Wednesday, December 31, 2014 0 comments

macam-macam ukuran


Panjang :

  •  Km = kilometer
  •   Hm = hectometer
  •   Dam = dekameter
  •   M = meter
  •   Dm = desimeter
  •   Cm = centimeter
  •   Mm = millimeter

1 km = 10 hm
1 km = 10.000 dm
1 hm = 10 dam
1 km = 100.000 cm
1 dam = 10 m
1 km = 1.000.000 mm
1 m = 10 dm
 1 hm = 10 dam
1 dm = 10 cm
1 hm = 100 m
1 cm = 10 mm
1 hm = 1.000 dm
1 km = 10 hm
1 hm = 10.000 cm
1 km = 100 dam
1 hm = 100.000 mm
1 km = 1.000 m
1 m = 10 dm
1 m = 100 cm
1 m = 1000 mm
1 dam = 10 m
1 dam = 100 dm
1 dam = 1000 cm
1 dm = 10 cm
1 cm = 10 mm

Berat :

  •   Kg = kilogram
  •   Hg = hectogram
  •   Dag = dekagram
  •   g = gram
  •   dg = desigram
  •   cg = centigram
  •   mg = milligram
1 kg = 10 hg
1 kg = 10.000 dg
1 hg = 10 dag
1 kg = 100.000 cg
1 dag = 10 g
1 kg = 1.000.000 mg
1 g = 10 dg
 1 hg = 10 dag
1 dg = 10 cg
1 hg = 100 g
1 cg = 10 mg
1 hg = 1.000 dg
1 kg = 10 hg
1 hg = 10.000 cg
1 kg = 100 dag
1 hg = 100.000 mg
1 kg = 1.000 g
1 g = 10 dg
1 g = 100 cg
1 g= 1000 mg
1 dag = 10 g
1 dag = 100 dg
1 dag = 1000 cg
1 dg = 10 cg
1 cg = 10 mg


luas :

  •   ka = kiloare
  •   ha = hektoare
  •   daa = dekaare
  •   a = are
  •   da = desiare
  •   ca = centiare
  •   ma = miliare

1 ka = 10 ha
1 ka = 10.000 da
1 ha = 10 daa
1 ka = 100.000 ca
1 daa = 10 a
1 ka = 1.000.000 ma
1 a = 10 da
 1 ha = 10 daa
1 da = 10 ca
1 ha = 100 a
1 ca = 10 ma
1 ha = 1.000 da
1 ka = 10 ha
1 ha = 10.000 ca
1 ka = 100 daa
1 ha = 100.000 ma
1 ka = 1.000 a
1 a = 10 da
1 a = 100 ca
1 a = 1000 ma
1 daa = 10 a
1 daa = 100 da
1 daa = 1000 ca
1 da = 10 ca
1 ca = 10 ma

volume :

  •   kl = kiloliter
  •   hl = hectoliter
  •   dal = dekaliter
  •   l = liter
  •   dl = desiliter
  •   cl = centiliter
  •   ml = milliliter
1 kl = 10 hl
1 kl = 10.000 dl
1 hl = 10 dal
1 kl = 100.000 cl
1 dal = 10 l
1 kl = 1.000.000 ml
1 l = 10 dl
 1 hl = 10 dal
1 dl = 10 cl
1 hl = 100 l
1 cl = 10 ml
1 hl = 1.000 dl
1 kl = 10 hl
1 hl = 10.000 cl
1 kl = 100 dal
1 hl = 100.000 ml
1 kl = 1.000 l
1 l = 10 dl
1 l = 100 cl
1 l = 1000 ml
1 dal = 10 l
1 dal = 100 dl
1 dal = 1000 cl
1 dl = 10 cl
1 cl = 10 ml

Tuesday, November 25, 2014 0 comments

cerepen _ Terus lurus!


“Kak, apa engkau yakin tidak mau lagi tinggal bersama orang tua kita?”
“De, kakak sudah tak bisa lagi hidup bersama di sini. Sekarang….”
“Sekarang kenapa?”
“Ya, apa kamu tak menyadarinya? Kamu tidak sadar, sekarang kasih sayang ibu telah berpaling kepada kepada suaminya dan saudara tiri kita?”
“Aku tahu, Kak. Tapi, apakah engkau tak bisa bersabar?”
“De, jika kamu mau ikut kakak cepat kemasi barangMu! Tapi, jika tidak…, up to you, De.”
“Kak. Jika kita pergi bagaimana dengan Ibu?”
“Kamu sudah tahu kan, kalau ibu sekarang sudah punya suami? Ya, sudah biarkan Ibu bahagia bersamanya! Aku tak lagi ingin merepotkan mereka. Apa lagi ayah, yang sok baik di hadapan Ibu aja.”
“Maksud kakak?”
“De,dulu  kalo kamu sekolah dan kakak sudah pulang kuliah, ayah itu seperti bukan layaknya seorang ayah. Melainkan pacar. Dia itu genit! Bahkan sampai sekarang pun ia masih seperti itu. Aku tak mau hidup bersama orang seperti itu.”
“Aku masih enggak ngerti, Kak.”
“De, kamu jangan Tanya apa-apa lagi! Jika kamu mau ikut kakak, cepat segera kemasi barangMu!”
“Tapi, apa kakak yakin?”
“De, kita hudup dalam pengawasan sang pencipta. Jadi ngapain kita khawatir atau apa lah. Lagian kakak sudah dewasa, dan jika kakak butuh uang untuk kebutuhan  pribadi, kakak bisa kerja sendiri dengan gelar kakak yang sekarang.”
“Kak, lalu bagaimana dengan adik kita?”
“Dia kan masih bayi. Terus dia juga anak dari Ibu dan Ayah tiri kita kan? Ya, biarlah. Pasti dia hidupnya akan lebih bahagia.”
“Kak, meskipun kakak sudah dewasa, tapi aku tak tega jika kakak harus pergi tanpa tujuan sendiri.”
“Lalu?”
“Ya, masa aku sebagai laki-laki tak bisa menjaga wanita, sih.”
“Waduh, bahasamu boleh juga, De.”
✲✲✲
 Aku memang wanita, tapi aku tidak suka di perlakukan atau dianggap seperti wanita peminim. Jangan karena fisik dan wujudku wanita, jadi kalian pikir aku tak bisa pergi berkelana. Oh, tidak!
Aku pergi dari rumah tanpa pamit sedikit pun, melainkan aku hanya menyimpan selembaran kertas putih yang telah kunodai dengan tinta hitam. Tidak banyak pesan yang kusampaikan selain kata maaf.
Aku tak tahu kemana aku harus pergi. Aku sangat khawatir pada adikku. Meskipun dia laki-laki, tapi tetap saja rasa khawatir ini tak kunjung padam juga.
“Kak, kita mau kemana? Ada tikungan?”
“Kita ikuti saja jalur jalan yang lurus!”
“Kok lurus terus?”
“Karena, aku pernah membaca terjemahan surat al-fatihah, lalu telah dibahas di dalamnya ‘mengenai jalan yang lurus’.”
“Tapi, apa kakak yakin?”
“De, jangan menjatuhkan keyakinanku!”
“Aku tidak bermaksud, Kak. Ya sudah, kendarai saja motor ini dengan santai!”
Aku terus melintasi arus jalan yang lurus. Meskipun aku tak tahu apakah ini jalan yang benar. BISMILLAH…, semoga ini jalan yang benar.
Kami hanya membawa perbekalan makan untuk setengah hari saja. Karena kami pikir untuk makan malam, kami bisa membeli di warteg atau sejenisnya.
Kampung menuju desa. Mungkin itulah jalan yang sedang kulalui bersama adikku. Panas karena sinar pancaran matahari. Dingin yang membalut tubuh ini karena derasnya air hujan yang mengguyur kami. Semakin tak tega aku membawanya pergi.
“De, kamu beneran mau ikut terus?”
“Iya, kakak. Kak, sebenarnya ini daerah mana?”
“Entahlah. Kita pergi tanpa tujuan.”
“….”
Adikku tak berkata apa-apa lagi, melainkan aku melihat dengan sangat jelas, kalau matanya sedang berbinar-binar. Tak tahan aku melihatnya. Aku hanya terdiam dan menunggu hujan reda. Setelah reda, aku dan adikku melanjutkan perjalanan kami lagi.
Kebun dan sawah telah kami lalui. Panas dan dingin pun sudah. Apa lagi demo. Demo dalam perut maksudnya. Cacing dalam perutku dan adikku mungkin, sudah protes untuk makan. Tapi, di tempat seperti ini apa aku bisa makan? Entahlah.
Karena hari sudah mulai tidak terang lagi, akhirnya kami memutuskan untuk ikut bermalam di rumah salah satu warga di sekitar sini.
“Assalamualaikum?”
“Walaikumsalam. Cari siapa, ya ?”
“Maaf, mengganggu,Bu. Kami datang dari jauh-jauh tempat, dan kami sekarang sangat butuh tempat berteduh dan bermalam.”
“Maaf, bukannya saya melarang atau apa, taapi di sini tidak ada suami saya. Jadi saya tidak berani memutuskan pilihan.”
“Baiklah. Terima kasih, Ya, Bu.”
“Sama-sama. Coba kamu ke depan sana aja! Dari sini kamu hanya tinggal lurus terus hingga terlihat pagar besar. Di situ, kamu pasti boleh istirahat.”
Aku langsung melanjutkan perjalanku dengan arah yang telah di tunjuki seorang ibu-ibu separuh baya. Namun sayang, aku tak tahu apa benar yang dikatakan wanita tadi? Tapi jika benar, mengapa dari tadi aku tak menemukan satu pun rumah lagi.
✲✲✲
Setelah kami terus mengikuti arus jalan yang lurus, akhirnya kami pun menemukan sebuah gubuk. Gubuk yang menyendiri dari rumah warga.
Gubuk itu sederhana sekali. Sepi. Hening. Seperti tak ada kehidupan. Dengan lancang, aku langsung memarkirkan motorku di samping gubuk itu dan menguncinya.
Kami mencoba masuk dengan salam. Berkali-kali kami mengucapkan salam, tapi tak ada jawaban. Dan akhirnya, kami memilih beristirahat sejenak dahulu di sini meskipun tanpa kami ketahui pemilik gubuk ini.
Sungguh sangat nyaman, nyenyak dan rasanya beristirahat di sini enak. Tapi, rasa lapar ini telah menghilangkan semua kenyamanan ini. Uuh, nyari makan kemana jam segini? Apa lagi di sini jauh dari rumah warga.
Kutatap adikku yang sudah mulai dewasa. Ia sangat manis dan sungguh aku semakin tak tega membawanya pergi bersamaku. Tapi, ya sudahlah. Yang terjadi biarlah terjadi.
Kegelapan telah mulai sirna, cahaya pagi yang masih sejuk membuatku semangat untuk melngkahkan tujuanku yang tanpa arah ini bersama adikku,Rahul.
“De, ayo bangun! Kita harus berangkat sekarang.”
“Mmm…, apa sih, Kak? Masih ngantuk!”
“Ayolah, cepat!”
Dari pada menunggu dia kelamaan, lebih baik aku menghidupkan mesin motorku supaya mesin-mesinnya merasa hangat.
“Kak, aku laper?”
“Bangun juga dirimu, Dek. Ya sudah, kita cari makan dulu sekaligus mencari…”
“Mencari apa, Kak?”
“Sudah, tak penting. Ayo naik!” kataku sambil bersiap mengendarai motorku.
Aku selalu mengikuti pendirianku. Lurus dan lurus tanpa mengarah kiri dan menoleh ke belakang.
Selama aku mengendarai motorku bersama adikku, aku belum sekali melihat ada satu rumah pun di kawasan yang telah kulalui. Oh, Tuhan, bisakah engaku berikan petunjukmu? Semoga jalan yang kutempuh ini benar.
Hampir satu jam aku mencari rumah warga, namun, tetap saja tak kutemukan. Aku sudah lelah dan sangat lapar. Selama di perjalanan, adikku selalu menanyakan, “Sudah sampaikah kita?”. Aku sudah tak menyimpan lagi karbohidrat sedikitpun. Yang kusimpan hanyalah uang. Namun, uang itu tak akan berarti jika aku tak juga menemukan tempat makan.
Kutatap kapasitas bensin pada motorku. Astaga! Sudah hampir menuju pada warna merah. Pertanda aku harus segera isi bensin. Tapi, dimana aku bisa membeli bensin? Ya sudahlah, aku pun tak memikirkannya melainkan terus berjalan lurus.
Sepanjang jalan, aku hanya bisa berdikir di dalam hati. Aku tak tahu apa adikku juga sama sepertiku? Entahlah, aku semakin tak kuasa berkelana bersamanya. Ia tak punya dosa, tapi mengapa ia harus terbawa ke dalam emosiku.
“Kak, perutku sudah mulai sakit,” ujar adikku yang semakin kelaparan.
“Kamu tidur aja dulu!”
Aku pun langsung menarik tangannya, agar ia memelukku dan aku tak perlu khawatir ia jatuh ketika ia mulai tidur.
Semakin dan semakin lapar. Aku tak kuat lagi menahannya. Aku pun sudah mulai pegal dan lelah. Kepalaku sudah mulai berbayang-bayang. Bayangan-bayangan yang tak kukenali. Sungguh sangat tidak jelas. Kumelihat, dan aku sudah mulai tahu kalau aku sudah mulai dekat dengan rumah warga. Semakin semangat untuk kumengemudi motorku dengan cepat.
Braaak…
Aaaa…
Aku menjerit dengan amat sangat kencang, ketika aku mulai terjatuh dan terguling ke jalan aspal.
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku tak tahu bagaimana dengan adikku. Aku tak tahu apakah aku masih hidup atau tidak. Begitupun pada adikku. Jika itu terjadi…, sungguh aku adalah seorang kakak yang amat sangat kejam.
Aku tak bisa mendengar suara apapun. Aku tak bisa melihat bagaimana suasana saat itu. Semuanya gelap. Hening. Seperti tak ada kehidupan. Apa ini…, sudahlah! Aku tak ingin pergi dulu sebelum dosaku terhapuskan.
✲✲✲
“Kak, bangun!”
“Ayo cepat, Kak. Ayo bangun!”
Suara itu sangat jelas dan kukenali. Adikku. Ya, dia. Dimana dia sekarang? Aku merindukannya. Tapi mengapa aku masih belum bisa menatapnya? Mengapa?
Harum. Hangat. Menyentuh hingga sukmaku. Aroma minyak telon dan kehangatannya membuatku kembali sadar. Siuman. Dengan perlahan, aku coba membuka mataku, remang-remang, tapi semakin dekat, dekat dan dekat. Aku pun sudah mulai bisa melihatnya meskipun sakit kepalaku masih terus membara.
“Kak…,” ujar adikku sambil memelukku.
Aku hanya tersenyum dan heran. Siapa di samping adikku? Mengapa dia ada bersama kami? Dan ada dimana aku? Apa dia penjahat? Atau….
Tapi, jika dia penjahat, mengapa dia memberiku segelas minum? Astghfirullah…, ternyata ia orang baik yang telah menolongku.
“Minum air ini, Mbak!” ujar seorang lelaki yang me-nyugguh-kan minumnya padaku.
Aku pun langsung mengambilnya, “Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Ini tempat apa? Dan di kawasan apa saya berada sekarang?”
“Maaf, sekarang anda sedang berada di pondok Darussalam.”
“Pondok? Kenapa saya bisa di sini?”
“Tadi sewaktu saya sedang mengitari kawasan pondok, saya mendengar jeritan. Dengan segera, saya langsung mencari dari mana lokasi jeritan itu.”
“Owh. Maaf aku dan adikku telah merepotkanmu.”
“Dengan senang hati saya akan membantu siapapun yang kesulitan. Karena Allah sangat menganjurkan kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.”
“Apa di daerah sini ada tempat makan atau sejenisnya? Saya dan adik saya butuh karbohidrat,”
“Oh iya, saya hampir lupa. Tadi Pak kiyai meminta saya untuk memberikan makan, karena kalian belum makan selama beberapa hari.”
Aku hanya tersenyum sipu dan malu. Akhirnya ketahuan juga rahasiaku yang belum makan ini.
Aku pun lanagsung disuguhinya makanan yang sangat enak bagiku. Pasti lah enak bagi orang baru ketemu lagi sama namanya karbohidrat seperti aku ini. Jadi malu aku.
Aku makan dengan sangat amat lahap. Tanpa memikirkan laki-laki itu yang masih berada di hadapanku.
“Mbak, maaf, tadi Kiyai kami bilang kalo kalian harus istirahat sejenak di sini. Nanti aka nada salah satu santriwati yang akan menjagamu dan beberapa santri akan merawat adikmu.”
Aku hanya tersenyum sambil menikmati lezatnya makanan itu.
“Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamualaikum.”
“Walaikumussalam. Terima kasih, ya.”
Ia pun pergi meninggalkan kami sebelum aku ketahui namanya. Tapi, tak pentinglah. Suatu saat aku pun pasti akan tahu namanya.
“Aauu…,” 
Sangat terasa sakit pada tubuhku ini ketika aku ingin berjalan. Kakiku sedikit pincang dan tulang-tulang tanganku sepertinya sama.
“Assalamualaikum, ya ukhti,” sapa seorang wanita separuh baya yang di dampingi beberapa wanita cantik.
“Walaikumsalam. Maaf siapakah gerangan?”
“Saya Umi Mastiah, dan ini santri-santri saya. Saya istri dari Kiyai pondok ini, dan saya di berikan amanah untuk menjaga kalian sampai kalian mulai benar-benar sembuh.”
“Sembuh?”
“Maksud saya, sampai kalian sehat. Tidak seperti sekarang ini. Otot kalian butuh pijatan, dan nanti kalian akan dipijit di sini. Oh ya, untuk laki-laki tidak boleh bersama wanita, jadi nanti kamu akan di antar ke tempat khusus ikhwan,” jelasnya sambil mengarah pada adikku.
“U… Um… Umi, kalau boleh saya tahu, apa kah di seberang sana taka da kehidupan warga sama sekali?”
“Sebrang? Maksudmu…, oh iya saya tahu. Di sana tak ada warga satu pun karena di sana tempat angker, dan sampai sekarang tidak ada yang ingin bertempat tinggal di sana. Dahulu, ada sepasang keluarga dari pesantren ini untuk tinggal dan menetap di sana, tapi sampai sekarang keluarga mereka tak pernaha ada, bahkan gubuk yang mereka buat pun tak ada.”
Aku terkejut mendengarnya. Apa yang kutemui beberapa hari lalu itu…, makhluk gaib. Mungkin. Tapi, jika benar…. Sudah! Sudah! Aku jadi merinding membayangkan hal itu.
“Kenapa memangnya?”
“Mmm…,  beberapa hari lalu saya bertemu dengan seorang wanita, dan ketika saya ingin menginap di rumahnya, ia malah menolak karena di rumahnya tidak ada suaminya. Lalu dia juga bilang, kalau aku harus terus lurus, dan nanti aku akan menemukan tempat yang aku maksud.”
“….”
Umi itu seperti tengah memikirkan sesuatu yang tak boleh kuketahui. Umi membuatkusedikit kepo. Tapi biarlah, mungkin suatu saat aku pun akan tahu. Semoga.
“Kamu datang dari mana? Dan sedang ingin pergi kemana?”
“….”
“Maaf, jika kamu tak mau menjawabnya juga tidak apa-apa.”
“Eee…, sebenarnya, aku kabur dari rumah.”
“Kabur? Kenapa?” jawabnya dengan terkejut.
“Aku bosan tinggal bersama ayah tiriku. Ia selalu jahat padaku. Dulu, sepulang kuliah ia selalu menggodaku. Dan aku sangat takut. Aku khawatir,” jelasku tanpa koma dan titik.
“Owh, umi paham. Sekarang kamu ingin pergi kemana?”
“Saya tidak tahu, Umi. Bahkan saya pun tidak tahu bagaimana dengan adikku. Aku sangat menyesal untuk membawanya pergi bersamaku.”
Umi Mastiah, itu diam sejenak lalu berkata, “Kalau kamu ingin dan bersedia tinggal di sini, silahkan. Saya pasti akan sangat senang.”
“Aku bingung, umi. Tapi bagaimana dengan adik saya?”
“Di sini, pondok untuk wanita dan laki-laki, jadi kalian boleh tinggal di sini.”
“Umi, saya hanya punya sedikit uang lagi. Dan saya haru bekerja dulu.”
“Untuk apa, anakKu?”
Begitu tersentuh hatiku. Ketika Umi Mastiah, memanggilku dengan kata ‘anakku’. Ingin aku menangis tapi sungguh snagat amat malu. Tapi, sungguh aku sangat tersentuh dan ingin sekali aku menjadi anaknya.
“Untuk pembayaran di pondok ini, Umi.”
“Tak perlu. Umi akan bilang ke Abi, kalau kalian di sini tak perlu membayar apaun.”
“Terima kasih, Umi. Tapi, saya merasa sungkan. Apa di sini saya juga boleh membantu, Umi?”
“Sama-sama. Dengan sangat senang hati. Boleh.”
Alhamdulillah. Apa mungkin ini jalan yang Tuhan berikan untukku? Terima kasih, ya Allah. Aku sungguh sangat bahagia dan entah sampai mana kapasitas kebahagianku saat ini.
Dan setelah itu hingga saat ini, aku pun hidup sangat amat bahagia di pondok ini. Begitu pun pada adikku yang sudah semakin beranjak dewasa dan semakin bertambah ilmu agamanya.
The End



0 comments

cerpen _ Tak kusangka…


Aurora itu telah menyadarkanku pada lembaran masa laluku. Terhenig. Remang-remang bayangan itu telah mulai singgah dalam benakku. Sungguh ini adalah hal terburuk bagiku, jika aku harus mengingat kembali kenangan atau mungkin kejadian lalu. “Aaa...,” teriakku sekuat tenaga dengan sepontan.
Bayangan itu terus menghantuiku. Kumelihat denga jelas. Kejadian awal mereka pun masih jelas. Memang dasar laki-laki tak beryanggung jawab. Sudah membuat pacarnya sedih, ia malah pergi dengan wanita lain. Kurang ajar. Dengan teragedi yang sangat fakta itu, aku semakin benci kata’pacaran’. Wanita itu dengan sekejap mata  berlari menuju jalanan aspal yang ramai dengan kendaraan.
“Braak…”
Tubuh itu pun terjatuh dan tergeletak. Hitungan menit bahkan detik, orang yang melihat kejadian itu langsung membawa korban atau wanita tadi dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.
Sudah! Sudahlah…, aku tak mau menceritakan hal itu. Aku coba masuk ke kamarku, ya walaupun itu kamar di indekos dan mennutup pintu supaya aku tak melihat Aurora itu. Kulangkahkan ayunan kakiku dengan cepat dengan penuh amarah dan remang-remang bayangan itu. Sebelum aku sampai di kamarku di ruang khusus wanita, aku sudah terjatuh dan tak sadarkan diri ketika aku ingin melangkahkan kaki kananku di anak tangga pertama. Gelap. Hening. Semua sangat sepi.  Aku terjatuh di dekat tangga yang bersampingan dengan dapur indekos dan ruangan khusus laki-laki. Ya, jangan heran karena di kosanku campuran antara wanita dan pria.
Hangatnya selimut disertai harumnya minyak telon, membuatku sangat teramat hangat dan nyaman. Harumnya minyak telon itu hingga merasuk ke paru-paruku. Kucoba membuka mataku secara perlahan. Remang-remang yang kudapati. Wajah yang terlihat tak sempurna itu membuatku tak megenalnya.  Kutatap jarum jam yang bergerak statis itu seperti menunjukan pukuk 18:05 WIB.
“Kira, kamu sudah siuman?”
Kudengar suara Alex, yang satu indekos denganku tapi beda ruangan. Kutatap dia yang sedang duduk disampingku. Kupaksakan tatapan mataku semaki tajam untuk memperlihat penglihatanku.
“Syakira, ayo minum dulu airnya!”
“Terima kasih, lex,” jawabku lemah.
“Kamu kenapa bisa pingsan? Dan untung kamu pingsan sebelum naik anak tangga. Kamu kalo sakit itu harus bilang temanmu atau siapa kamu biar dia bisa nemenin kamu. Tapi yang cewek aja,ya! Di sini itu rawan, ada banyak laki-laki dan… dan belum tentu mereka baik semua,” kata Alex yang seperti kesal padaku.
“Alex, tunggu dulu, deh! Yang lain itu enggak ada di sini, mereka kuliah da nada juga yang lagi kerja. Ya, aku enggak tahu kalau aku akan pingsan, lagian aku juga tidak sakit, kok.”
“Kalau enggak sakit kenapa bisa begini? Aku enggak mau kamu kaya gini lagi!”
“Lex, kok kamu jadi ngatur aku?”
“…,” Alex, hanya terdiam dan menunduk, seolah-olah mencari sesuatu yang hilang.
“”Alex? Ya sudah kalau tidak mau jawab. Aku tak akan memaksamu, kok. Terima kasih atas pertolongan dan perhatianmu.”
Alex tetap tak menjawabku, melainkan ia pergi meninggalkanku yang tengah berbaring di sofa ruang tengah, indekos. Aku tak mau mementingkannya dan bertanya lagi padanya.
Satu persatu anak-anak yang menetap di indekos mulai datang dan saling menyapaku, kata demi kata mereka lontarkan dan tak jauh mereka bertanya ‘ mengapa kau ada di sini?’.”
Entah berapa jam aku duduk dan berbaring di sofa. Hingga aku tak tahu seberapa lamanya teman, Alex, yang bernama ‘John’menemaniku berbincang-bincang dan bercanda sammpai larut malam.
“Dreet…,” kudengar suara kaki meja yang tengah tergeser. Kulihat seorang wajah yang sangat familiar dalam hidupku. Dia seperti ingin berlari cepat dan tak ingin aku melihatnya. Ketika rangkulan tangan, John ada di pundakku.
“Kenapa dengan, Alex?” tanyaku dalam hati.
Ya, sudahlah! Tak perlu aku pikirkan dia. “ Jihn, kamu tidur sana! Aku ingin sendiri.”
“Oh, tapi… emangnya kamu gak takut? Ya sudah kamu tidur dulu!” ujar John sambil memabringkan tubuhku di sofa.
Sebelum ia pergi, ia mencoba mencium keningku. Namun, tak jadi ketika kami mendengar vas bunga terjatuh . untunglah. Pasti ini kerjaannya Alex.
✲✲✲
Pagi itu aku sudah bangun terlebih dahulu, sebelum ayam menyanyikan dan memberikan lagu khasnya untuk kami. Sungguh ini amat sangat mengejutkan bagiku. Aku tebangun dalam keadaan badanku terselimuti oleh selimut tebal merah, bergambar kartun Thomas. Aku tak tahu ini selimut siapa, seingatku semua selimut dan bonekaku sedang di laundy.
Terlintas dalam benakku wajah yang tadi malam tengah memperhatikanku. Sudah! Sudah! Tak perlu lagi aku ingat dia yang tak mau menjawab pertanyaanku dan sok ngatur itu. Alangkah lebih baiknya aku bereskan saja tempat tidurku.
Wow…, Amazing! Di bawah bantal tidurku terdapat selembaran kertas. Surat. Ya, mungkin surat. Dan tenyata memang itu surat, surat bertuliskan nama Alex.
Syakira…, entah seberapa besar dan banyak frekuensi amarahku saat ini, tapi sungguh aku tak bisa menghilangkan rasa ini padamu dari semester lima sampai sekarang. Dan aku tak tahu sampai kapan rasa ini akan hilang. Atau dari awal kita bertemu di indekos ini.
Kira, mungkin aku cemburu atau entahlah, yang penting aku tak akan bisa tertahan amarahku jika aku melihatmu bersama teman laki-laki di indekos. Aku bukan melarang, ngatur, atau apalah menurut kamu, aku hanya mengkhawatirkanmu saja. Kamu harus tahu, teman sekosan kita atau teman priamu, mungkin, tak semuanya baik. Mereka rata-rata selalu berfikir negative akan sesuatu yang mungkin menjijikan bagiku. Dan aku tak mau kamu terjebak dalam permainan mereka, Kira.
Oh, ya. Mungkin kamu pas bangun akan terkejut melihat selimut dan surat ini. Jadi simpan saja lah selimut itu! Karena aku tak yakin kita akan berjumpa algi. Maaf aku enggak pamit dulu, soalnya aku tahu pasti kamu lelah.
Syakira…, jika kau mencariku, ku mohon jangan karena kamu tak akan menemuiku. Malam ini aku sudah pindah indekos dan mungkin aku akan mencari indekos atau villa untuk aku bisa menyandarkan tubuhku yang pastinya akan merasakan lelah.
I LOVE YOU, SYAKIRA…
Sungguh jiwaku seperti terperangkap di dalam bawah tanah, setelah aku tahu semua isi surat itu. Dengan segera. Tanpa piker panjang lagi aku langsung bersiap-siap merapikan tubuhku yang mungkin sudah tak rapi lagi setelah tidur tadi malam. Dan aku langsung go to university, dan berhapa akan bertemu dengan Alex.
Aaa…, apa ini takdirku? Entahlah! Alex, benar kalau aku tak akan bisa menemuinya msekipun terus berusaha pun.
Kalaian pasti pernah merasakan betapa sedih, kesal, kecewa, pokonya nano-nano deh, ketika mencari orang yang menyayangi kita pergi begitu saja.
✲✲✲
Beberapa bulan ini aku tak pernah menemui, Alex, meskipun aku mencarinya ke kampusnya, bertanya pada temannya, atau cara lain. Mungkin. Sebenarnya ini apa yang di inginkan Alex? Ia menghilang dengan begitu saja. Sungguh, untuk apa ia memberi tahuku akan perasaannya itu.
Ini sudah masuk dalam hari kesuksesan para mahasiswa, dan aku sngat berharap setelah wisuda bisa bertemu dengan Alex.
Mungkin hampir dua jam aku bersabar demi pencarianku akan sosok yang menghilang entah kemana itu. Setelah wisuda selesai, aku langsung pergi menuju kampus Alex tanpa memberi tahu orangtuaku yang tengah berjalan menuju mobil merah Toyota-nya itu.
“John, Arya, Tatang, Aziz, kalian melihat Alex?”
Dengan serempak mereka saling bertatap muka. “Enggak tahu…”
“Oh. Tapi tadi dia ada gak?”
“Ada. Tapi setelah wisuda selesai, dia langsung pergi bersama orangtuanya?” jawab Aziz.
“Tadi katanya enggak tahu…, oh ya sudah, terima kasih, ya!”
Aku pun langsung menghindar dari  kerumunan mereka yang tengah menuangkan kebahagiaanya.
“Penyesalan itu selalu datang terlambat…”
When im down andoh my so sowary
When trobles come…
Nada dering hapeku bunyi ketika aku mulai berjalan menuju prkiran khusus mobil.
“Assalamualaiku..., kamu dimana, Kira? Mamah sudah ada di halte depan kampusmu.”
“Walaikumsalam, Mah. Ia nanti aku langsung ke sana. Ini juga lagi di jalan, kok.”
“Baiklah. Don’t let time, honey!”
Ok, Mom.”
Dengan segera aku langsung berjalan cepat meskipun masih terasa lemas, karena aku merasa tak bisa menerima kenyataan ini. Hhhmm…, berjalan menggunkan songket dan kebaya bukanlah hal yang snagat kusukai, melainkan sangat aku benci. Ribet. Repot. Susuah.
Sesampai di halte aku langsung naik ke dalam mobil merah cerah, milik mamah itu, dan langsung OTW (on the way) ke indekos, buat ngambil barang-barangku yang sudah terkemas di dalam koperku.
Jarak dari kampus ke indekosku tidak memerlukan waktu yang lama, bahkan sekejap mata pun bisa. Kalau naik ojek, tapinya.
Sesampai di indekos, aku langsung mengambil koperku dan pamit kepada pemilik kosan. Sedangkan , Mamah kubiarkan diam di dalam mobinya. Maaf, ya mah.
Setelah aku mengambil koper dan pamit kepada pemilik kos, aku dan mamah langsung melanjutkan perjalanan menuju kampung. Ya, karena Ayah dan adikku sudah menunggu di sana.
Setiap orang pasti akan menggunakan jalur ‘tol’ jika ingin pergi ke luar kota. Begitupun diriku dan mamah. Kami juga menggunakan jalur Tol. “Mah, nanti kalo ada kafe, mampir dulu, ya! Please!”
“Kita sudah di tunggu sama Ayah. Lagian mamah tak mau kita lama di perjalanan saja.”
“Cuma sebentar aja, Mah. Please!”
“Sayang, di tempat seperti ini akan sangat lama mencari kafe.”
“Iya, nanti kalo ada, Mah.”
“Jangan lama, ya!”
“Janji kok, Mah.”
Aku cukup sabar untuk bisa menunggu kehadiran kopi hangat atau sejenisnya lah. Dan kesabaranku habis setelah tiga jam menunggu karena kami sudah sampai di kafe.
Hemm…, aku langsung menarik tangan mamah dan mengajaknya masuk ke dalam kafe tersebut. Cahaya remang kafe itu di sertai lagu jazz yang mengalun sayup, membuatku teringat pada, Alex. Uuuh… dia dan dia terus yang ada dalam bayanganku. Kenapa bukan adikku atau ayah.
Aku jadi teringat pada kenangan laluku bersamanya. Dia selalu membawaku ke kafe untuk memesan kopi. Ah, jadi gak ada rasa mood sedikit pun.
“Mah, pulang yuk!”
“Cepet banget?”
“Tadi mamah bilang jangan lam-lama. Ayo lah! Aku mau pulang.”
Akhirnya mamah pun menuruti permintaanku. Mungkin karena aku jarang bersamanya, jadinya aku bisa di manja dulu. Hehehh….
Mamah langsung menghidupkan mesin mobilnya dan langsung mengemudikan mobil itu drngan amat sangat cepat. Ya cepat. Cepat karena jalan to malam itu sangat sepi.
Tanpa aku sadari, air mataku terjatuh dan aku mulai tersedu-sedu. Aku tak tahu apa saja yang kupikirkan tentangnya. Sungguh ini adalah hal yang mungkin sangat lebay bagiku atau bagimu. Tapi, namanya sudah galau begini ya pasti sulit untuk dihilangkannya. Mungkin.
“Alex…,” gumamku reflex.
“Siapa, dia? Kok kamu nangis?”
“Tidak, Mah. Dia temanku di kampus.”
“Pacar? Ingat, kamu tak boleh pacaran!”
“Apa sih, Mah. Lagian siapa juga yang pacaran. Orang dia Cuma teman saja, kok.”
“Ya sudah, kamu tidur aja, deh!”
Aku pun langsung menutup mataku walaupun awalnya tak mau tertutup tapi lama kelamaan tertutup juga. Sampai-sampai aku tak ingat seberapa jam aku terlelap.
“Kira, ayo bangun! Kita sudah sampai di rumah.”
Kutatap jam miniku pada pergelangan tanganku yang tengah menunjukan pukul 02.15 WIB. Malam menuju pagi yang masih gelap.
Aku langsung masuk ke kamar adikku, Yori. Dan itu tanpa aku sadari.dan aku pun lagsung tidur di sampingnya hingga larut pagi.
“Mbak…, bangun!” sergah Yori.
“Apa sih? Mbak masih ngantuk. Pelit banget kamu.”
“Siapa yang pelit? Orang, Yori kangen sama Mbak. Lagian kalo pulang  cuman beberpa bulan sekali.”
“Ya, sudah. Aku ikut tidur dulu, ya!”
“Jangan. Mau ikut enggak ke rumah teman mamah dan ayah?”
“Kapan? Dimana?”
“Ya, mana kutahu. Ya minggu depan.”
“Ya sudah, kamu mandi duluan sana! Nanti Mbak nyusul habis kamu.”
“Oke, sip.”
✲✲✲
Orang tuaku melarangku untuk langsung bekerja. Aku tak tahu alasannya apa tapi bagiku, mungkin mereka ingin melepaskan rindunya padaku dulu. Hhehhe.. pede sedikit bisa kali.
Tepat di hari minggu, dimana yori mengajakku ikut bersama orang tuaku main ke rumah teman lamanya.
“Syakira…,cepat siap-siap! Pakai baju yang rapid an sopan,” kata mamah.
Karena aku tahu tempat tujuan orang tuaku pergi, jadinya aku tak mau banyak bertanya lagi,“Iya, Mah.”
Asyik… asyik! Akhirnya bisa main juga di kampung yang udah jarang aku telusuri.
Karena aku sudah berpakaina rapi, jadi aku langsung minta, Yori untuk naik motor saja. Ya, biar aku bisa dibonceng dia. Hehehe….
“Yor, kmau tahu tempat temannya mamah dan ayah?”
“Tentu, dong. Tiap minggu atau bulan aku sering main ke sana.”
“Yor, kamu bawa motor, ya! Mbak enggak mau naik mobil.”
“Mmm…, ya sudahlah. Mumpung kita jarang ketemu jadi aku nurut aja.”
“Ya sudah. Kamu bilang mamah duluan aja, ya!”
“Uh, ngeribeetin aja.”
“Ya… maaf,” jawabku memelas.
Setelah aku dan yori tahu kalau orang tuaku sudah berangkat, sekarang waktunya untuk aku dan adikku capcus.
Aku duduk di belakang adikku, dan adikku yang mengendarainya. Dia mengendarai motor ninjanya yang berwarna merah cerah itu dengan sangat berhati-hati. Mungkin ia sangat canggung padaku.
Setengah jam telah berlalu. Akhirnya sampai juga. Aku pun turun dan menunggu adikku mengajakku masuk ke dalam rumah tujuan kami.
“Ayo, Mbak!”
“Iya, aku jalan di samping kamu aja, ya!”
“Terserah…”
Karena pintu gerbang sudah terbuka, dan kulihat mobil orang tuaku yang sedang parker di samping mobil pemilik rumahnya.
“Assalamualaiku…”
“Walaikumsalam. Ayo masuk!”
“Iya, Tante.”
Setelah tante itu masuk ke dalam rumahnya lagi, kau heran padanya. Seperti kumengenalnya tapi siapa?
“Yor, itu siapa?”
“Itu tante Eli, namanya.”
Kami berdua langsung masuk dan duduk di samping orang tuaku. Rumah yang sangat unik. Rapi. Wangi. Bersih. Dan penuh dengan foto-foto yang sangat amat banyak. Mungkin itu kumpulan keluarga tante Eli. Bisa jadi.
Astaghfirullah…, aku hampir saja dikejutkan oleh sebuah foto yang terpajang tepat di dinding hadapanku. Sosok laki-laki yang menggunakan kostum wisuda. Alex. Mungkin kah? Entahlah.
“Tante maaf, apa itu foto, Alexander Dorroi?”
“Iya benar. Kamu mengenalnya?”
“Iya, tante. Dia sahabatku yang sangat baik. Namun…”
Sebelum aku melanjutkan penjelasanku, aku langsung terhenti dengan sosok yang sangat rapi sekali, sedang berdiri di hadapan anak tangga yang baru saja ia gunakan untuk turun menuju ruang tengah yang tengah kami singgahi. Kaos merah dan celana levi’s panjang yang ia kenakan itu membuatnya semakin tampan. Terpesona. Pasti.
“Syakira…,” ucap, Alex sepontan.
Karena kau sangat amat malu padanya, jadi aku minta untuk, Yori mengantarkanku pulang atau pergi ke tempat yang mungkin nyaman untukku.
“Tante, Mah, Yah, aku izin pamit pulang dulu, ya! Aku ada janji yang harus ditepati, dan aku juga ada acara lain.”
Sebelum mereka merespon perizinanku, aku langsung menarik tangan adikku dan membawanya keluar.
“Yor, ayo cepetan! Kamu harus membawaku pergi dari sini!”
“Memangnya kenapa da nada apa?”
“Jangan banyak Tanya! Aku di sini enggak betah. Cepetan bawa aku pergi!”
“Iya… tunggu, lha!”
Sebelum aku naik motor adikku, Alex sudah lebih cepat menghampiriku yang tengah berada di halaman rumahnya.
“Kira…,” ucap, Alex sambil menarik tanganku.
Uh, ini hal yang sangat menyebalkan. Aku tak bisa lari dari semua ini. Aku hanya bisa menundukan kepalaku, seolah-olah aku tak ingin menatap wajah dan matanya itu.
“Maaf, tolong lepaskan tangan saya!”
“Kamu mau kemana? Memangnya kamu punya janji dengan siapa? Bukannya di sini kamu belum akrab lagi dengan teman-temanmu yang lainnya.”
Aku hanya terdiam, entah apa yang harus kukatakan lagi.
“Kira…,” ucapnya sambil membalikkan badanku mengarah padanya.
Sungguh tak tahan. Aku hanya melihat wajahnya dengan kita. Malu. Ya, semua itu karena malu.
“Alex, tolong lepaska! Kita bukan muhrim,” alasanku untuk menghindar darinya.
“Muhrim? Kenapa, tak suka? Tapi kok kamu mau di sentuh-sentuh oranag lain.”
Aku langsung teringat pada John yang merangkul pundakku dan hampir menciumku. Untung saja enggak jadi gara-gara, Alex.
“Terima kasih,” jawabku lemah.
Mungkin aku termasuk orang bodoh. Sungguh perkataannya menyentuh diriku. Dengan segera aku membalikkan badanku darinya, dan… menangis. Memalukan.
“Kira…, kenapa kamu?” tanyanya sambil mencoba menghadap padaku.”Kira, kamu….” Lanjutnya.
Alex pun memelukku dengan sangat amat erat. Lebih erat. Bahkan aku pun hampir tak bisa bernafas sedikit pun. “Maaf, aku memelukmu. Aku berani melakukan ini karena orang tuaku. Mereka ternyata telah menjodohkan kita sejak kecil.”
Aku tak sedikit pun merespon apa-apa. Yang kurasakan hanyalah pengap. Aku butuh udara, tapi sungguh aku malu pada, Alex. Dan di sisi lain, aku tak ingi melepaskan pelukannya. Aku tak mau lagi untuk pergi mencarinya. Lelah.
“Syakira…, ayo masuk, dulu!” pinta Ayah.
Alex pun langsung memadamkan rasa sedihku dan mengajakku masuk ke dalam sambil merangkul pundakku dan menggenggam tangan kananku.
Mungkin orang tuaku dan orag tua, Alex akan heran setengah mati. Mungkin. Karena mereka melihat katung mataku yang sudah bengkak.
“Jadi kalian sudah saling kenal? Kalau begitu kita tak perlu susah payah merencanakan apa yang telah kita rencanakan, Jeng.” Kata Mamah pada tante Eli.
Aku masih terdiam, dan di persilahkan duduk oleh Alex. Begitupun padanya, ia juga ikut duduk di sampingku.
“Tante,Om, dan Mamah, tak perlu menanyakan apa-apa pada kami! Saat ini aku di hadapan kalian semua ingin meminta restu untuk bisa meminang wanita yang tengah duduk di sampingku,” kata, Alex.
Mendengar itu aku hanya bisa menggenggam erat tangannya. Seolah-olah aku seperti tak ingin ia pergi dari genggamanku.
“Syakira…, bagaimana pendapatMu?”
Semakin erat. Dan semakin erat genggaman itu. Aku tak tahu harus berkata apa lagi.  Orang yang diam-diam telah menyimpan perasaannya padaku, kini ia telah mengungkapkannya di hadapan orangtuaku dan orangtuanya.
Dengan hati ragu, aku hanya bisa menganggukan kepalaku saja sebagai tanda isarat kalau aku menerimanya.
Dan detik itu juga, lembaran baruku juga baru saja dimulai.
THE END




 
;