Sore itu, Aku dan Nana temanku selalu
bermain di taman jembatan merah. Entah mengapa taman ini disebut taman jembatan
merah? Ah, Walaupun taman ini tak
seindah taman lainnya tapi aku sangat senang bermain disini bersama Nana.
Jembatan merah yang lurus dan tinggi, di hiasi oleh kelap-kelip lampu hias yang
mungil, dan ditemani oleh danau yang begitu indah
untuk dipandang. Membuat
kami selalu ingin bermain di jembatan merah karena di sinilah kami selalu
menuangkan kegembiraan dan kesedihan.
Kulihat
Nana sedang asyik dengan laptop-nyadi kursi taman
dekat jembatan merah,
setelah
kami foto bersama tadi di jembatan.
Apa Nana sedang mengedit koleksi foto tadi? Pikirku. Tapi, ya sudahlah, aku pun
langsung duduk di samping Nana, dan ternyata ia sedang meng-upload foto kami di facebook-nya.
Setelah di upload, aku langsung
mengajaknya ke jembatan merah yang berdekatan dengan tempat duduk yang baru
saja kami tempati.
“Nan,
ayo ke jembatan lagi, yuk?” ajakku pada Nana. “Ia sebentar, yah, Dzeries si
jembatan merah,” jawab Nana sambil tertawa meledekku. Nana pun langsung
menghampiriku yang tengah berdiri di jembatan sambil melihat keindahan danau
yang begitu bening. Tak terasa hari sudah semakin senja, aku dan Nana langsung
pulang dengan mengendarai sepeda motor matic-ku.
Kebetulan rumah kami berdekatan.
“Kukkuruyuuuk....” Pagi hari disambut nyanyian
ayam milik tetangga, yang setiap pagi selalu
membuat para insane terbangun
dari tidurnya.
“Heemm.... masih
ngantuk,” berguman kecil melihat jam mungil di mejaku.
Aku
pun langsung salat, mandi, dan bersiap untuk sekolah. Sekolahku lumayan jauh
oleh sebab itu, aku selalu berangkat pagi. Seperti biasa Aku selalu berangkat
bersama Nana, karena sekolah kami sama.
“Assalamualaikum,
Bu. Aku pergi sekolah dulu yah?” setelah ibu menjawab salamku, aku langsung
tancap gas untuk ke rumah Nana.
“
Nana, Assalamualaikum?” namun, tak ada jawaban.
Ku
coba menelepon Nana,
ternyata handphone-nya
mati.
Tak lama orangtua Nana
pun keluar dan berkata.
“Ries,
Nana sudah berangkat
dari tadi pagi. Memangnya tidak bersama kamu, Ries?” tanya orangtua Nana pada
ku.
“Oh,
sudah berangkat Bu,” Jawab ku dengan singkat sambil melemas setelah mendengar
jawaban orang tua Nana.
“Ya, sudah, Bu, aku pamit dulu yah.”
“
Ya, hati-hati.”
Aku
tak menjawabnya. Sepanjang jalan, aku terpikir dengan Nana. “Mengapa dia tak memberi
tahu ku?” Aku dan Nana sudah bersahabat
dari kecil,
dan aku tak pernah mengalami kejadian seperti ini selama bersama Nana. “Ya,
Allah, semoga baik-baik saja dengan Nana,”
doa ku dalam hati sambil mengendarai motor pribadiku.
Sampai
di sekolah, Aku
lihat Nana, namun dia tak sedikitpun menegor dan berkata apapun padaku. Ia
terdiam dan membuatku bisu, sehingga terbesitlah pikiran negatif dalam diriku.
“Nan,
kok kamu berangkat duluan?” Tanyaku dengan pelan.
Pertanyaan ku bagaikan omongan tak berarti, Nana
mendiamkan pertanyaan ku.
“Heemm... ya sudahlah. Mungkin ada masalah
dengan Nana.” pikirku dalam hati.
Sepanjang
pelajaran kami membisu, tak ada satu kata pun yang terucap. Baru kali ini aku
seperti ini, terdiam dan terdiam. “Uuh, membosan kan. Tapi, jika aku bertanya
lagi pada nana percuma saja’’ pikirku. Aku pun langsung ke kantin tanpa sahabat
terbaikku, kulihat keramaian kantin namun tetap saja Aku teringat pada Nana. Ku coba telepon,
namun handphone-nya masih tak aktif.
Hal ini membuat Aku
tak sadar kalau Aku
telah meneteskan butiran air mata ku ini.
“Ya
Allah, separah apakah hal ini, sehingga membuat ku tak sadar telah menangis?
Apa nana marah pada ku? Tapi karena apa, ya Allah?”
Ku coba masuk kedalam kelasku walau terasa
berat kaki ini untukku langkahkan. Terlihat Nana
terdiam saja. “Ya, sudahlah mungkin Nana
tak ingin berbicara dulu padaku.” pikirku sambil menenangkan hati.
Kini
aku baru sadari, ternyata Nana
ada masalah denganku. Sudah dua hari aku
tak bersama Nana,
ku lihat account-nya pun gak online. Terasa sepi hari-hari ku dan
begitu membosankan. “Lebih baik aku pergi ke taman saja, semoga saja ada Nana
di sana”. Pikirku dalam hati. Sampai di taman ku lihat Nana sedang di jembatan
sambil menggenggam handphone miliknya.
Tanpa pikir panjang aku bergegas menemuinya.
“ Nan, kok kamu diam ajah sama aku?” Nana tak
menghiraukan pertanyaanku. Ia langsung pergi meninggalkanku.
“Aku kecewa padamu!” Sambungnya singkat
“Why...?” Tanyaku sambil berteriak.
Ia
tak menjawabku. Tak lama terdengarlah suara laguhandphone-ku
“ku pendamkan perasaan ini, ku rahasiakan isi hati ini...” ternyata one messenger dari Nana, ku baca isi
pesan itu.
“Ries, aku gak nyangka kamu khianat pada ku. Kamu bilang apa yang menjadi
rahasia ku akan kau simpan begitupun rahasia mu yang harus ku simpan, tapi mana
buktinya? Aku benar-benar kecewa sama kamu” aku semakin heran dengan perkataan
Nana yang seperti itu.
“Apa
maksudmu, Nan? Aku sama sekali gak mengerti dengan SMS mu itu.” SMS balasan ku
kirim.
Aku
langsung menelepon
Nana dan berkata tanpa salam.
“Nan, aku gak ngerti maksudmu. Kamu marah
dengan tiba-tiba tanpa alasan yang pasti, apa yang kamu maksud aku gak amanah,
aku khianat, sejak kapan aku seperti itu sama kamu? Dari dulu kita udah
sahabatan masa kamu gak tahu sifat dan karakter kita satu sama lain?”
“Ries, kamu jangan pura-pura deh” jawab Nana
dengan marah padaku.
“Kamu jangan salah paham
begini Nan, coba kamu ceritakan masalahnya seperti apa, supaya kita tak saling
salah paham. Nan, baru ajah pak guru bilang kemarin, “Jagalah persaudaraan
kalian, orang non-muslim saja bisa
menjaga tali persaudaraannya mengapa kalian sebagai penganut islam tidak?”
jawab ku pada Nana dengan santai.
“Ya,
aku inget. Tapi kamu seharusnya jaga rahasia aku, kalau aku lagi suka sama
orang lain dan kenapa kamu menjelekkan nama baik aku sama orang yang aku
sukai?” tanya Nana dengan emosinya.
“Nan,
jujur besok hari ketiga kita seperti ini, dan aku gak mau cuma gara-gara hal
ini kita jadi dosa, nanti aku tunggu kamu di taman. Sebenarnya aku tak berkata
seperti itu, sejak kapan aku punya nomor laki-laki pada handphone-ku selain saudara dan ayahku?
Bagaimana Aku
bisa memberi tahu orang lain, teman sekolah pun Aku tak punya selain kamu.” jelas ku padanya.
“Ia,
tapi...” Aku
pun langsung memotong pembicaraan Nana.
“Tapi
apa? Tapi Kamu
tak percaya padaku? Apa harus Aku
mengatakan sumpah karena Allah?” tanyaku sambil menangis di atas jembatan
merah.
”Ries,
kamu nangis?” tanya nya dengan perlahan.
Namun
Aku tak menjawab nya,
dan Aku pun langsung
mematikan teleponku. “Untuk apa Nana tahu aku menangis, sekarang dia bukan yang
dulu lagi. “Ya, Allah siapakah yang tega membuat kami seperti ini?” tanya ku
dalam hati.
Satu
jam telah usai, aku berada di taman ini. Sebelum aku pulang, terdengarlah suara
perempuan yang ku kenali.
“ Ries, maafin aku ya. Kemarin aku salah sama
kamu, sangka ku Rara benar kalau kamu mengatakan semua pada orang yang ku
sukai”. Namun aku tak menjawab perkataannya, karena aku sudah tak kuasa menahan
kesedihan ini.
“ Ries, kamu nangis?
Ries jawab aku dong.” kata Nana sambil membalikkan badan ku ke hadapannya.
Ku
lihat wajah Nana, betapa berbinar matanya ketika mehanan tangisannya.
“Ya
Allah, Aku tak kuasa melihat
kejadiaan ini” bisikku dalam hati sambil memeluknya dan menangis terharu.
Dan
kami pun saling bermaafan, layaknya sahabat seperti semula di tempat dimana Kami mencurahkan
kegembiraan, kesedihan pertengkaran dan perdamaian Kami. Jembatan merah, ya
jembatan inilah yang kini sangat bersejarah bagi ku. Kini Aku merasa jembatan
ini bukan jembatan merah. Tapi, ini adalah JEMBATAN HATI.
Kini,
kami menjadi sahabat layaknya sahabat seperti semula. “Nan, masalah yang
terjadi bukan lah dari harapan kita. Melainkan itu adalah godaan dari syaiton yang ingin membuat persahabatan
kita hancur berantakan. Dan bukan juga gara-gara Rara.” Kata ku sambil
menggenggam tangan Nana. Nana pun menjawab dengan begitu bahagianya. “Ries, aku senang
sekali kamu tak marah pada ku lagi.”
“Untuk
apa Nan? Toh sekarang kamu juga udah gak ngambek lagi sama aku. Mungkin apa
yang di katakan Rara itu padamu hanya sekedar main-main saja” jawabku pada nana
dengan penuh senyum.
“Main-main bagaimana
Ries? Kamu terlalu baik sama orang, jadinya kamu kaya gini nih.” Tanya Nana sambil heran
padaku.
“Ya...
sudahlah. Tak perlu kita bahas lagi masalah ini. Sekarang aku mau kamu main ke
rumahku naik kendaraan berkaki dua, berwarna hijau milikku ini.” Ajak ku pada
Nana.
Tanpa basa basi Nana pun langsung
menganggukkan kepalanya dengan begitu bersemangat. Seperti biasa, aku sangat
senang mengendarai matic-ku
ini dengan kecepatan 40 km per jam. Satu jam telah berlalu, kami pun sudah tiba
di halam rumahku yang sejuk dan indah, yang di penuhi beberapa pohon yang Aku sukai dan tanaman
hias, kesukaan Ayahku.
“Assalamualaikum.” Salam kami berdua kepada
Ibu ku sambil membuka pintu rumah ku. “Walaikumsalam”
jawab ibu pada Kami.
Sebelum ibu bertanya pada ku, aku langsung mengajak lari Nana untuk masuk ke
dalam kamarku yang letak nya di lantai atas. “Nan, kamu harus bantu aku. Karena
aku lagi bahagia sekarang.” Pinta ku pada Nana.
Nana
tak menjawab apa-apa selain anggukan kepalanya. Dan aku pun langsung mengambil patung
pinguin ku yang berisi uang tabungan ku. Begitu semangatnya aku langsung
memecahkannya dan menghitung uang itu.
“Alhamdulillah,
uang yangku tabung dari awal bulan, kini telah mencapai tujuanku” kataku dalam
hati.
“Ibu,
ini ada amplop buat Ibu. Semoga ibu bangga padaku, sahabatku, dan orang tua
Nana”. Kata ku sambil tersenyum pada Ibu.
“memangnya ada apa dengan Nana dan ibunya?”
Tanya Ibu.
“orang
tua Nana, yang telah mengajarkanku untuk Aku
bisa menabung dan bisa membantu Ibu seperti ini. Yah, walaupun tak seberapa
bu.” Jelas ku sambil memberikan seyuman bahagia padanya. “hem... bagaimana
kalau nanti malam kita ke rumah Nana. Ibu ingin bersilaturahim pada keluarga
besar Nana.” Ajak Ibu padaku. Tanpa pikir panjang aku pun langsung mengatakan
“iya” pada Ibu. Dan semenjak itulah, kini hubungan persaudaraan antara
keluargaku dan keluarga Nana semakin
dekat.