“Kak, apa engkau yakin tidak mau
lagi tinggal bersama orang tua kita?”
“De, kakak sudah tak bisa lagi
hidup bersama di sini. Sekarang….”
“Sekarang kenapa?”
“Ya, apa kamu tak menyadarinya?
Kamu tidak sadar, sekarang kasih sayang ibu telah berpaling kepada kepada
suaminya dan saudara tiri kita?”
“Aku tahu, Kak. Tapi, apakah
engkau tak bisa bersabar?”
“De, jika kamu mau ikut kakak
cepat kemasi barangMu! Tapi, jika tidak…,
up to you, De.”
“Kak. Jika kita pergi bagaimana
dengan Ibu?”
“Kamu sudah tahu kan, kalau ibu
sekarang sudah punya suami? Ya, sudah biarkan Ibu bahagia bersamanya! Aku tak
lagi ingin merepotkan mereka. Apa lagi ayah, yang sok baik di hadapan Ibu aja.”
“Maksud kakak?”
“De,dulu kalo kamu sekolah dan kakak sudah pulang
kuliah, ayah itu seperti bukan layaknya seorang ayah. Melainkan pacar. Dia itu
genit! Bahkan sampai sekarang pun ia masih seperti itu. Aku tak mau hidup
bersama orang seperti itu.”
“Aku masih enggak ngerti, Kak.”
“De, kamu jangan Tanya apa-apa
lagi! Jika kamu mau ikut kakak, cepat segera kemasi barangMu!”
“Tapi, apa kakak yakin?”
“De, kita hudup dalam pengawasan
sang pencipta. Jadi ngapain kita khawatir atau apa lah. Lagian kakak sudah dewasa,
dan jika kakak butuh uang untuk kebutuhan pribadi, kakak bisa kerja sendiri dengan gelar
kakak yang sekarang.”
“Kak, lalu bagaimana dengan adik
kita?”
“Dia kan masih bayi. Terus dia
juga anak dari Ibu dan Ayah tiri kita kan? Ya, biarlah. Pasti dia hidupnya akan
lebih bahagia.”
“Kak, meskipun kakak sudah
dewasa, tapi aku tak tega jika kakak harus pergi tanpa tujuan sendiri.”
“Lalu?”
“Ya, masa aku sebagai laki-laki
tak bisa menjaga wanita, sih.”
“Waduh, bahasamu boleh juga, De.”
✲✲✲
Aku memang wanita, tapi aku tidak suka di
perlakukan atau dianggap seperti wanita peminim. Jangan karena fisik dan
wujudku wanita, jadi kalian pikir aku tak bisa pergi berkelana. Oh, tidak!
Aku
pergi dari rumah tanpa pamit sedikit pun, melainkan aku hanya menyimpan
selembaran kertas putih yang telah kunodai dengan tinta hitam. Tidak banyak
pesan yang kusampaikan selain kata maaf.
Aku
tak tahu kemana aku harus pergi. Aku sangat khawatir pada adikku. Meskipun dia
laki-laki, tapi tetap saja rasa khawatir ini tak kunjung padam juga.
“Kak,
kita mau kemana? Ada tikungan?”
“Kita
ikuti saja jalur jalan yang lurus!”
“Kok
lurus terus?”
“Karena,
aku pernah membaca terjemahan surat al-fatihah, lalu telah dibahas di dalamnya
‘mengenai jalan yang lurus’.”
“Tapi,
apa kakak yakin?”
“De,
jangan menjatuhkan keyakinanku!”
“Aku
tidak bermaksud, Kak. Ya sudah, kendarai saja motor ini dengan santai!”
Aku
terus melintasi arus jalan yang lurus. Meskipun aku tak tahu apakah ini jalan
yang benar. BISMILLAH…, semoga ini jalan yang benar.
Kami hanya membawa perbekalan
makan untuk setengah hari saja. Karena kami pikir untuk makan malam, kami bisa
membeli di warteg atau sejenisnya.
Kampung menuju desa. Mungkin
itulah jalan yang sedang kulalui bersama adikku. Panas karena sinar pancaran
matahari. Dingin yang membalut tubuh ini karena derasnya air hujan yang
mengguyur kami. Semakin tak tega aku membawanya pergi.
“De, kamu beneran mau ikut
terus?”
“Iya, kakak. Kak, sebenarnya ini
daerah mana?”
“Entahlah. Kita pergi tanpa
tujuan.”
“….”
Adikku tak berkata apa-apa lagi,
melainkan aku melihat dengan sangat jelas, kalau matanya sedang berbinar-binar.
Tak tahan aku melihatnya. Aku hanya terdiam dan menunggu hujan reda. Setelah
reda, aku dan adikku melanjutkan perjalanan kami lagi.
Kebun dan sawah telah kami lalui.
Panas dan dingin pun sudah. Apa lagi demo. Demo dalam perut maksudnya. Cacing dalam
perutku dan adikku mungkin, sudah protes untuk makan. Tapi, di tempat seperti
ini apa aku bisa makan? Entahlah.
Karena hari sudah mulai tidak
terang lagi, akhirnya kami memutuskan untuk ikut bermalam di rumah salah satu
warga di sekitar sini.
“Assalamualaikum?”
“Walaikumsalam. Cari siapa, ya ?”
“Maaf, mengganggu,Bu. Kami datang
dari jauh-jauh tempat, dan kami sekarang sangat butuh tempat berteduh dan
bermalam.”
“Maaf, bukannya saya melarang
atau apa, taapi di sini tidak ada suami saya. Jadi saya tidak berani memutuskan
pilihan.”
“Baiklah. Terima kasih, Ya, Bu.”
“Sama-sama. Coba kamu ke depan
sana aja! Dari sini kamu hanya tinggal lurus terus hingga terlihat pagar besar.
Di situ, kamu pasti boleh istirahat.”
Aku langsung melanjutkan
perjalanku dengan arah yang telah di tunjuki seorang ibu-ibu separuh baya.
Namun sayang, aku tak tahu apa benar yang dikatakan wanita tadi? Tapi jika
benar, mengapa dari tadi aku tak menemukan satu pun rumah lagi.
✲✲✲
Setelah kami terus mengikuti arus
jalan yang lurus, akhirnya kami pun menemukan sebuah gubuk. Gubuk yang
menyendiri dari rumah warga.
Gubuk itu sederhana sekali. Sepi.
Hening. Seperti tak ada kehidupan. Dengan lancang, aku langsung memarkirkan
motorku di samping gubuk itu dan menguncinya.
Kami mencoba masuk dengan salam.
Berkali-kali kami mengucapkan salam, tapi tak ada jawaban. Dan akhirnya, kami
memilih beristirahat sejenak dahulu di sini meskipun tanpa kami ketahui pemilik
gubuk ini.
Sungguh sangat nyaman, nyenyak
dan rasanya beristirahat di sini enak. Tapi, rasa lapar ini telah menghilangkan
semua kenyamanan ini. Uuh, nyari makan kemana jam segini? Apa lagi di sini jauh
dari rumah warga.
Kutatap adikku yang sudah mulai
dewasa. Ia sangat manis dan sungguh aku semakin tak tega membawanya pergi
bersamaku. Tapi, ya sudahlah. Yang terjadi biarlah terjadi.
Kegelapan telah mulai sirna,
cahaya pagi yang masih sejuk membuatku semangat untuk melngkahkan tujuanku yang
tanpa arah ini bersama adikku,Rahul.
“De, ayo bangun! Kita harus
berangkat sekarang.”
“Mmm…, apa sih, Kak? Masih
ngantuk!”
“Ayolah, cepat!”
Dari pada menunggu dia kelamaan,
lebih baik aku menghidupkan mesin motorku supaya mesin-mesinnya merasa hangat.
“Kak, aku laper?”
“Bangun juga dirimu, Dek. Ya
sudah, kita cari makan dulu sekaligus mencari…”
“Mencari apa, Kak?”
“Sudah, tak penting. Ayo naik!”
kataku sambil bersiap mengendarai motorku.
Aku selalu mengikuti pendirianku.
Lurus dan lurus tanpa mengarah kiri dan menoleh ke belakang.
Selama aku mengendarai motorku
bersama adikku, aku belum sekali melihat ada satu rumah pun di kawasan yang
telah kulalui. Oh, Tuhan, bisakah engaku berikan petunjukmu? Semoga jalan yang
kutempuh ini benar.
Hampir satu jam aku mencari rumah
warga, namun, tetap saja tak kutemukan. Aku sudah lelah dan sangat lapar.
Selama di perjalanan, adikku selalu menanyakan, “Sudah sampaikah kita?”. Aku
sudah tak menyimpan lagi karbohidrat sedikitpun. Yang kusimpan hanyalah uang.
Namun, uang itu tak akan berarti jika aku tak juga menemukan tempat makan.
Kutatap kapasitas bensin pada
motorku. Astaga! Sudah hampir menuju pada warna merah. Pertanda aku harus
segera isi bensin. Tapi, dimana aku bisa membeli bensin? Ya sudahlah, aku pun
tak memikirkannya melainkan terus berjalan lurus.
Sepanjang jalan, aku hanya bisa
berdikir di dalam hati. Aku tak tahu apa adikku juga sama sepertiku? Entahlah,
aku semakin tak kuasa berkelana bersamanya. Ia tak punya dosa, tapi mengapa ia
harus terbawa ke dalam emosiku.
“Kak, perutku sudah mulai sakit,”
ujar adikku yang semakin kelaparan.
“Kamu tidur aja dulu!”
Aku pun langsung menarik
tangannya, agar ia memelukku dan aku tak perlu khawatir ia jatuh ketika ia
mulai tidur.
Semakin dan semakin lapar. Aku
tak kuat lagi menahannya. Aku pun sudah mulai pegal dan lelah. Kepalaku sudah
mulai berbayang-bayang. Bayangan-bayangan yang tak kukenali. Sungguh sangat
tidak jelas. Kumelihat, dan aku sudah mulai tahu kalau aku sudah mulai dekat
dengan rumah warga. Semakin semangat untuk kumengemudi motorku dengan cepat.
Braaak…
Aaaa…
Aku menjerit dengan amat sangat
kencang, ketika aku mulai terjatuh dan terguling ke jalan aspal.
Aku tak tahu lagi apa yang
terjadi. Aku tak tahu bagaimana dengan adikku. Aku tak tahu apakah aku masih
hidup atau tidak. Begitupun pada adikku. Jika itu terjadi…, sungguh aku adalah
seorang kakak yang amat sangat kejam.
Aku tak bisa mendengar suara
apapun. Aku tak bisa melihat bagaimana suasana saat itu. Semuanya gelap.
Hening. Seperti tak ada kehidupan. Apa ini…, sudahlah! Aku tak ingin pergi dulu
sebelum dosaku terhapuskan.
✲✲✲
“Kak, bangun!”
“Ayo cepat, Kak. Ayo bangun!”
Suara itu sangat jelas dan
kukenali. Adikku. Ya, dia. Dimana dia sekarang? Aku merindukannya. Tapi mengapa
aku masih belum bisa menatapnya? Mengapa?
Harum. Hangat. Menyentuh hingga
sukmaku. Aroma minyak telon dan kehangatannya membuatku kembali sadar. Siuman.
Dengan perlahan, aku coba membuka mataku, remang-remang, tapi semakin dekat,
dekat dan dekat. Aku pun sudah mulai bisa melihatnya meskipun sakit kepalaku
masih terus membara.
“Kak…,” ujar adikku sambil memelukku.
Aku hanya tersenyum dan heran.
Siapa di samping adikku? Mengapa dia ada bersama kami? Dan ada dimana aku? Apa
dia penjahat? Atau….
Tapi, jika dia penjahat, mengapa
dia memberiku segelas minum? Astghfirullah…, ternyata ia orang baik yang telah
menolongku.
“Minum air ini, Mbak!” ujar
seorang lelaki yang me-nyugguh-kan
minumnya padaku.
Aku pun langsung mengambilnya,
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Ini tempat apa? Dan di kawasan
apa saya berada sekarang?”
“Maaf, sekarang anda sedang
berada di pondok Darussalam.”
“Pondok? Kenapa saya bisa di
sini?”
“Tadi sewaktu saya sedang
mengitari kawasan pondok, saya mendengar jeritan. Dengan segera, saya langsung
mencari dari mana lokasi jeritan itu.”
“Owh. Maaf aku dan adikku telah
merepotkanmu.”
“Dengan senang hati saya akan
membantu siapapun yang kesulitan. Karena Allah sangat menganjurkan kita untuk
saling tolong menolong dalam kebaikan.”
“Apa di daerah sini ada tempat
makan atau sejenisnya? Saya dan adik saya butuh karbohidrat,”
“Oh iya, saya hampir lupa. Tadi
Pak kiyai meminta saya untuk memberikan makan, karena kalian belum makan selama
beberapa hari.”
Aku hanya tersenyum sipu dan
malu. Akhirnya ketahuan juga rahasiaku yang belum makan ini.
Aku pun lanagsung disuguhinya
makanan yang sangat enak bagiku. Pasti lah enak bagi orang baru ketemu lagi
sama namanya karbohidrat seperti aku ini. Jadi malu aku.
Aku makan dengan sangat amat
lahap. Tanpa memikirkan laki-laki itu yang masih berada di hadapanku.
“Mbak, maaf, tadi Kiyai kami
bilang kalo kalian harus istirahat sejenak di sini. Nanti aka nada salah satu
santriwati yang akan menjagamu dan beberapa santri akan merawat adikmu.”
Aku hanya tersenyum sambil
menikmati lezatnya makanan itu.
“Kalau begitu, saya pamit dulu.
Assalamualaikum.”
“Walaikumussalam. Terima kasih, ya.”
Ia pun pergi meninggalkan kami
sebelum aku ketahui namanya. Tapi, tak pentinglah. Suatu saat aku pun pasti
akan tahu namanya.
“Aauu…,”
Sangat terasa sakit pada tubuhku
ini ketika aku ingin berjalan. Kakiku sedikit pincang dan tulang-tulang
tanganku sepertinya sama.
“Assalamualaikum, ya ukhti,” sapa
seorang wanita separuh baya yang di dampingi beberapa wanita cantik.
“Walaikumsalam. Maaf siapakah
gerangan?”
“Saya Umi Mastiah, dan ini
santri-santri saya. Saya istri dari Kiyai pondok ini, dan saya di berikan
amanah untuk menjaga kalian sampai kalian mulai benar-benar sembuh.”
“Sembuh?”
“Maksud saya, sampai kalian
sehat. Tidak seperti sekarang ini. Otot kalian butuh pijatan, dan nanti kalian
akan dipijit di sini. Oh ya, untuk laki-laki tidak boleh bersama wanita, jadi
nanti kamu akan di antar ke tempat khusus ikhwan,” jelasnya sambil mengarah
pada adikku.
“U… Um… Umi, kalau boleh saya
tahu, apa kah di seberang sana taka da kehidupan warga sama sekali?”
“Sebrang? Maksudmu…, oh iya saya
tahu. Di sana tak ada warga satu pun karena di sana tempat angker, dan sampai
sekarang tidak ada yang ingin bertempat tinggal di sana. Dahulu, ada sepasang
keluarga dari pesantren ini untuk tinggal dan menetap di sana, tapi sampai
sekarang keluarga mereka tak pernaha ada, bahkan gubuk yang mereka buat pun tak
ada.”
Aku terkejut mendengarnya. Apa
yang kutemui beberapa hari lalu itu…, makhluk gaib. Mungkin. Tapi, jika benar….
Sudah! Sudah! Aku jadi merinding membayangkan hal itu.
“Kenapa memangnya?”
“Mmm…, beberapa hari lalu saya bertemu dengan
seorang wanita, dan ketika saya ingin menginap di rumahnya, ia malah menolak
karena di rumahnya tidak ada suaminya. Lalu dia juga bilang, kalau aku harus
terus lurus, dan nanti aku akan menemukan tempat yang aku maksud.”
“….”
Umi itu seperti tengah memikirkan
sesuatu yang tak boleh kuketahui. Umi membuatkusedikit kepo. Tapi biarlah, mungkin suatu saat aku pun akan tahu. Semoga.
“Kamu datang dari mana? Dan
sedang ingin pergi kemana?”
“….”
“Maaf, jika kamu tak mau
menjawabnya juga tidak apa-apa.”
“Eee…, sebenarnya, aku kabur dari
rumah.”
“Kabur? Kenapa?” jawabnya dengan
terkejut.
“Aku bosan tinggal bersama ayah
tiriku. Ia selalu jahat padaku. Dulu, sepulang kuliah ia selalu menggodaku. Dan
aku sangat takut. Aku khawatir,” jelasku tanpa koma dan titik.
“Owh, umi paham. Sekarang kamu
ingin pergi kemana?”
“Saya tidak tahu, Umi. Bahkan
saya pun tidak tahu bagaimana dengan adikku. Aku sangat menyesal untuk
membawanya pergi bersamaku.”
Umi Mastiah, itu diam sejenak
lalu berkata, “Kalau kamu ingin dan bersedia tinggal di sini, silahkan. Saya
pasti akan sangat senang.”
“Aku bingung, umi. Tapi bagaimana
dengan adik saya?”
“Di sini, pondok untuk wanita dan
laki-laki, jadi kalian boleh tinggal di sini.”
“Umi, saya hanya punya sedikit
uang lagi. Dan saya haru bekerja dulu.”
“Untuk apa, anakKu?”
Begitu tersentuh hatiku. Ketika
Umi Mastiah, memanggilku dengan kata ‘anakku’. Ingin aku menangis tapi sungguh
snagat amat malu. Tapi, sungguh aku sangat tersentuh dan ingin sekali aku
menjadi anaknya.
“Untuk pembayaran di pondok ini,
Umi.”
“Tak perlu. Umi akan bilang ke
Abi, kalau kalian di sini tak perlu membayar apaun.”
“Terima kasih, Umi. Tapi, saya
merasa sungkan. Apa di sini saya juga boleh membantu, Umi?”
“Sama-sama. Dengan sangat senang
hati. Boleh.”
Alhamdulillah. Apa mungkin ini
jalan yang Tuhan berikan untukku? Terima kasih, ya Allah. Aku sungguh sangat
bahagia dan entah sampai mana kapasitas kebahagianku saat ini.
Dan setelah itu hingga saat ini,
aku pun hidup sangat amat bahagia di pondok ini. Begitu pun pada adikku yang
sudah semakin beranjak dewasa dan semakin bertambah ilmu agamanya.
The End