapur untuk melanjutkan masaknya.
“Hallo, Assalamualaiku?”
“Walaikumsalam. Kamu lagi apa, Za?”
“Lagi mau mandi. Ini siapa? Kenapa telepon ke nomor mamah?”
“Aku Syahrmi. Oh, mau mandi. Ya udah kalau begitu, nanti kamu bareng aku ya berangkatnya!”
“Bareng? Aku lagi di rumah mamahku kali. Aku enggak lagi di kos-san.”
“Ya makanya dari itu aku ngajak kamu bareng.”
“Emang kamu dimana?”
“Aku lagi di bogor. Aku lagi OTW nih ke rumah, Mamahmu.”
“Apa? Cepat sekali kau datang. Ya udah aku mandi dulu, ya.”
“Oke. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
✲✲✲
Hampir setengah jam aku menunggu jemputanku. Rasa kesal, sudah mulai merasuk pada jiwaku. Tapi, untung aja aku ingat pesan Ayah, ‘sabar’, kalo enggak sabar aku pasti udah pergi ninggalin dia.
Tiiiit… tiii…tt…
Terdengarlah bunyi kelakson motor yang tak aku kenali. Aku sedikit heran dengan suara motor yang asing bagiku itu, tapi aku yakin itu bukan Syahrmi.
“Khanza. Sudah lama kamu nungguin? Sorry tadi isi bensin dulu.”
“Syahrmi…, hiraukanlah! Sekarang aja berangkat yuk?”
“Ayo naik!”
“Mana motornya?”
“Noh di depan. Emangnya dari tadi di kelakson enggak denger?”
“Denger, tapi aku pikir itu bukan kamu.”
“Ayo berangkat! Tapi maaf aku enggak bisa sungkem sama orang tua kamu.”
“Kenapa?”
“Malu tingkat dewa.”
“Oh, oke deh.”
Aku dan temanku akhirnya langsung bergkat menuju lokasi tujuan kami. Sevel tangerang atau ciputat.
Waktu yang kami tempuh hanya satu jam saja. Ya itu juga karena kami menggunakan kendaraan roda dua. J
Baru saja aku sampai di parung, tiba-tiba hapeku bergetar. Aku yakin ada pesan masuk. Awalnya aku malas untuk membukanya, tapi enggak tahu kenapa tanganku malah membuka isi pesan masuk itu.
Kubaca, dan ternyata pesan baru dari Hanaya.
“Khanza, sorry banget nih, bocah pada ngebatalin janjinya.”
Dengan sepontan aku langsung terkejut kalo anak-anak ngebatalin janjinya. Uuh, cape-cape aku datang dari bogor.
“Syahrmi, kata Hanaya,  janjinya batal.”
“Batal?”
“Iya, bocah katanya pada ngebatalin.”
“Ah, sial banget. Cape-cape datang dari bogor.”
“Sabar! Mungkin mereka ada acara yang enggak bisa mereka tunda.”
“Kamu itu dari dulu selalu bilang begitu. Enggak pernah berubah.”
Aku hanya tersenyum dan sedikit malu.
“Dari pada percuma, mending kita cari makan.”
“Makan?”
“Yap. Mau enggak?”
Ok, please.”
Karena posisi kami tepat di perbatasan bogor – depok, akhirnya kami memilih makan di Ramayana Depok.
“Kamu mau makan apa?”
“Sama aja kayak kamu deh.”
“Mbak. Aku pesan lemon tea, dua. Dan ayam bakarnya juga dua porsi ya!”
“Baiklah. Silahkan menunggu tuan!”
Syahrmi, hanya membalasnya dengan senyum saja. Manis. Tampan. Dan… menarik juga kalau di tersenyum.
“Khanza, kamu udah renacan marry?”
“Belum. Kok nanya itu?”
“Enggak apa-apa sih.”
“Oh,” jawabku simpel.
Hanya hitungan detik, kami langsung terdiam. Dan aku tak pernah berpikir akan hal yang akan terjadi saat itu. Dengan lantang, Syahrmi mengatakan cintanya padaku.
Im looking for your love, Khanza.”
What?”
I love you. Do you want marry with me?”
Dengan hati ragu aku menjawabnya. “Maaf, aku tahu jawaban yang pasti untukmu. Tapi alangkah lebih baiknya kamu mengatakan hal ini pada orang tuaku.”
“Baiklah. Tapi untuk jawabanmu?”
“Kau tak perlu tahu. Karena aku sekarang juga sedang mencari cinta.”
“Mencarinya?”
“Yap. Aku mencari cintanya Allah. Jadi aku harap kamu mengatakan hal ini langsung pada orang tuaku saja?”
“Insya Allah. Setelah ini.”
“Cepat sekali?         
“Lebih cepat lebih baik,” jelasnya santai.
Seketika aku langsung SKAK MAT mendengar pernyataannya.
“Yang kutahu kamu itu enggak pernah pacaran kan? Dan aku sangat suka dengan wanita seperti itu,” lanjutnya.
“Iya, aku tak pernah pacaran karena Ayah, selalu mengingatkanku bahwa pacaran itu perbuatan zina dan dosa.”
You are right!”
Aku hanya menjawabnya dengan senyum saja.
“Kmau tuh enggak pernah beda. Dari dulu masih aja sama.”
“Maksudmu?”
“Ya, kamu tuh enggak pernah jauh dari senyuman. Mentang-mentang senyum itu sebagian dari iman,” ledeknya bercanda.
“Mungkin opinimu benar. Tapi aku enggak tahu apa alsanku untuk selalu tersenyum.”
“Oh…, nanti pulang bareng lagi ya! “
“Kan jauh…”
“Ya, kan sekalian kertemu orang tuamu.”
“Aku malu!”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa.”
“Sekian lama aku mencari dan mengharapkan cintamu. Dan sekarang aku ingin meminangmu dengaan sejuta kata bismillah karena sang pencipta, Allah.”
Setelah mendengar pernyataannya, aku sedikit bahagia dan malu sih yang sebenarnya. Tapi aku harus tetap menjaga imej aku di hadapan seseorang yang tengah mencintaiku dari dulu tanpa aku sadari.
Tapi, insya Allah dengan hati ikhlas dan karena Allah aku juga ingin menyayanginya juga.

The End

0 comments:

Post a Comment

 
;