Tuesday, November 25, 2014 0 comments

cerepen _ Terus lurus!


“Kak, apa engkau yakin tidak mau lagi tinggal bersama orang tua kita?”
“De, kakak sudah tak bisa lagi hidup bersama di sini. Sekarang….”
“Sekarang kenapa?”
“Ya, apa kamu tak menyadarinya? Kamu tidak sadar, sekarang kasih sayang ibu telah berpaling kepada kepada suaminya dan saudara tiri kita?”
“Aku tahu, Kak. Tapi, apakah engkau tak bisa bersabar?”
“De, jika kamu mau ikut kakak cepat kemasi barangMu! Tapi, jika tidak…, up to you, De.”
“Kak. Jika kita pergi bagaimana dengan Ibu?”
“Kamu sudah tahu kan, kalau ibu sekarang sudah punya suami? Ya, sudah biarkan Ibu bahagia bersamanya! Aku tak lagi ingin merepotkan mereka. Apa lagi ayah, yang sok baik di hadapan Ibu aja.”
“Maksud kakak?”
“De,dulu  kalo kamu sekolah dan kakak sudah pulang kuliah, ayah itu seperti bukan layaknya seorang ayah. Melainkan pacar. Dia itu genit! Bahkan sampai sekarang pun ia masih seperti itu. Aku tak mau hidup bersama orang seperti itu.”
“Aku masih enggak ngerti, Kak.”
“De, kamu jangan Tanya apa-apa lagi! Jika kamu mau ikut kakak, cepat segera kemasi barangMu!”
“Tapi, apa kakak yakin?”
“De, kita hudup dalam pengawasan sang pencipta. Jadi ngapain kita khawatir atau apa lah. Lagian kakak sudah dewasa, dan jika kakak butuh uang untuk kebutuhan  pribadi, kakak bisa kerja sendiri dengan gelar kakak yang sekarang.”
“Kak, lalu bagaimana dengan adik kita?”
“Dia kan masih bayi. Terus dia juga anak dari Ibu dan Ayah tiri kita kan? Ya, biarlah. Pasti dia hidupnya akan lebih bahagia.”
“Kak, meskipun kakak sudah dewasa, tapi aku tak tega jika kakak harus pergi tanpa tujuan sendiri.”
“Lalu?”
“Ya, masa aku sebagai laki-laki tak bisa menjaga wanita, sih.”
“Waduh, bahasamu boleh juga, De.”
✲✲✲
 Aku memang wanita, tapi aku tidak suka di perlakukan atau dianggap seperti wanita peminim. Jangan karena fisik dan wujudku wanita, jadi kalian pikir aku tak bisa pergi berkelana. Oh, tidak!
Aku pergi dari rumah tanpa pamit sedikit pun, melainkan aku hanya menyimpan selembaran kertas putih yang telah kunodai dengan tinta hitam. Tidak banyak pesan yang kusampaikan selain kata maaf.
Aku tak tahu kemana aku harus pergi. Aku sangat khawatir pada adikku. Meskipun dia laki-laki, tapi tetap saja rasa khawatir ini tak kunjung padam juga.
“Kak, kita mau kemana? Ada tikungan?”
“Kita ikuti saja jalur jalan yang lurus!”
“Kok lurus terus?”
“Karena, aku pernah membaca terjemahan surat al-fatihah, lalu telah dibahas di dalamnya ‘mengenai jalan yang lurus’.”
“Tapi, apa kakak yakin?”
“De, jangan menjatuhkan keyakinanku!”
“Aku tidak bermaksud, Kak. Ya sudah, kendarai saja motor ini dengan santai!”
Aku terus melintasi arus jalan yang lurus. Meskipun aku tak tahu apakah ini jalan yang benar. BISMILLAH…, semoga ini jalan yang benar.
Kami hanya membawa perbekalan makan untuk setengah hari saja. Karena kami pikir untuk makan malam, kami bisa membeli di warteg atau sejenisnya.
Kampung menuju desa. Mungkin itulah jalan yang sedang kulalui bersama adikku. Panas karena sinar pancaran matahari. Dingin yang membalut tubuh ini karena derasnya air hujan yang mengguyur kami. Semakin tak tega aku membawanya pergi.
“De, kamu beneran mau ikut terus?”
“Iya, kakak. Kak, sebenarnya ini daerah mana?”
“Entahlah. Kita pergi tanpa tujuan.”
“….”
Adikku tak berkata apa-apa lagi, melainkan aku melihat dengan sangat jelas, kalau matanya sedang berbinar-binar. Tak tahan aku melihatnya. Aku hanya terdiam dan menunggu hujan reda. Setelah reda, aku dan adikku melanjutkan perjalanan kami lagi.
Kebun dan sawah telah kami lalui. Panas dan dingin pun sudah. Apa lagi demo. Demo dalam perut maksudnya. Cacing dalam perutku dan adikku mungkin, sudah protes untuk makan. Tapi, di tempat seperti ini apa aku bisa makan? Entahlah.
Karena hari sudah mulai tidak terang lagi, akhirnya kami memutuskan untuk ikut bermalam di rumah salah satu warga di sekitar sini.
“Assalamualaikum?”
“Walaikumsalam. Cari siapa, ya ?”
“Maaf, mengganggu,Bu. Kami datang dari jauh-jauh tempat, dan kami sekarang sangat butuh tempat berteduh dan bermalam.”
“Maaf, bukannya saya melarang atau apa, taapi di sini tidak ada suami saya. Jadi saya tidak berani memutuskan pilihan.”
“Baiklah. Terima kasih, Ya, Bu.”
“Sama-sama. Coba kamu ke depan sana aja! Dari sini kamu hanya tinggal lurus terus hingga terlihat pagar besar. Di situ, kamu pasti boleh istirahat.”
Aku langsung melanjutkan perjalanku dengan arah yang telah di tunjuki seorang ibu-ibu separuh baya. Namun sayang, aku tak tahu apa benar yang dikatakan wanita tadi? Tapi jika benar, mengapa dari tadi aku tak menemukan satu pun rumah lagi.
✲✲✲
Setelah kami terus mengikuti arus jalan yang lurus, akhirnya kami pun menemukan sebuah gubuk. Gubuk yang menyendiri dari rumah warga.
Gubuk itu sederhana sekali. Sepi. Hening. Seperti tak ada kehidupan. Dengan lancang, aku langsung memarkirkan motorku di samping gubuk itu dan menguncinya.
Kami mencoba masuk dengan salam. Berkali-kali kami mengucapkan salam, tapi tak ada jawaban. Dan akhirnya, kami memilih beristirahat sejenak dahulu di sini meskipun tanpa kami ketahui pemilik gubuk ini.
Sungguh sangat nyaman, nyenyak dan rasanya beristirahat di sini enak. Tapi, rasa lapar ini telah menghilangkan semua kenyamanan ini. Uuh, nyari makan kemana jam segini? Apa lagi di sini jauh dari rumah warga.
Kutatap adikku yang sudah mulai dewasa. Ia sangat manis dan sungguh aku semakin tak tega membawanya pergi bersamaku. Tapi, ya sudahlah. Yang terjadi biarlah terjadi.
Kegelapan telah mulai sirna, cahaya pagi yang masih sejuk membuatku semangat untuk melngkahkan tujuanku yang tanpa arah ini bersama adikku,Rahul.
“De, ayo bangun! Kita harus berangkat sekarang.”
“Mmm…, apa sih, Kak? Masih ngantuk!”
“Ayolah, cepat!”
Dari pada menunggu dia kelamaan, lebih baik aku menghidupkan mesin motorku supaya mesin-mesinnya merasa hangat.
“Kak, aku laper?”
“Bangun juga dirimu, Dek. Ya sudah, kita cari makan dulu sekaligus mencari…”
“Mencari apa, Kak?”
“Sudah, tak penting. Ayo naik!” kataku sambil bersiap mengendarai motorku.
Aku selalu mengikuti pendirianku. Lurus dan lurus tanpa mengarah kiri dan menoleh ke belakang.
Selama aku mengendarai motorku bersama adikku, aku belum sekali melihat ada satu rumah pun di kawasan yang telah kulalui. Oh, Tuhan, bisakah engaku berikan petunjukmu? Semoga jalan yang kutempuh ini benar.
Hampir satu jam aku mencari rumah warga, namun, tetap saja tak kutemukan. Aku sudah lelah dan sangat lapar. Selama di perjalanan, adikku selalu menanyakan, “Sudah sampaikah kita?”. Aku sudah tak menyimpan lagi karbohidrat sedikitpun. Yang kusimpan hanyalah uang. Namun, uang itu tak akan berarti jika aku tak juga menemukan tempat makan.
Kutatap kapasitas bensin pada motorku. Astaga! Sudah hampir menuju pada warna merah. Pertanda aku harus segera isi bensin. Tapi, dimana aku bisa membeli bensin? Ya sudahlah, aku pun tak memikirkannya melainkan terus berjalan lurus.
Sepanjang jalan, aku hanya bisa berdikir di dalam hati. Aku tak tahu apa adikku juga sama sepertiku? Entahlah, aku semakin tak kuasa berkelana bersamanya. Ia tak punya dosa, tapi mengapa ia harus terbawa ke dalam emosiku.
“Kak, perutku sudah mulai sakit,” ujar adikku yang semakin kelaparan.
“Kamu tidur aja dulu!”
Aku pun langsung menarik tangannya, agar ia memelukku dan aku tak perlu khawatir ia jatuh ketika ia mulai tidur.
Semakin dan semakin lapar. Aku tak kuat lagi menahannya. Aku pun sudah mulai pegal dan lelah. Kepalaku sudah mulai berbayang-bayang. Bayangan-bayangan yang tak kukenali. Sungguh sangat tidak jelas. Kumelihat, dan aku sudah mulai tahu kalau aku sudah mulai dekat dengan rumah warga. Semakin semangat untuk kumengemudi motorku dengan cepat.
Braaak…
Aaaa…
Aku menjerit dengan amat sangat kencang, ketika aku mulai terjatuh dan terguling ke jalan aspal.
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku tak tahu bagaimana dengan adikku. Aku tak tahu apakah aku masih hidup atau tidak. Begitupun pada adikku. Jika itu terjadi…, sungguh aku adalah seorang kakak yang amat sangat kejam.
Aku tak bisa mendengar suara apapun. Aku tak bisa melihat bagaimana suasana saat itu. Semuanya gelap. Hening. Seperti tak ada kehidupan. Apa ini…, sudahlah! Aku tak ingin pergi dulu sebelum dosaku terhapuskan.
✲✲✲
“Kak, bangun!”
“Ayo cepat, Kak. Ayo bangun!”
Suara itu sangat jelas dan kukenali. Adikku. Ya, dia. Dimana dia sekarang? Aku merindukannya. Tapi mengapa aku masih belum bisa menatapnya? Mengapa?
Harum. Hangat. Menyentuh hingga sukmaku. Aroma minyak telon dan kehangatannya membuatku kembali sadar. Siuman. Dengan perlahan, aku coba membuka mataku, remang-remang, tapi semakin dekat, dekat dan dekat. Aku pun sudah mulai bisa melihatnya meskipun sakit kepalaku masih terus membara.
“Kak…,” ujar adikku sambil memelukku.
Aku hanya tersenyum dan heran. Siapa di samping adikku? Mengapa dia ada bersama kami? Dan ada dimana aku? Apa dia penjahat? Atau….
Tapi, jika dia penjahat, mengapa dia memberiku segelas minum? Astghfirullah…, ternyata ia orang baik yang telah menolongku.
“Minum air ini, Mbak!” ujar seorang lelaki yang me-nyugguh-kan minumnya padaku.
Aku pun langsung mengambilnya, “Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Ini tempat apa? Dan di kawasan apa saya berada sekarang?”
“Maaf, sekarang anda sedang berada di pondok Darussalam.”
“Pondok? Kenapa saya bisa di sini?”
“Tadi sewaktu saya sedang mengitari kawasan pondok, saya mendengar jeritan. Dengan segera, saya langsung mencari dari mana lokasi jeritan itu.”
“Owh. Maaf aku dan adikku telah merepotkanmu.”
“Dengan senang hati saya akan membantu siapapun yang kesulitan. Karena Allah sangat menganjurkan kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.”
“Apa di daerah sini ada tempat makan atau sejenisnya? Saya dan adik saya butuh karbohidrat,”
“Oh iya, saya hampir lupa. Tadi Pak kiyai meminta saya untuk memberikan makan, karena kalian belum makan selama beberapa hari.”
Aku hanya tersenyum sipu dan malu. Akhirnya ketahuan juga rahasiaku yang belum makan ini.
Aku pun lanagsung disuguhinya makanan yang sangat enak bagiku. Pasti lah enak bagi orang baru ketemu lagi sama namanya karbohidrat seperti aku ini. Jadi malu aku.
Aku makan dengan sangat amat lahap. Tanpa memikirkan laki-laki itu yang masih berada di hadapanku.
“Mbak, maaf, tadi Kiyai kami bilang kalo kalian harus istirahat sejenak di sini. Nanti aka nada salah satu santriwati yang akan menjagamu dan beberapa santri akan merawat adikmu.”
Aku hanya tersenyum sambil menikmati lezatnya makanan itu.
“Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamualaikum.”
“Walaikumussalam. Terima kasih, ya.”
Ia pun pergi meninggalkan kami sebelum aku ketahui namanya. Tapi, tak pentinglah. Suatu saat aku pun pasti akan tahu namanya.
“Aauu…,” 
Sangat terasa sakit pada tubuhku ini ketika aku ingin berjalan. Kakiku sedikit pincang dan tulang-tulang tanganku sepertinya sama.
“Assalamualaikum, ya ukhti,” sapa seorang wanita separuh baya yang di dampingi beberapa wanita cantik.
“Walaikumsalam. Maaf siapakah gerangan?”
“Saya Umi Mastiah, dan ini santri-santri saya. Saya istri dari Kiyai pondok ini, dan saya di berikan amanah untuk menjaga kalian sampai kalian mulai benar-benar sembuh.”
“Sembuh?”
“Maksud saya, sampai kalian sehat. Tidak seperti sekarang ini. Otot kalian butuh pijatan, dan nanti kalian akan dipijit di sini. Oh ya, untuk laki-laki tidak boleh bersama wanita, jadi nanti kamu akan di antar ke tempat khusus ikhwan,” jelasnya sambil mengarah pada adikku.
“U… Um… Umi, kalau boleh saya tahu, apa kah di seberang sana taka da kehidupan warga sama sekali?”
“Sebrang? Maksudmu…, oh iya saya tahu. Di sana tak ada warga satu pun karena di sana tempat angker, dan sampai sekarang tidak ada yang ingin bertempat tinggal di sana. Dahulu, ada sepasang keluarga dari pesantren ini untuk tinggal dan menetap di sana, tapi sampai sekarang keluarga mereka tak pernaha ada, bahkan gubuk yang mereka buat pun tak ada.”
Aku terkejut mendengarnya. Apa yang kutemui beberapa hari lalu itu…, makhluk gaib. Mungkin. Tapi, jika benar…. Sudah! Sudah! Aku jadi merinding membayangkan hal itu.
“Kenapa memangnya?”
“Mmm…,  beberapa hari lalu saya bertemu dengan seorang wanita, dan ketika saya ingin menginap di rumahnya, ia malah menolak karena di rumahnya tidak ada suaminya. Lalu dia juga bilang, kalau aku harus terus lurus, dan nanti aku akan menemukan tempat yang aku maksud.”
“….”
Umi itu seperti tengah memikirkan sesuatu yang tak boleh kuketahui. Umi membuatkusedikit kepo. Tapi biarlah, mungkin suatu saat aku pun akan tahu. Semoga.
“Kamu datang dari mana? Dan sedang ingin pergi kemana?”
“….”
“Maaf, jika kamu tak mau menjawabnya juga tidak apa-apa.”
“Eee…, sebenarnya, aku kabur dari rumah.”
“Kabur? Kenapa?” jawabnya dengan terkejut.
“Aku bosan tinggal bersama ayah tiriku. Ia selalu jahat padaku. Dulu, sepulang kuliah ia selalu menggodaku. Dan aku sangat takut. Aku khawatir,” jelasku tanpa koma dan titik.
“Owh, umi paham. Sekarang kamu ingin pergi kemana?”
“Saya tidak tahu, Umi. Bahkan saya pun tidak tahu bagaimana dengan adikku. Aku sangat menyesal untuk membawanya pergi bersamaku.”
Umi Mastiah, itu diam sejenak lalu berkata, “Kalau kamu ingin dan bersedia tinggal di sini, silahkan. Saya pasti akan sangat senang.”
“Aku bingung, umi. Tapi bagaimana dengan adik saya?”
“Di sini, pondok untuk wanita dan laki-laki, jadi kalian boleh tinggal di sini.”
“Umi, saya hanya punya sedikit uang lagi. Dan saya haru bekerja dulu.”
“Untuk apa, anakKu?”
Begitu tersentuh hatiku. Ketika Umi Mastiah, memanggilku dengan kata ‘anakku’. Ingin aku menangis tapi sungguh snagat amat malu. Tapi, sungguh aku sangat tersentuh dan ingin sekali aku menjadi anaknya.
“Untuk pembayaran di pondok ini, Umi.”
“Tak perlu. Umi akan bilang ke Abi, kalau kalian di sini tak perlu membayar apaun.”
“Terima kasih, Umi. Tapi, saya merasa sungkan. Apa di sini saya juga boleh membantu, Umi?”
“Sama-sama. Dengan sangat senang hati. Boleh.”
Alhamdulillah. Apa mungkin ini jalan yang Tuhan berikan untukku? Terima kasih, ya Allah. Aku sungguh sangat bahagia dan entah sampai mana kapasitas kebahagianku saat ini.
Dan setelah itu hingga saat ini, aku pun hidup sangat amat bahagia di pondok ini. Begitu pun pada adikku yang sudah semakin beranjak dewasa dan semakin bertambah ilmu agamanya.
The End



0 comments

cerpen _ Tak kusangka…


Aurora itu telah menyadarkanku pada lembaran masa laluku. Terhenig. Remang-remang bayangan itu telah mulai singgah dalam benakku. Sungguh ini adalah hal terburuk bagiku, jika aku harus mengingat kembali kenangan atau mungkin kejadian lalu. “Aaa...,” teriakku sekuat tenaga dengan sepontan.
Bayangan itu terus menghantuiku. Kumelihat denga jelas. Kejadian awal mereka pun masih jelas. Memang dasar laki-laki tak beryanggung jawab. Sudah membuat pacarnya sedih, ia malah pergi dengan wanita lain. Kurang ajar. Dengan teragedi yang sangat fakta itu, aku semakin benci kata’pacaran’. Wanita itu dengan sekejap mata  berlari menuju jalanan aspal yang ramai dengan kendaraan.
“Braak…”
Tubuh itu pun terjatuh dan tergeletak. Hitungan menit bahkan detik, orang yang melihat kejadian itu langsung membawa korban atau wanita tadi dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.
Sudah! Sudahlah…, aku tak mau menceritakan hal itu. Aku coba masuk ke kamarku, ya walaupun itu kamar di indekos dan mennutup pintu supaya aku tak melihat Aurora itu. Kulangkahkan ayunan kakiku dengan cepat dengan penuh amarah dan remang-remang bayangan itu. Sebelum aku sampai di kamarku di ruang khusus wanita, aku sudah terjatuh dan tak sadarkan diri ketika aku ingin melangkahkan kaki kananku di anak tangga pertama. Gelap. Hening. Semua sangat sepi.  Aku terjatuh di dekat tangga yang bersampingan dengan dapur indekos dan ruangan khusus laki-laki. Ya, jangan heran karena di kosanku campuran antara wanita dan pria.
Hangatnya selimut disertai harumnya minyak telon, membuatku sangat teramat hangat dan nyaman. Harumnya minyak telon itu hingga merasuk ke paru-paruku. Kucoba membuka mataku secara perlahan. Remang-remang yang kudapati. Wajah yang terlihat tak sempurna itu membuatku tak megenalnya.  Kutatap jarum jam yang bergerak statis itu seperti menunjukan pukuk 18:05 WIB.
“Kira, kamu sudah siuman?”
Kudengar suara Alex, yang satu indekos denganku tapi beda ruangan. Kutatap dia yang sedang duduk disampingku. Kupaksakan tatapan mataku semaki tajam untuk memperlihat penglihatanku.
“Syakira, ayo minum dulu airnya!”
“Terima kasih, lex,” jawabku lemah.
“Kamu kenapa bisa pingsan? Dan untung kamu pingsan sebelum naik anak tangga. Kamu kalo sakit itu harus bilang temanmu atau siapa kamu biar dia bisa nemenin kamu. Tapi yang cewek aja,ya! Di sini itu rawan, ada banyak laki-laki dan… dan belum tentu mereka baik semua,” kata Alex yang seperti kesal padaku.
“Alex, tunggu dulu, deh! Yang lain itu enggak ada di sini, mereka kuliah da nada juga yang lagi kerja. Ya, aku enggak tahu kalau aku akan pingsan, lagian aku juga tidak sakit, kok.”
“Kalau enggak sakit kenapa bisa begini? Aku enggak mau kamu kaya gini lagi!”
“Lex, kok kamu jadi ngatur aku?”
“…,” Alex, hanya terdiam dan menunduk, seolah-olah mencari sesuatu yang hilang.
“”Alex? Ya sudah kalau tidak mau jawab. Aku tak akan memaksamu, kok. Terima kasih atas pertolongan dan perhatianmu.”
Alex tetap tak menjawabku, melainkan ia pergi meninggalkanku yang tengah berbaring di sofa ruang tengah, indekos. Aku tak mau mementingkannya dan bertanya lagi padanya.
Satu persatu anak-anak yang menetap di indekos mulai datang dan saling menyapaku, kata demi kata mereka lontarkan dan tak jauh mereka bertanya ‘ mengapa kau ada di sini?’.”
Entah berapa jam aku duduk dan berbaring di sofa. Hingga aku tak tahu seberapa lamanya teman, Alex, yang bernama ‘John’menemaniku berbincang-bincang dan bercanda sammpai larut malam.
“Dreet…,” kudengar suara kaki meja yang tengah tergeser. Kulihat seorang wajah yang sangat familiar dalam hidupku. Dia seperti ingin berlari cepat dan tak ingin aku melihatnya. Ketika rangkulan tangan, John ada di pundakku.
“Kenapa dengan, Alex?” tanyaku dalam hati.
Ya, sudahlah! Tak perlu aku pikirkan dia. “ Jihn, kamu tidur sana! Aku ingin sendiri.”
“Oh, tapi… emangnya kamu gak takut? Ya sudah kamu tidur dulu!” ujar John sambil memabringkan tubuhku di sofa.
Sebelum ia pergi, ia mencoba mencium keningku. Namun, tak jadi ketika kami mendengar vas bunga terjatuh . untunglah. Pasti ini kerjaannya Alex.
✲✲✲
Pagi itu aku sudah bangun terlebih dahulu, sebelum ayam menyanyikan dan memberikan lagu khasnya untuk kami. Sungguh ini amat sangat mengejutkan bagiku. Aku tebangun dalam keadaan badanku terselimuti oleh selimut tebal merah, bergambar kartun Thomas. Aku tak tahu ini selimut siapa, seingatku semua selimut dan bonekaku sedang di laundy.
Terlintas dalam benakku wajah yang tadi malam tengah memperhatikanku. Sudah! Sudah! Tak perlu lagi aku ingat dia yang tak mau menjawab pertanyaanku dan sok ngatur itu. Alangkah lebih baiknya aku bereskan saja tempat tidurku.
Wow…, Amazing! Di bawah bantal tidurku terdapat selembaran kertas. Surat. Ya, mungkin surat. Dan tenyata memang itu surat, surat bertuliskan nama Alex.
Syakira…, entah seberapa besar dan banyak frekuensi amarahku saat ini, tapi sungguh aku tak bisa menghilangkan rasa ini padamu dari semester lima sampai sekarang. Dan aku tak tahu sampai kapan rasa ini akan hilang. Atau dari awal kita bertemu di indekos ini.
Kira, mungkin aku cemburu atau entahlah, yang penting aku tak akan bisa tertahan amarahku jika aku melihatmu bersama teman laki-laki di indekos. Aku bukan melarang, ngatur, atau apalah menurut kamu, aku hanya mengkhawatirkanmu saja. Kamu harus tahu, teman sekosan kita atau teman priamu, mungkin, tak semuanya baik. Mereka rata-rata selalu berfikir negative akan sesuatu yang mungkin menjijikan bagiku. Dan aku tak mau kamu terjebak dalam permainan mereka, Kira.
Oh, ya. Mungkin kamu pas bangun akan terkejut melihat selimut dan surat ini. Jadi simpan saja lah selimut itu! Karena aku tak yakin kita akan berjumpa algi. Maaf aku enggak pamit dulu, soalnya aku tahu pasti kamu lelah.
Syakira…, jika kau mencariku, ku mohon jangan karena kamu tak akan menemuiku. Malam ini aku sudah pindah indekos dan mungkin aku akan mencari indekos atau villa untuk aku bisa menyandarkan tubuhku yang pastinya akan merasakan lelah.
I LOVE YOU, SYAKIRA…
Sungguh jiwaku seperti terperangkap di dalam bawah tanah, setelah aku tahu semua isi surat itu. Dengan segera. Tanpa piker panjang lagi aku langsung bersiap-siap merapikan tubuhku yang mungkin sudah tak rapi lagi setelah tidur tadi malam. Dan aku langsung go to university, dan berhapa akan bertemu dengan Alex.
Aaa…, apa ini takdirku? Entahlah! Alex, benar kalau aku tak akan bisa menemuinya msekipun terus berusaha pun.
Kalaian pasti pernah merasakan betapa sedih, kesal, kecewa, pokonya nano-nano deh, ketika mencari orang yang menyayangi kita pergi begitu saja.
✲✲✲
Beberapa bulan ini aku tak pernah menemui, Alex, meskipun aku mencarinya ke kampusnya, bertanya pada temannya, atau cara lain. Mungkin. Sebenarnya ini apa yang di inginkan Alex? Ia menghilang dengan begitu saja. Sungguh, untuk apa ia memberi tahuku akan perasaannya itu.
Ini sudah masuk dalam hari kesuksesan para mahasiswa, dan aku sngat berharap setelah wisuda bisa bertemu dengan Alex.
Mungkin hampir dua jam aku bersabar demi pencarianku akan sosok yang menghilang entah kemana itu. Setelah wisuda selesai, aku langsung pergi menuju kampus Alex tanpa memberi tahu orangtuaku yang tengah berjalan menuju mobil merah Toyota-nya itu.
“John, Arya, Tatang, Aziz, kalian melihat Alex?”
Dengan serempak mereka saling bertatap muka. “Enggak tahu…”
“Oh. Tapi tadi dia ada gak?”
“Ada. Tapi setelah wisuda selesai, dia langsung pergi bersama orangtuanya?” jawab Aziz.
“Tadi katanya enggak tahu…, oh ya sudah, terima kasih, ya!”
Aku pun langsung menghindar dari  kerumunan mereka yang tengah menuangkan kebahagiaanya.
“Penyesalan itu selalu datang terlambat…”
When im down andoh my so sowary
When trobles come…
Nada dering hapeku bunyi ketika aku mulai berjalan menuju prkiran khusus mobil.
“Assalamualaiku..., kamu dimana, Kira? Mamah sudah ada di halte depan kampusmu.”
“Walaikumsalam, Mah. Ia nanti aku langsung ke sana. Ini juga lagi di jalan, kok.”
“Baiklah. Don’t let time, honey!”
Ok, Mom.”
Dengan segera aku langsung berjalan cepat meskipun masih terasa lemas, karena aku merasa tak bisa menerima kenyataan ini. Hhhmm…, berjalan menggunkan songket dan kebaya bukanlah hal yang snagat kusukai, melainkan sangat aku benci. Ribet. Repot. Susuah.
Sesampai di halte aku langsung naik ke dalam mobil merah cerah, milik mamah itu, dan langsung OTW (on the way) ke indekos, buat ngambil barang-barangku yang sudah terkemas di dalam koperku.
Jarak dari kampus ke indekosku tidak memerlukan waktu yang lama, bahkan sekejap mata pun bisa. Kalau naik ojek, tapinya.
Sesampai di indekos, aku langsung mengambil koperku dan pamit kepada pemilik kosan. Sedangkan , Mamah kubiarkan diam di dalam mobinya. Maaf, ya mah.
Setelah aku mengambil koper dan pamit kepada pemilik kos, aku dan mamah langsung melanjutkan perjalanan menuju kampung. Ya, karena Ayah dan adikku sudah menunggu di sana.
Setiap orang pasti akan menggunakan jalur ‘tol’ jika ingin pergi ke luar kota. Begitupun diriku dan mamah. Kami juga menggunakan jalur Tol. “Mah, nanti kalo ada kafe, mampir dulu, ya! Please!”
“Kita sudah di tunggu sama Ayah. Lagian mamah tak mau kita lama di perjalanan saja.”
“Cuma sebentar aja, Mah. Please!”
“Sayang, di tempat seperti ini akan sangat lama mencari kafe.”
“Iya, nanti kalo ada, Mah.”
“Jangan lama, ya!”
“Janji kok, Mah.”
Aku cukup sabar untuk bisa menunggu kehadiran kopi hangat atau sejenisnya lah. Dan kesabaranku habis setelah tiga jam menunggu karena kami sudah sampai di kafe.
Hemm…, aku langsung menarik tangan mamah dan mengajaknya masuk ke dalam kafe tersebut. Cahaya remang kafe itu di sertai lagu jazz yang mengalun sayup, membuatku teringat pada, Alex. Uuuh… dia dan dia terus yang ada dalam bayanganku. Kenapa bukan adikku atau ayah.
Aku jadi teringat pada kenangan laluku bersamanya. Dia selalu membawaku ke kafe untuk memesan kopi. Ah, jadi gak ada rasa mood sedikit pun.
“Mah, pulang yuk!”
“Cepet banget?”
“Tadi mamah bilang jangan lam-lama. Ayo lah! Aku mau pulang.”
Akhirnya mamah pun menuruti permintaanku. Mungkin karena aku jarang bersamanya, jadinya aku bisa di manja dulu. Hehehh….
Mamah langsung menghidupkan mesin mobilnya dan langsung mengemudikan mobil itu drngan amat sangat cepat. Ya cepat. Cepat karena jalan to malam itu sangat sepi.
Tanpa aku sadari, air mataku terjatuh dan aku mulai tersedu-sedu. Aku tak tahu apa saja yang kupikirkan tentangnya. Sungguh ini adalah hal yang mungkin sangat lebay bagiku atau bagimu. Tapi, namanya sudah galau begini ya pasti sulit untuk dihilangkannya. Mungkin.
“Alex…,” gumamku reflex.
“Siapa, dia? Kok kamu nangis?”
“Tidak, Mah. Dia temanku di kampus.”
“Pacar? Ingat, kamu tak boleh pacaran!”
“Apa sih, Mah. Lagian siapa juga yang pacaran. Orang dia Cuma teman saja, kok.”
“Ya sudah, kamu tidur aja, deh!”
Aku pun langsung menutup mataku walaupun awalnya tak mau tertutup tapi lama kelamaan tertutup juga. Sampai-sampai aku tak ingat seberapa jam aku terlelap.
“Kira, ayo bangun! Kita sudah sampai di rumah.”
Kutatap jam miniku pada pergelangan tanganku yang tengah menunjukan pukul 02.15 WIB. Malam menuju pagi yang masih gelap.
Aku langsung masuk ke kamar adikku, Yori. Dan itu tanpa aku sadari.dan aku pun lagsung tidur di sampingnya hingga larut pagi.
“Mbak…, bangun!” sergah Yori.
“Apa sih? Mbak masih ngantuk. Pelit banget kamu.”
“Siapa yang pelit? Orang, Yori kangen sama Mbak. Lagian kalo pulang  cuman beberpa bulan sekali.”
“Ya, sudah. Aku ikut tidur dulu, ya!”
“Jangan. Mau ikut enggak ke rumah teman mamah dan ayah?”
“Kapan? Dimana?”
“Ya, mana kutahu. Ya minggu depan.”
“Ya sudah, kamu mandi duluan sana! Nanti Mbak nyusul habis kamu.”
“Oke, sip.”
✲✲✲
Orang tuaku melarangku untuk langsung bekerja. Aku tak tahu alasannya apa tapi bagiku, mungkin mereka ingin melepaskan rindunya padaku dulu. Hhehhe.. pede sedikit bisa kali.
Tepat di hari minggu, dimana yori mengajakku ikut bersama orang tuaku main ke rumah teman lamanya.
“Syakira…,cepat siap-siap! Pakai baju yang rapid an sopan,” kata mamah.
Karena aku tahu tempat tujuan orang tuaku pergi, jadinya aku tak mau banyak bertanya lagi,“Iya, Mah.”
Asyik… asyik! Akhirnya bisa main juga di kampung yang udah jarang aku telusuri.
Karena aku sudah berpakaina rapi, jadi aku langsung minta, Yori untuk naik motor saja. Ya, biar aku bisa dibonceng dia. Hehehe….
“Yor, kmau tahu tempat temannya mamah dan ayah?”
“Tentu, dong. Tiap minggu atau bulan aku sering main ke sana.”
“Yor, kamu bawa motor, ya! Mbak enggak mau naik mobil.”
“Mmm…, ya sudahlah. Mumpung kita jarang ketemu jadi aku nurut aja.”
“Ya sudah. Kamu bilang mamah duluan aja, ya!”
“Uh, ngeribeetin aja.”
“Ya… maaf,” jawabku memelas.
Setelah aku dan yori tahu kalau orang tuaku sudah berangkat, sekarang waktunya untuk aku dan adikku capcus.
Aku duduk di belakang adikku, dan adikku yang mengendarainya. Dia mengendarai motor ninjanya yang berwarna merah cerah itu dengan sangat berhati-hati. Mungkin ia sangat canggung padaku.
Setengah jam telah berlalu. Akhirnya sampai juga. Aku pun turun dan menunggu adikku mengajakku masuk ke dalam rumah tujuan kami.
“Ayo, Mbak!”
“Iya, aku jalan di samping kamu aja, ya!”
“Terserah…”
Karena pintu gerbang sudah terbuka, dan kulihat mobil orang tuaku yang sedang parker di samping mobil pemilik rumahnya.
“Assalamualaiku…”
“Walaikumsalam. Ayo masuk!”
“Iya, Tante.”
Setelah tante itu masuk ke dalam rumahnya lagi, kau heran padanya. Seperti kumengenalnya tapi siapa?
“Yor, itu siapa?”
“Itu tante Eli, namanya.”
Kami berdua langsung masuk dan duduk di samping orang tuaku. Rumah yang sangat unik. Rapi. Wangi. Bersih. Dan penuh dengan foto-foto yang sangat amat banyak. Mungkin itu kumpulan keluarga tante Eli. Bisa jadi.
Astaghfirullah…, aku hampir saja dikejutkan oleh sebuah foto yang terpajang tepat di dinding hadapanku. Sosok laki-laki yang menggunakan kostum wisuda. Alex. Mungkin kah? Entahlah.
“Tante maaf, apa itu foto, Alexander Dorroi?”
“Iya benar. Kamu mengenalnya?”
“Iya, tante. Dia sahabatku yang sangat baik. Namun…”
Sebelum aku melanjutkan penjelasanku, aku langsung terhenti dengan sosok yang sangat rapi sekali, sedang berdiri di hadapan anak tangga yang baru saja ia gunakan untuk turun menuju ruang tengah yang tengah kami singgahi. Kaos merah dan celana levi’s panjang yang ia kenakan itu membuatnya semakin tampan. Terpesona. Pasti.
“Syakira…,” ucap, Alex sepontan.
Karena kau sangat amat malu padanya, jadi aku minta untuk, Yori mengantarkanku pulang atau pergi ke tempat yang mungkin nyaman untukku.
“Tante, Mah, Yah, aku izin pamit pulang dulu, ya! Aku ada janji yang harus ditepati, dan aku juga ada acara lain.”
Sebelum mereka merespon perizinanku, aku langsung menarik tangan adikku dan membawanya keluar.
“Yor, ayo cepetan! Kamu harus membawaku pergi dari sini!”
“Memangnya kenapa da nada apa?”
“Jangan banyak Tanya! Aku di sini enggak betah. Cepetan bawa aku pergi!”
“Iya… tunggu, lha!”
Sebelum aku naik motor adikku, Alex sudah lebih cepat menghampiriku yang tengah berada di halaman rumahnya.
“Kira…,” ucap, Alex sambil menarik tanganku.
Uh, ini hal yang sangat menyebalkan. Aku tak bisa lari dari semua ini. Aku hanya bisa menundukan kepalaku, seolah-olah aku tak ingin menatap wajah dan matanya itu.
“Maaf, tolong lepaskan tangan saya!”
“Kamu mau kemana? Memangnya kamu punya janji dengan siapa? Bukannya di sini kamu belum akrab lagi dengan teman-temanmu yang lainnya.”
Aku hanya terdiam, entah apa yang harus kukatakan lagi.
“Kira…,” ucapnya sambil membalikkan badanku mengarah padanya.
Sungguh tak tahan. Aku hanya melihat wajahnya dengan kita. Malu. Ya, semua itu karena malu.
“Alex, tolong lepaska! Kita bukan muhrim,” alasanku untuk menghindar darinya.
“Muhrim? Kenapa, tak suka? Tapi kok kamu mau di sentuh-sentuh oranag lain.”
Aku langsung teringat pada John yang merangkul pundakku dan hampir menciumku. Untung saja enggak jadi gara-gara, Alex.
“Terima kasih,” jawabku lemah.
Mungkin aku termasuk orang bodoh. Sungguh perkataannya menyentuh diriku. Dengan segera aku membalikkan badanku darinya, dan… menangis. Memalukan.
“Kira…, kenapa kamu?” tanyanya sambil mencoba menghadap padaku.”Kira, kamu….” Lanjutnya.
Alex pun memelukku dengan sangat amat erat. Lebih erat. Bahkan aku pun hampir tak bisa bernafas sedikit pun. “Maaf, aku memelukmu. Aku berani melakukan ini karena orang tuaku. Mereka ternyata telah menjodohkan kita sejak kecil.”
Aku tak sedikit pun merespon apa-apa. Yang kurasakan hanyalah pengap. Aku butuh udara, tapi sungguh aku malu pada, Alex. Dan di sisi lain, aku tak ingi melepaskan pelukannya. Aku tak mau lagi untuk pergi mencarinya. Lelah.
“Syakira…, ayo masuk, dulu!” pinta Ayah.
Alex pun langsung memadamkan rasa sedihku dan mengajakku masuk ke dalam sambil merangkul pundakku dan menggenggam tangan kananku.
Mungkin orang tuaku dan orag tua, Alex akan heran setengah mati. Mungkin. Karena mereka melihat katung mataku yang sudah bengkak.
“Jadi kalian sudah saling kenal? Kalau begitu kita tak perlu susah payah merencanakan apa yang telah kita rencanakan, Jeng.” Kata Mamah pada tante Eli.
Aku masih terdiam, dan di persilahkan duduk oleh Alex. Begitupun padanya, ia juga ikut duduk di sampingku.
“Tante,Om, dan Mamah, tak perlu menanyakan apa-apa pada kami! Saat ini aku di hadapan kalian semua ingin meminta restu untuk bisa meminang wanita yang tengah duduk di sampingku,” kata, Alex.
Mendengar itu aku hanya bisa menggenggam erat tangannya. Seolah-olah aku seperti tak ingin ia pergi dari genggamanku.
“Syakira…, bagaimana pendapatMu?”
Semakin erat. Dan semakin erat genggaman itu. Aku tak tahu harus berkata apa lagi.  Orang yang diam-diam telah menyimpan perasaannya padaku, kini ia telah mengungkapkannya di hadapan orangtuaku dan orangtuanya.
Dengan hati ragu, aku hanya bisa menganggukan kepalaku saja sebagai tanda isarat kalau aku menerimanya.
Dan detik itu juga, lembaran baruku juga baru saja dimulai.
THE END




0 comments

cerpen _ Maafkan aku, umi!


Suatu hari, aku merasa bosan. Hanya diam di rumah yang sepi. Bingun harus pergi kemana untuk bosa bersenang-senang. Mmm…, main ke mana ya?
Oh, ya. Bagaimana kalau main ke hutan yang ada di seberang. Di sana, banyak ppohon yang enak untuk disandari dan mungkin bisa diajak curhat. Yah, walaupun pohon tak dapat berbicara.
“Assalamu’alaikum ya, umi, abi. Nanti, aku akan pulang secepatnya!”
Aku pun pergi. Meski sudah pamit kepada kwdua orang tua namun, aku tak memberi tahu kemana akan pergi. Sebelum orang tuaku menjawab salam, aku langsung pergi. Lari dengan penuh semangat!
Sampai di tujuan, aku merasa merdeka. Ya, merdeka. Aku lihat pemandangan di sekeliling yang sangat indah. Masya Allah! Begitu indahnya ciptaanMu. Menakjubkan. Pohon-pohon besar berdiri tegak seperti menutupi langit. Menjulang tinggi seperti mau menangkap matahari. Baris berbaris rapi, seperti urutan puzzle yang tersusun seirama. Batangnya besar berkulit cokelat tua.
Dengan daun muuda menggelayut di ujung-ujung ranting yang tipis. Masing-masing pohon menyembulkan aroma harum yang khas. Tidak seperti aroma minyak wangi orang-orang kota. Bukan juga aroma misik dari pasar tradisional. Bukan juga aroma pabrik. Ini surge. Ya, ini jelas-jelas aroma surga!
Dengan cepat aku langsung mencari pohon berukuran besar. Berharap mudah dipanjat, tidak licin dan nyaman bersandar di atasnya. Huff…, benar-benar tidak mudah. Tidak semudah laki-laki dalam memanjat. Cukup menguras tenaga untuk bisa sampai ke tengah batang yang menghimpit.
Kini, aku sudah berada di tengah batang berukuran besar yang membentuk huruf Y. bersandar di sini seperti bersndar di langit. Aku dengan leluasa bisa memandangi negeri bernama : Indonesia.
Kesejukan mulai merayap di sekujur tubuhku. Menembus pori-pori dan mulai menguasai jiwa. Oh, Rabb, betapa nikmatnya kesejukan ini. Aku merasa nyaman di ketinggian ini. Ketinggian memberi pesan penting dalam hidup. Bahwa, setinggi apapun kita kelak, tidak boleh lupa dengan yang di bawah. Inilah yang akan memangkas kesombongan dari setiap diri.
Zzz…zzz…zzz…
Ops, sudah jam berapa ini?
Kesejukan ini meninabobokanku. Hari ini benar-benar merasakan tidur di atas pohon. Seperti memeluk gumpalan-gumpalan awan sebagai bantal dan langit sebagai selimut. Sampai lupa, perut sudah mulai keroncong. Aku bergegas turun dari pohon. Sesampai di akar pohon, terdengar suara benda jatuh. Ternyata, buah dari pohon ini ada yang jatuh. Bergegas aku berpikir untuk memakannya.
“Tapi, kalau aku memakannya, apakah akan disebut pencuri? Pohon, milik siapakah engkau ini? Sesungguhnya aku lapar sekali.”
“Ambil dan makanlah, wahai sahabatku,” jawab pohon.
“Aku tidak bisa, sahabat.”
“Ambil dan makanlah. Aku ikhlas. Maafkan, aku hanya bisa memberumu buah ini saja sebagai tanda terima kasih.”
“Tidak. Akulah yang berterima kasih. Hanya engkau yang memberikan perhatian padaku. Ketika ada ranting yang tua di tubuhku, engkau yang memangkasnya karena takut ranting itu jatuh mengenai orang lain. Ketika aku merasa layu, engkau memberiku air.  Ketika aku butuh hidup, engkau memberiku pupuk. Ketika aku butuh menjaga kerindangan, engkau memberiku perawatan. Ketika aku kesepian, engkau datang menemani dan kita saling berbagi cerita. Semua yang telah kau berikan padaku sangat mahal, wahai sahabatku. Tidak ternilai, meski dengan ucapan terima kasih. Tapi, aku hanya bisa memberikan buahku sebagai wujud terima kasihku.”
“Oke. Oke. Kalau begitu, kita impas. Kita sama-sama berterima kasih.”
“Oke. Sepakat!”
“Sahabat, aku pulang dulu. Waktu sudah sore. Umi dan abi pasti sudah menunggu. Aku tidak ingin membuat mereka cemas.”
“Oke. Hati-hati di jalan, sahabat.”
Aku peluk sahabatku. Kedua tanganku nyaris tidak bisa melingkari badannya yang besar. Aku berikan usapan sebagai tanda kasih sayang. Aku melangkah pergi, makin menjauh.  Di ujung jalan yang berkelok, aku kembali menoleh ke belakang. Aku melihat ia menangis. Daun-daun muda yang berada di ujung menari-nari seperti melambaikan tangan.
Akku tahu, ia sedih karena kesepian. Tapi, biarlah. Kesepian juga bagian dari hidup yang patut kita nikmati. Bahkan, dalam kesepian ada banyak manfaat. Salah satunya, menulis serita pendek ini. Aku langsung lari pulang ke rumah. Di jalan, aku selalu berdoa agar umi dan abi tidak marah. Soal buah, ops iya, bagaimana soal buah kalau nanti ditanya?
“Assalamu’alaikum….”
“Alaikumsalam,” jawab umi yang sedang menyapu pelantara rumah.
Selesai mengecup tangannya, aku mengucap, “Umi, maafkan aku kalau aku agak telat pulangnya.” Umi tidak langsung menjawab. Matanya tajam seperti mata para polisi penyelidik. Ya, pastinya, umi sedang menyelidik. Kedua bola matanya menukik tajam ke bawah, lalu naik ke tengah lalu ke atas.
Nyaris semua bagian tubuhku tidak ada yang terlewatkan diselidikinya. Ia berjalan mengeliling, sambil terus menyelidik. Sesekali ia mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku merasa, umi sedang coba menajamkan penciumannya untuk mnguatkan hasil penyelidikan. Aku hanya diam pada satu arah; terpaku. Layaknya patung dalam pajangan pameran seni rupa di Taman Ismail Marzuki. Lalu, umi berhenti di depanku. Tersenyum. Alhamdulillah, syukurlah, aku puas dan lega melihat Umi tersenyum.
“Apa yang kamu bawa, Nak?”
“Buah, Umi.”
“Dari mana kamu dapatkan buah itu?”
“Pemberian seorang sahabat, Umi.”
“Sahabat! Sahabat…?”
Umi menekankan kata itu dua kali. Sudah pasti, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya dan butuh jawaban segera. Ini artinya, babak penyelidikan telah memasuki babak penyelidikan. Satu tingkat lebih maju seperti dalam proses verbal di kepolisian. Lebih seru, pastinya! Bisa lebih panas kalau nanti aku salah bicara.
“Ya, Umi. Dari sahabat.”
“Sahabat baru atau sahabat lama, Nak?”
“Lama, Umi.”
“Sudah berapa lama kamu mengenalnya?”
“Aku lupa, Umi. Yang pasti…”
“Lupa?”
Pertanyaan umi makin memburu. Panas. Panas. Pastinya, umi sudah bersiap-siap untuk mulai melancarkan serangan-serangan mematikan. Skak mat!
“Maaf, Umi, aku lupa. Seingatku, ya sekitar setahun lalu.”
“Setahun?! S e t a h u n. waktu yang cukup lama untuk anak sebelia kamu, Nak. Apakah umi mengenal sahabatmu itu?”
“Sepertinya belum…”
“Dan, apakah kamu pernah  membawanya kemari?”
“Belum…”
“Apakah kamu rela mengajak umi bertemu dan berkenalan dengannya?”
“Baik…”
“Apakah dia teman sekolahmu atau teman main?”
“Bukan…”
“Bagaimana kalian bisa berkenalan dan di mana kalian berkenalan?”
“Kami…”
“Apakah dia laki-laki?”
“Dia…”
“Jelaskan pada umi, Nak. Jelaskan dan jangan pernah takut.”
Umi menarik nafas panjang yang berat. Kemudian membuangnya dengan perlahan. Seolah, gumpalan nafas itu telah menggunung di dalam dada. Matanya menuding tajam, mengarah ke bola mataku. Sesekali aku berani menatapnya, sesekali aku menunduk. Tapi, aku lebih memilih menunduk sebagai rasa kasih dan hormat padanya. Aku yakin, ia sangat menyintaiku sekalipun aku masih seperti patung pajangan di Museum Gajah.
“Namany, Rindang. Aku kenal kira-kira setahun lebih. Aku senang kalau selalu dekat dengannya. Dia selalu mengajaku. Dia sangat sederhana,apa adanya. Jujur. Gagah. Berwibawa. Bersih. Dan,menyejukkan hari . aku selalu dipeluknya. Kami hanya butuh waktu dua jam untuk bersama,  tidak lebih dan itu sudah lebih dari cukup. Kadang,kalau berada di dekatnya , aku selalu merasa ngantuk sampai tertidur pulas. Aku benar-benar merasa nyaman bersamanya. Aku punya kewajiban untuk selalu menjaga dan memeliharanya .’’
Dari jarak sekitar dua jengkal telapak tangan gadis belia , Aku lihat badan umi gemeteran. Wajahnya memerah. Bibirnya bergetaran, saling beradu seperti tidak kuat mengucapkan sepatah katapun. Kedua bola matanya yang menusuk tajam mulai berkaca-kaca dan membendung air.
Air yang semakin banyak membuat pipinya basah. Pelan-pelan air it uterus meleleh. Umi masih berdiri di hadapanku. Kami sama-sama terpaku. Diam. Tak bergerak sama sekali, sekalipun ada seekor nyamuk yang hinggap atau ulat bulu yang mulai mendekati kaki. Kami, saling memandang. Saling mengurai rasa welas asih. Saling menerka-nerka. Saling menyelidik dan mulai menyelidik. Dengan cepat, umi memelukku.
“Apa yang dia lakukan padamu, Nak. Ceritakan pada umi. Ceritakan. Jangan takut, Nak. Jangan takut.”
“Dia hanya memberi kenyamanan saja, Umi. Kalau bertemu, kami saling curhat saja. Tidak lebih. Baru kali ini saja saya berani memeluknya. Pelukan itu saya berikan tadi saat kami mau berpisah.”
“Maafkan umi, Nak. Maafkan umi jika umi bersalah sampai tak bisa memberikan kenyamanan dan perhatian padamu. Maafkan umi, Nak.”
Pelukan umi semakin kuat. Tangisannya semakin menjadi-jadi. Air matanya telah membasahi kerudung yang aku kenakan. Badan umi makin gemetaran. Sesenggukan hebat yang baru aku saksikan dari seorang ibu. Aku ikut larut dalam keadaan itu. Aku pun menangis.
Memeluknya dengan sangat erat. Aku merasa bersalah telah bercerita apa adanya. Di lain sisi, aku benar-benar bingung akan jalan cerita ini dan aku masih bertanya-tanya dalam hati perihal apa yang salah dari kejujuran ceritaku ini. Aneh.
“Apalagi yang dia lakukan padamu, Nak. Apalagi?!”
Kedua telapak tangan umi yang sangat lembut menekan kedua pipiku. Matanya menancap tajam ke kedua bola mataku yang terus melelehkan air mata.
Sebuah tatapan yang makin menyidik untuk dan menanti sebuah jawaban yang sesingkat-singkatnya dan secepat-cepatnya. Hatinya benar-benar sedang dalam kegundahan yang amat sangat. Was-was. Menduga-duga. Menyimpan banyak asumsi-asumsi. Cemas. Bersiap-siap melakukan tindakan selanjutnya jika terjadi ini atau terjadi itu.
“Hanya saling bercerita, curhat, memeluk, dan aku tiduran dan aku menyayanginya. Dia pun melakukan hal yang sama, Umi.” Umi melepaskan kedua tangannya. Ia menjauh sejarak satu meter, tapi tetap berdiri di hadapanku.
“Ya Allah. Ya Allah, ya Rabb. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Anakku, anakku. Apa yang telah kau lakukan? Apa yang kalian lakukan? Allah melihat semua tindakan kita, Nak. Allah mendengar, Nak. Apakah kalian tidak takut pada azab Allah yang sangat pedih dan perih? Ya, Allah, ampuni aku sebagai ibunya. Ampuni aku, ya Allah. Ampuni anakku ya Allah. Ampuni.”
“Ya, Allah. Umi, umi. Umi kenapa? Ada apa, Umi?”
“Aku yang seharusnya bertanya padamu, Nak. Kenapa kau melakukan itu semua?”
“Melakukan apa, Umi?”
Astaghfirullah. Apakah kau tidak menyadari apa yang telah kau ceritakan tadi?”
“Ya Allah, Umi. Maafkan aku. Aku akan menjelaskan kembali pada umi. Sebenarnya…”
“Penjelasan apalagi, Nak. Penjelasan apalagi yang akan kau berikan, atau, jangan-jangan kau ingin melakukan pembelaan, bukan penjelasan. Semua penjelasan yang tadi kamu sampaikan sudah sangat cukup. Lebih dari cukup. Aku tidak kuat lagi untuk mendengarkan penjelasan-penjelasan lainnya.”
 “Umi, tolong. Dengarkan aku dulu!”
“Cukup! Cukup! Umi sudah tidak kuat lagi mendengarnya. Umi akan menelepon abi dan berharap kamu mau bekerja sama untuk menemukan lelaki itu.”
“Lelaki? Lelaki mana, Umi? Lelaki yang mana? Siapa, Umi?”
“Umi sudah menduga kuat kalau kamu bukan akan memberikan penjelasan melainkan pembelaan. Umi tidak akan terpengaruh. Omongan pertama itu adalah yang paling jujur. Umi akan menelepon abi sekarang!”
Umi bergerak cepat meraih handphone di atas meja computer. Dengan kondisi tangan gemetaran, jari-jarinya memijit nomor.  Jari-jari itu Nampak tegang dan kaku. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemetaran hebat sambil menunggu nada sambung. Sesekali bibir itu dilipat kuat-kuat, sesekali dibiarkan gemetaran. Posisi tubuhnya tidak menentu. Kadang berjalan, kadang diam, kadang berputar ke kiri, kanan dan kadang duduk lalu berdiri lagi. Sebuah kecemasan-kecemasan yang juga membuat aku cemas.
Ini tidak biasanya terjadi. Dan, ini tidak boleh terjadi. Pasti ada yang salah dari ceritaku. Pasti! Tapi, kalau sudah dalam kondisi menegangkan seperti ini,  bagaimana aku bisa mengembalikan ke semula? Ya Allah, bagaimana caranya?
Sepertinya, telepon sudah tersambung. Umi berlari masuk ke kamar. Ini bagian dari upaya untuk menghindari percakapannya dengan abi diketahui olehku. Umi benar-benar sedang cemas. Bahkan, sampai level ketakutan. Aku bisa menangkap gelagat itu dan mengetahuinya, karena dia ibuku. Kasihan umi. Kasihan.
Aku masih berdiri di balik daun pintu yang terbuka setengah. Udara sore hari mulai membalut badan. Ops, lupa, salat asar! Cepat-cepat aku menuju kamar. Mandi dang anti pakaian. Pakaian kotor yang tadi aku kenakan diletakkan di keranjang dekat kamar. Ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari pendidikan kedisiplinan dan kebersihan. Selesai mandi dan wudhu, aku langsung salat. Aku berdoa dengan doa-doa yang panjang.
Salah satunya, berharap agar umi dan abi baik-baik saja. Terlebih, tidak ada salah persepsi dari ceritaku tadi. Terlebih, tidak ada kekeliruan dalam tafsir umajinasi. Di lain sisi, kalaupun terjadi kekeliruan dalam tafsir imajinasi, itu artinya aku telah sukses. Ya, sukse!
Sukses dalam merangkai imajinasi yang kemudian dituangkan menjadi tulisan-tulisan pendek, puisi atau novel. Maklum, aku sedang belajar menjadi seoranng penulis. Guru yang mengajariku mengatakan, pentingnya untuk menjaga imajinasi. Sebuah tulisan harus memiliki daya imajinasi yang jujur.
Daya imajinasi yang jujur akan melahirkan energy yang luar biasa hebatnya. Dengan begitu, pembaca bisa terhipnotis oleh tulisan-tulisan kita. Kalau sudah terhipnotis, pembaca akan melakukan apa saja yang kita inginkan melalui pesan dalam tulisan.
Jika pembaca sudah candu, itulah tanda-tandanya menjadi penulis sukses.  Kalau ini terjadi daan dialami oleh umi, di lain sisi, aku telah sukses. Paling tidak, sukses dalam bercerita jujur.
Jujur dalam sisi yang berbeda karena ada daya imajinasi yang mampu menghipnotis orang yang mendengarnya. Ini sebenarnya tidak disadari. Refleks, begitu kata ahli beladiri! Kalau itu terjadi, maafkan aku, Umi. Maafkan.
Benar saja. Tepat jam setengah enam. Pintu kamarku diketuk. Aku membuka. Ow, rupanya abi dan, Nampak umi berdiri di belakangnya.
“Assalamu’alaikum.”
“Alaikumsalam,” jawabku.
Abi selalu saja sama. Dengan wajah teduhnya, ia menebar senyum. Ada pesan teramat dalam yang hendak disampaikannya. Pesan yang masih rahasia, entahlah apa isinya. Aku menyilahkan keduanya masuk. Kami duduk berhadap-hadapan beralaskan kasur lantai. Abi belum membuka percakapan. Umi sudah menampakan kegundahannya. Abi menatapku terus, ddengan tatapan penuh kearifan dan welas asih.
Ia masih saja tersenyum damai. Senyuman yang begitu indah seperti bulan purnama. Matanya menyipit seperti coba menyelidik dengan selidikan yang sangat halus.
Gaya penyelidikansekelas seorang jenderal intelejen.orang yang tidak peka tentunya tidak akan tahu bahwa abi sedang menyelidik, membaca situasi psikologis lawan bicaranya dan coba meneropong lebih jauh batin dari lawan bicaranya. Benar! Benar kata guru jurnalistikku. Rupanya, ini yang dinakmakan komunikasi interpersonal. Bernar sekali.
“Apa yang kau ketahui tentang Allah, anakku?”
Gila! Ini pertanyaan bersayap  yang sangat luar biasa dalamnya. Pertanyaan seharusnya diajukan oleh seorang filsuf sebelum masa renaissance. Sebagai calon jurnalis dan penulis muda, aku menyebut ini kalimat bersayap. Sebuah pertanyaan dasar yang ujungnya dapat menjebak. Ini biasanya dilakukan oleh jurnalis investigasi dalam menguak sebuah data yang sulit diungkap.
Tapi, dari mana abi bisa tahu gaya pertanyaan seperti ini. Setahuku, abi bukan mantan wartawan. Ah, sudahlah. Ikuti saja alurnya maka, akan ketemu bagaimana akhir ceritanya. Itu kunci menjadi pembaca yang baik, begitu kata guruku.
“Allah segalanya, Abi. Begitu dekat bahkan, lebih dekat dari urat leher kita. Sebaik-baiknya saksi dalam setiap muamalah dan perniagaan. Maha melihat dan maha mendengar.”
“Apa yang kau ketahui tentang islam, anakku?”
“Agama yang benar. Diridhai. Jalan hidup. Hokum hidup dan kehidupan.”
“Apa yang kau ketahui tentang nama baik keluarga, anakku?”
Benar saja! Ini dia yang kumaksud. Dengan ujung menjebak itu. Aku perhatikan, abi selalu tenang dan selalu menahan senyumannya dalam kontur bibir yang tetap sama. Bibir itu tidak bergerak sama sekali. Terkatup. Aku perhatikan, umi terus melelehkan air matanya. Berkali-kali coba menarik nafas panjang yang berat dan menghempaskannya perlahan-lahan seperti mengatur ritme nafas dalam Tai chi.
Di depan umi, tergeletak pakaian kotor yang tadi aku taruh ke dalam keranjang. Aku menduga kuat, pakaian kotorku menjadi barang bukti penyelidikan umi dan abi.
“Aku harus menjaganya. Sebaik-baiknya. Sejujurnya. Keluarga adalah madrasah pertama. Keluarga menjadi cermin keberhasilan mengajarkan ajaran agama.”
“Apa yang kamu ketahui tentang dirimu saat ini, tentang umi dan abi terhadapmu?”
100 persen benar-benar terjadi. Ujung yang menjebak! Kini, saatnya aku mengambil alih kemudi dari alur cerita ini. Agar tidak terlalu jauh dalam menafsirkannya. Saatnya.
“Abi, Alhamdulillah, diriku baik-baik saja. Tidak kurang satu apapun, tidak rusak satu apapun, tidak luka satu apapun. Tentang abi dan umi, insya Allah aku sangat mengetahuinya. Abi dan umi saat ini sedang menantikan penjelasan dariku terkait tadi sore. Sebelumnya, aku minta maaf sebesar-besarnya pada abi dan umi jika aku berbuat salah baik dalam sikap maupun ucapan…”
Tiba-tiba umi berdiri dan pergi meninggalkan kamar. Entah kenapa da nada apa. Semula, aku mengira kalau umi meninggalkan kamar karena tidak kuat jika mendengar penjelasanku. Ini artinya, umi telah memiliki asumsi kuat kalau anaknya sedang dalam masalah pelik.
Tapi tak lama, pintu terbuka lagi. Umi masuk ke dalam dan mengatakan dengan nada lirih, “Abi, ada Pak Lurah datang berkunjung. Mau silaturahmi dengan abi, katanya.”
“Baik. Terima kasih, Umi. Abi akan menemuinya.”
Abi menarik nafas panjang yang berat, lalu tidak namapak ia menghempaskannya kembali. Aneh. Ini jarang terjadi. Ini artinya, ada banyak gumpalan masalah berkecamuk dalam pikirannya. Ada banyak susunan pertanyaan-pertanyaan yang belum dilontarkan. Belum menemukan kepuasan dalam mencari solusi dari masalah yang diduganya pelik.
“Abi…”
“Maaf, nanti kita sambung lagi, anakku,” sela abi sambil menyelipkan senyum meneduhkan.
“Ya, Abi. Terima kasih.”
Abi dan umi pergi meningalkan kamar. Terselip rasa berdosa di hati ini pada keduanya. Aku seolah seperti sedang mempermainkan perasaan mereka. Aku lupa bahwa kekacawan pikiran dan kegundahan hati tentulah sangat berpengaruh pada kondisi fisik seseorang. Apapun alasannya, aku merasa bersalah pada keduanya. Aku memliki tugas berat kali ini, baik pada umi dan abi juga para pembaca, yaitu : meleruskan ide cerita ini dan menjelaskannya di bulan depan.
THE END



 
;