Aurora itu telah menyadarkanku
pada lembaran masa laluku. Terhenig. Remang-remang bayangan itu telah mulai
singgah dalam benakku. Sungguh ini adalah hal terburuk bagiku, jika aku harus
mengingat kembali kenangan atau mungkin kejadian lalu. “Aaa...,” teriakku
sekuat tenaga dengan sepontan.
Bayangan itu terus menghantuiku.
Kumelihat denga jelas. Kejadian awal mereka pun masih jelas. Memang dasar
laki-laki tak beryanggung jawab. Sudah membuat pacarnya sedih, ia malah pergi
dengan wanita lain. Kurang ajar. Dengan teragedi yang sangat fakta itu, aku
semakin benci kata’pacaran’. Wanita itu dengan sekejap mata berlari menuju jalanan aspal yang ramai dengan
kendaraan.
“Braak…”
Tubuh itu pun terjatuh dan
tergeletak. Hitungan menit bahkan detik, orang yang melihat kejadian itu
langsung membawa korban atau wanita tadi dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.
Sudah! Sudahlah…, aku tak mau
menceritakan hal itu. Aku coba masuk ke kamarku, ya walaupun itu kamar di
indekos dan mennutup pintu supaya aku tak melihat Aurora itu. Kulangkahkan
ayunan kakiku dengan cepat dengan penuh amarah dan remang-remang bayangan itu.
Sebelum aku sampai di kamarku di ruang khusus wanita, aku sudah terjatuh dan
tak sadarkan diri ketika aku ingin melangkahkan kaki kananku di anak tangga
pertama. Gelap. Hening. Semua sangat sepi. Aku terjatuh di dekat tangga yang bersampingan
dengan dapur indekos dan ruangan khusus laki-laki. Ya, jangan heran karena di
kosanku campuran antara wanita dan pria.
Hangatnya selimut disertai
harumnya minyak telon, membuatku sangat teramat hangat dan nyaman. Harumnya
minyak telon itu hingga merasuk ke paru-paruku. Kucoba membuka mataku secara
perlahan. Remang-remang yang kudapati. Wajah yang terlihat tak sempurna itu
membuatku tak megenalnya. Kutatap jarum
jam yang bergerak statis itu seperti menunjukan pukuk 18:05 WIB.
“Kira, kamu sudah siuman?”
Kudengar suara Alex, yang satu
indekos denganku tapi beda ruangan. Kutatap dia yang sedang duduk disampingku.
Kupaksakan tatapan mataku semaki tajam untuk memperlihat penglihatanku.
“Syakira, ayo minum dulu airnya!”
“Terima kasih, lex,” jawabku
lemah.
“Kamu kenapa bisa pingsan? Dan
untung kamu pingsan sebelum naik anak tangga. Kamu kalo sakit itu harus bilang
temanmu atau siapa kamu biar dia bisa nemenin kamu. Tapi yang cewek aja,ya! Di
sini itu rawan, ada banyak laki-laki dan… dan belum tentu mereka baik semua,”
kata Alex yang seperti kesal padaku.
“Alex, tunggu dulu, deh! Yang
lain itu enggak ada di sini, mereka kuliah da nada juga yang lagi kerja. Ya,
aku enggak tahu kalau aku akan pingsan, lagian aku juga tidak sakit, kok.”
“Kalau enggak sakit kenapa bisa
begini? Aku enggak mau kamu kaya gini lagi!”
“Lex, kok kamu jadi ngatur aku?”
“…,” Alex, hanya terdiam dan
menunduk, seolah-olah mencari sesuatu yang hilang.
“”Alex? Ya sudah kalau tidak mau
jawab. Aku tak akan memaksamu, kok. Terima kasih atas pertolongan dan
perhatianmu.”
Alex tetap tak menjawabku,
melainkan ia pergi meninggalkanku yang tengah berbaring di sofa ruang tengah,
indekos. Aku tak mau mementingkannya dan bertanya lagi padanya.
Satu persatu anak-anak yang
menetap di indekos mulai datang dan saling menyapaku, kata demi kata mereka
lontarkan dan tak jauh mereka bertanya ‘ mengapa kau ada di sini?’.”
Entah berapa jam aku duduk dan
berbaring di sofa. Hingga aku tak tahu seberapa lamanya teman, Alex, yang
bernama ‘John’menemaniku berbincang-bincang dan bercanda sammpai larut malam.
“Dreet…,” kudengar suara kaki
meja yang tengah tergeser. Kulihat seorang wajah yang sangat familiar dalam hidupku. Dia seperti
ingin berlari cepat dan tak ingin aku melihatnya. Ketika rangkulan tangan, John
ada di pundakku.
“Kenapa dengan, Alex?” tanyaku
dalam hati.
Ya, sudahlah! Tak perlu aku
pikirkan dia. “ Jihn, kamu tidur sana! Aku ingin sendiri.”
“Oh, tapi… emangnya kamu gak
takut? Ya sudah kamu tidur dulu!” ujar John sambil memabringkan tubuhku di
sofa.
Sebelum ia pergi, ia mencoba
mencium keningku. Namun, tak jadi ketika kami mendengar vas bunga terjatuh .
untunglah. Pasti ini kerjaannya Alex.
✲✲✲
Pagi
itu aku sudah bangun terlebih dahulu, sebelum ayam menyanyikan dan memberikan
lagu khasnya untuk kami. Sungguh ini amat sangat mengejutkan bagiku. Aku
tebangun dalam keadaan badanku terselimuti oleh selimut tebal merah, bergambar
kartun Thomas. Aku tak tahu ini selimut siapa, seingatku semua selimut dan
bonekaku sedang di laundy.
Terlintas
dalam benakku wajah yang tadi malam tengah memperhatikanku. Sudah! Sudah! Tak
perlu lagi aku ingat dia yang tak mau menjawab pertanyaanku dan sok ngatur itu.
Alangkah lebih baiknya aku bereskan saja tempat tidurku.
Wow…,
Amazing! Di bawah bantal tidurku
terdapat selembaran kertas. Surat. Ya, mungkin surat. Dan tenyata memang itu
surat, surat bertuliskan nama Alex.
Syakira…, entah seberapa besar dan
banyak frekuensi amarahku saat ini, tapi sungguh aku tak bisa menghilangkan
rasa ini padamu dari semester lima sampai sekarang. Dan aku tak tahu sampai
kapan rasa ini akan hilang. Atau dari awal kita bertemu di indekos ini.
Kira, mungkin aku cemburu atau
entahlah, yang penting aku tak akan bisa tertahan amarahku jika aku melihatmu
bersama teman laki-laki di indekos. Aku bukan melarang, ngatur, atau apalah
menurut kamu, aku hanya mengkhawatirkanmu saja. Kamu harus tahu, teman sekosan
kita atau teman priamu, mungkin, tak semuanya baik. Mereka rata-rata selalu
berfikir negative akan sesuatu yang mungkin menjijikan bagiku. Dan aku tak mau
kamu terjebak dalam permainan mereka, Kira.
Oh, ya. Mungkin kamu pas bangun
akan terkejut melihat selimut dan surat ini. Jadi simpan saja lah selimut itu!
Karena aku tak yakin kita akan berjumpa algi. Maaf aku enggak pamit dulu,
soalnya aku tahu pasti kamu lelah.
Syakira…, jika kau mencariku, ku
mohon jangan karena kamu tak akan menemuiku. Malam ini aku sudah pindah indekos
dan mungkin aku akan mencari indekos atau villa untuk aku bisa menyandarkan
tubuhku yang pastinya akan merasakan lelah.
I LOVE YOU, SYAKIRA…
Sungguh jiwaku seperti
terperangkap di dalam bawah tanah, setelah aku tahu semua isi surat itu. Dengan
segera. Tanpa piker panjang lagi aku langsung bersiap-siap merapikan tubuhku
yang mungkin sudah tak rapi lagi setelah tidur tadi malam. Dan aku langsung go to university, dan berhapa akan
bertemu dengan Alex.
Aaa…, apa ini takdirku? Entahlah!
Alex, benar kalau aku tak akan bisa menemuinya msekipun terus berusaha pun.
Kalaian pasti pernah merasakan
betapa sedih, kesal, kecewa, pokonya nano-nano
deh, ketika mencari orang yang menyayangi kita pergi begitu saja.
✲✲✲
Beberapa
bulan ini aku tak pernah menemui, Alex, meskipun aku mencarinya ke kampusnya,
bertanya pada temannya, atau cara lain. Mungkin. Sebenarnya ini apa yang di
inginkan Alex? Ia menghilang dengan begitu saja. Sungguh, untuk apa ia memberi
tahuku akan perasaannya itu.
Ini sudah masuk dalam hari
kesuksesan para mahasiswa, dan aku sngat berharap setelah wisuda bisa bertemu
dengan Alex.
Mungkin hampir dua jam aku
bersabar demi pencarianku akan sosok yang menghilang entah kemana itu. Setelah
wisuda selesai, aku langsung pergi menuju kampus Alex tanpa memberi tahu
orangtuaku yang tengah berjalan menuju mobil merah Toyota-nya itu.
“John, Arya, Tatang, Aziz, kalian
melihat Alex?”
Dengan serempak mereka saling
bertatap muka. “Enggak tahu…”
“Oh. Tapi tadi dia ada gak?”
“Ada. Tapi setelah wisuda
selesai, dia langsung pergi bersama orangtuanya?” jawab Aziz.
“Tadi katanya enggak tahu…, oh ya
sudah, terima kasih, ya!”
Aku pun langsung menghindar
dari kerumunan mereka yang tengah
menuangkan kebahagiaanya.
“Penyesalan itu selalu datang
terlambat…”
When
im down andoh my so sowary
When
trobles come…
Nada dering hapeku bunyi ketika
aku mulai berjalan menuju prkiran khusus mobil.
“Assalamualaiku..., kamu dimana,
Kira? Mamah sudah ada di halte depan kampusmu.”
“Walaikumsalam, Mah. Ia nanti aku
langsung ke sana. Ini juga lagi di jalan, kok.”
“Baiklah. Don’t let time, honey!”
“Ok, Mom.”
Dengan segera aku langsung
berjalan cepat meskipun masih terasa lemas, karena aku merasa tak bisa menerima
kenyataan ini. Hhhmm…, berjalan menggunkan songket dan kebaya bukanlah hal yang
snagat kusukai, melainkan sangat aku benci. Ribet. Repot. Susuah.
Sesampai di halte aku langsung
naik ke dalam mobil merah cerah, milik mamah itu, dan langsung OTW (on the way) ke indekos, buat
ngambil barang-barangku yang sudah terkemas di dalam koperku.
Jarak dari kampus ke indekosku
tidak memerlukan waktu yang lama, bahkan sekejap mata pun bisa. Kalau naik
ojek, tapinya.
Sesampai di indekos, aku langsung
mengambil koperku dan pamit kepada pemilik kosan. Sedangkan , Mamah kubiarkan
diam di dalam mobinya. Maaf, ya mah.
Setelah aku mengambil koper dan
pamit kepada pemilik kos, aku dan mamah langsung melanjutkan perjalanan menuju
kampung. Ya, karena Ayah dan adikku sudah menunggu di sana.
Setiap orang pasti akan
menggunakan jalur ‘tol’ jika ingin pergi ke luar kota. Begitupun diriku dan
mamah. Kami juga menggunakan jalur Tol. “Mah, nanti kalo ada kafe, mampir dulu,
ya! Please!”
“Kita sudah di tunggu sama Ayah.
Lagian mamah tak mau kita lama di perjalanan saja.”
“Cuma sebentar aja, Mah. Please!”
“Sayang, di tempat seperti ini
akan sangat lama mencari kafe.”
“Iya, nanti kalo ada, Mah.”
“Jangan lama, ya!”
“Janji kok, Mah.”
Aku cukup sabar untuk bisa
menunggu kehadiran kopi hangat atau sejenisnya lah. Dan kesabaranku habis
setelah tiga jam menunggu karena kami sudah sampai di kafe.
Hemm…, aku langsung menarik
tangan mamah dan mengajaknya masuk ke dalam kafe tersebut. Cahaya remang kafe
itu di sertai lagu jazz yang mengalun sayup, membuatku teringat pada, Alex.
Uuuh… dia dan dia terus yang ada dalam bayanganku. Kenapa bukan adikku atau
ayah.
Aku jadi teringat pada kenangan
laluku bersamanya. Dia selalu membawaku ke kafe untuk memesan kopi. Ah, jadi
gak ada rasa mood sedikit pun.
“Mah, pulang yuk!”
“Cepet banget?”
“Tadi mamah bilang jangan
lam-lama. Ayo lah! Aku mau pulang.”
Akhirnya mamah pun menuruti permintaanku.
Mungkin karena aku jarang bersamanya, jadinya aku bisa di manja dulu. Hehehh….
Mamah langsung menghidupkan mesin
mobilnya dan langsung mengemudikan mobil itu drngan amat sangat cepat. Ya
cepat. Cepat karena jalan to malam itu sangat sepi.
Tanpa aku sadari, air mataku
terjatuh dan aku mulai tersedu-sedu. Aku tak tahu apa saja yang kupikirkan
tentangnya. Sungguh ini adalah hal yang mungkin sangat lebay bagiku atau
bagimu. Tapi, namanya sudah galau begini ya pasti sulit untuk dihilangkannya.
Mungkin.
“Alex…,” gumamku reflex.
“Siapa, dia? Kok kamu nangis?”
“Tidak, Mah. Dia temanku di
kampus.”
“Pacar? Ingat, kamu tak boleh
pacaran!”
“Apa sih, Mah. Lagian siapa juga
yang pacaran. Orang dia Cuma teman saja, kok.”
“Ya sudah, kamu tidur aja, deh!”
Aku pun langsung menutup mataku
walaupun awalnya tak mau tertutup tapi lama kelamaan tertutup juga.
Sampai-sampai aku tak ingat seberapa jam aku terlelap.
“Kira, ayo bangun! Kita sudah
sampai di rumah.”
Kutatap jam miniku pada
pergelangan tanganku yang tengah menunjukan pukul 02.15 WIB. Malam menuju pagi
yang masih gelap.
Aku langsung masuk ke kamar
adikku, Yori. Dan itu tanpa aku sadari.dan aku pun lagsung tidur di sampingnya
hingga larut pagi.
“Mbak…, bangun!” sergah Yori.
“Apa sih? Mbak masih ngantuk.
Pelit banget kamu.”
“Siapa yang pelit? Orang, Yori
kangen sama Mbak. Lagian kalo pulang
cuman beberpa bulan sekali.”
“Ya, sudah. Aku ikut tidur dulu,
ya!”
“Jangan. Mau ikut enggak ke rumah
teman mamah dan ayah?”
“Kapan? Dimana?”
“Ya, mana kutahu. Ya minggu depan.”
“Ya sudah, kamu mandi duluan
sana! Nanti Mbak nyusul habis kamu.”
“Oke, sip.”
✲✲✲
Orang
tuaku melarangku untuk langsung bekerja. Aku tak tahu alasannya apa tapi
bagiku, mungkin mereka ingin melepaskan rindunya padaku dulu. Hhehhe.. pede
sedikit bisa kali.
Tepat di hari minggu, dimana yori
mengajakku ikut bersama orang tuaku main ke rumah teman lamanya.
“Syakira…,cepat siap-siap! Pakai
baju yang rapid an sopan,” kata mamah.
Karena aku tahu tempat tujuan
orang tuaku pergi, jadinya aku tak mau banyak bertanya lagi,“Iya, Mah.”
Asyik… asyik! Akhirnya bisa main
juga di kampung yang udah jarang aku telusuri.
Karena aku sudah berpakaina rapi,
jadi aku langsung minta, Yori untuk naik motor saja. Ya, biar aku bisa
dibonceng dia. Hehehe….
“Yor, kmau tahu tempat temannya
mamah dan ayah?”
“Tentu, dong. Tiap minggu atau
bulan aku sering main ke sana.”
“Yor, kamu bawa motor, ya! Mbak
enggak mau naik mobil.”
“Mmm…, ya sudahlah. Mumpung kita
jarang ketemu jadi aku nurut aja.”
“Ya sudah. Kamu bilang mamah duluan
aja, ya!”
“Uh, ngeribeetin aja.”
“Ya… maaf,” jawabku memelas.
Setelah aku dan yori tahu kalau
orang tuaku sudah berangkat, sekarang waktunya untuk aku dan adikku capcus.
Aku duduk di belakang adikku, dan
adikku yang mengendarainya. Dia mengendarai motor ninjanya yang berwarna merah
cerah itu dengan sangat berhati-hati. Mungkin ia sangat canggung padaku.
Setengah jam telah berlalu.
Akhirnya sampai juga. Aku pun turun dan menunggu adikku mengajakku masuk ke
dalam rumah tujuan kami.
“Ayo, Mbak!”
“Iya, aku jalan di samping kamu
aja, ya!”
“Terserah…”
Karena pintu gerbang sudah
terbuka, dan kulihat mobil orang tuaku yang sedang parker di samping mobil
pemilik rumahnya.
“Assalamualaiku…”
“Walaikumsalam. Ayo masuk!”
“Iya, Tante.”
Setelah tante itu masuk ke dalam
rumahnya lagi, kau heran padanya. Seperti kumengenalnya tapi siapa?
“Yor, itu siapa?”
“Itu tante Eli, namanya.”
Kami berdua langsung masuk dan
duduk di samping orang tuaku. Rumah yang sangat unik. Rapi. Wangi. Bersih. Dan
penuh dengan foto-foto yang sangat amat banyak. Mungkin itu kumpulan keluarga
tante Eli. Bisa jadi.
Astaghfirullah…, aku hampir saja
dikejutkan oleh sebuah foto yang terpajang tepat di dinding hadapanku. Sosok
laki-laki yang menggunakan kostum wisuda. Alex. Mungkin kah? Entahlah.
“Tante maaf, apa itu foto,
Alexander Dorroi?”
“Iya benar. Kamu mengenalnya?”
“Iya, tante. Dia sahabatku yang
sangat baik. Namun…”
Sebelum aku melanjutkan
penjelasanku, aku langsung terhenti dengan sosok yang sangat rapi sekali,
sedang berdiri di hadapan anak tangga yang baru saja ia gunakan untuk turun
menuju ruang tengah yang tengah kami singgahi. Kaos merah dan celana levi’s panjang yang ia kenakan itu
membuatnya semakin tampan. Terpesona. Pasti.
“Syakira…,” ucap, Alex sepontan.
Karena kau sangat amat malu padanya,
jadi aku minta untuk, Yori mengantarkanku pulang atau pergi ke tempat yang
mungkin nyaman untukku.
“Tante, Mah, Yah, aku izin pamit
pulang dulu, ya! Aku ada janji yang harus ditepati, dan aku juga ada acara
lain.”
Sebelum mereka merespon
perizinanku, aku langsung menarik tangan adikku dan membawanya keluar.
“Yor, ayo cepetan! Kamu harus
membawaku pergi dari sini!”
“Memangnya kenapa da nada apa?”
“Jangan banyak Tanya! Aku di sini
enggak betah. Cepetan bawa aku pergi!”
“Iya… tunggu, lha!”
Sebelum aku naik motor adikku,
Alex sudah lebih cepat menghampiriku yang tengah berada di halaman rumahnya.
“Kira…,” ucap, Alex sambil
menarik tanganku.
Uh, ini hal yang sangat
menyebalkan. Aku tak bisa lari dari semua ini. Aku hanya bisa menundukan
kepalaku, seolah-olah aku tak ingin menatap wajah dan matanya itu.
“Maaf, tolong lepaskan tangan
saya!”
“Kamu mau kemana? Memangnya kamu
punya janji dengan siapa? Bukannya di sini kamu belum akrab lagi dengan
teman-temanmu yang lainnya.”
Aku hanya terdiam, entah apa yang
harus kukatakan lagi.
“Kira…,” ucapnya sambil
membalikkan badanku mengarah padanya.
Sungguh tak tahan. Aku hanya
melihat wajahnya dengan kita. Malu. Ya, semua itu karena malu.
“Alex, tolong lepaska! Kita bukan
muhrim,” alasanku untuk menghindar darinya.
“Muhrim? Kenapa, tak suka? Tapi
kok kamu mau di sentuh-sentuh oranag lain.”
Aku langsung teringat pada John
yang merangkul pundakku dan hampir menciumku. Untung saja enggak jadi
gara-gara, Alex.
“Terima kasih,” jawabku lemah.
Mungkin aku termasuk orang bodoh.
Sungguh perkataannya menyentuh diriku. Dengan segera aku membalikkan badanku
darinya, dan… menangis. Memalukan.
“Kira…, kenapa kamu?” tanyanya
sambil mencoba menghadap padaku.”Kira, kamu….” Lanjutnya.
Alex pun memelukku dengan sangat
amat erat. Lebih erat. Bahkan aku pun hampir tak bisa bernafas sedikit pun.
“Maaf, aku memelukmu. Aku berani melakukan ini karena orang tuaku. Mereka
ternyata telah menjodohkan kita sejak kecil.”
Aku tak sedikit pun merespon
apa-apa. Yang kurasakan hanyalah pengap. Aku butuh udara, tapi sungguh aku malu
pada, Alex. Dan di sisi lain, aku tak ingi melepaskan pelukannya. Aku tak mau
lagi untuk pergi mencarinya. Lelah.
“Syakira…, ayo masuk, dulu!”
pinta Ayah.
Alex pun langsung memadamkan rasa
sedihku dan mengajakku masuk ke dalam sambil merangkul pundakku dan menggenggam
tangan kananku.
Mungkin orang tuaku dan orag tua,
Alex akan heran setengah mati. Mungkin. Karena mereka melihat katung mataku
yang sudah bengkak.
“Jadi kalian sudah saling kenal?
Kalau begitu kita tak perlu susah payah merencanakan apa yang telah kita
rencanakan, Jeng.” Kata Mamah pada tante Eli.
Aku masih terdiam, dan di
persilahkan duduk oleh Alex. Begitupun padanya, ia juga ikut duduk di
sampingku.
“Tante,Om, dan Mamah, tak perlu
menanyakan apa-apa pada kami! Saat ini aku di hadapan kalian semua ingin
meminta restu untuk bisa meminang wanita yang tengah duduk di sampingku,” kata,
Alex.
Mendengar itu aku hanya bisa
menggenggam erat tangannya. Seolah-olah aku seperti tak ingin ia pergi dari
genggamanku.
“Syakira…, bagaimana pendapatMu?”
Semakin erat. Dan semakin erat
genggaman itu. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Orang yang diam-diam telah menyimpan
perasaannya padaku, kini ia telah mengungkapkannya di hadapan orangtuaku dan
orangtuanya.
Dengan hati ragu, aku hanya bisa
menganggukan kepalaku saja sebagai tanda isarat kalau aku menerimanya.
Dan detik itu juga, lembaran
baruku juga baru saja dimulai.
THE END